Kanara tersenyum, membiarkan gadis itu mengikuti setiap langkahnya di belakang. dia melihat langit mendung, angin dingin menyapu pipinya. Dia penasaran apakah gadis itu merasakan dingin juga, dia menoleh ke belakang, Marelien sedang melihat tanah sambil terus mengikuti langkahnya.
Kanara ingin menyentuh pipi Marelien. Dinginkah? Sedingin apa? dia berbalik, tadinya hendak menyentuh pipi ketika gadis itu tiba di dekatnya, spontan tanpa difikirkan dia malah memukul dahi gadis itu sampai berbunyi PLOK. Dia sendiri terkejut dengan kelakuannya, apalagi gadis itu.
“Apa?”
Kanara memikirkan alasan yang masuk akal “Kamu ini ngapain?”
Marelien membalik tubuhnya keras “Abaikan saja, sudah, jalan lagi sana!”
Kanara tidak menolak, diliputi rasa malu, dia menutupi salah tingkahnya dengan berjalan terus. Namun tetap memelankan langkah agar Marelien mensejajarkan langkah dengannya. Dia memikirkan topik pembicaraan menyenangkan.
“Gimana novelnya, Tama?”
Dia senang mengetahui gadis ini adalah penulis yang baik dan tidak mau mempublikasikan wajahnya pada orang lain selain kepada sahabatnya. Marelien gadis baik, Dia suka gadis ini. Suka dengan sikap acuh dan tidak mau ikut campur. Suka dengan sikap tidak banyak bicaranya bila tidak perlu.
“Buntu” Gumam Marelien.
“Sudah menentukan Ending?”
“Belum.”
“Happy ending lagi?”
Marelien diam cukup lama. Ah, dia salah memilih topik pembicaraan. Kanara memikirkan topik lain ketika didengarnya Marelien berkata “Mungkin, belum tahu”.
Mereka diam lagi, Kanara tidak enak hati membiarkan gadis ini berjalan terus di belakangnya. Dia berbalik dan heran sekali mendapati gadis itu sudah berhenti berjalan lebih dari tiga langkah di depannya.
“Elin? Kenapa berhenti” Kanara melihat toko yang menjual boneka-boneka “kamu mau beli sesuatu?” Gadis itu tersenyum tapi nampak sedih sekali.
“Elin?”
“Berdiri disana, sebentar saja”
Kanara memang tidak menolak, tapi tetap saja dia memandang berkeliling dan melihat beberapa orang memandang mereka, takut dia dan gadis itu menghalangi jalan gang yang tidak lebar ini.
“Di sini rame, lho, nanti kita ditabrak” Berusaha melucu agar gadis itu tertawa. Dia tidak suka dengan ekspresi sedih tersebut.
“Aku senang bisa mengenalmu”
Kanara mengerjapkan mata, mencoba mencerna baik-baik kalimat yang baru saja Marelien katakan. Perasaan sedih apa itu, kenapa gadis itu harus mengatakannya dengan ekspresi begitu.
“Aku senang bisa mengenalmu” Ulang Marelien. Kanara sadar dia belum membalas perasaan dalam setiap kalimat Marelien. Dia memikirkan banyak jawaban indah dan terkesan manis. Ingin melihat gadis itu tersenyum senang.
“Aku juga” Jawab Kanara akhirnya. Suaranya serak, payah pada diri sendiri tidak menemukan jawaban yang lebih baik dari itu.
“Aku juga” Jawab Kanara pelan. “aku juga senang”
“Aku senang kamu mau mengobrol denganku”
“Aku juga” jawabnya lagi, mengutuk mulutnya yang tidak bisa berkata lebih baik.
“Kanara”
Kanara melihat gadis itu lekat-lekat. Mengunci matanya pada mata Marelien, menanti kalimat berikutnya.
“Aku menyukaimu”
DEG. Nafasnya jadi tak karuan, telinganya berdenging, dia tidak salah dengar, bukan? Dia mengerjapkan mata, mencari-cari dusta dan kebohongan dari gadis tersebut, atau candaan atau lelucon, atau segala hal yang membuatnya seperti orang tolol nantinya karena ini hari lahirnya. Dia meyakinkan diri sendiri.
“Aku tidak dengar” Ya Tuhan, dia salah bicara. Aku tidak mendengar dengan jelas. Dia berdoa, agar gadis itu mengulangnya dan dia bisa mendengarnya dengan baik.
“Aku—‘
Kanara menanti, mengatur napas. Sampai suara Salbia mengagetkannya dan memulihkannya dari yang telinga berdenging. Dia melihat Marelien salah tingkah, risau, panik. Dan membiarkan Kanara berjalan bersama Salbia yang tiba-tiba muncul. Kanara menyimpan rasa penasarannya dan meyakini bahwa dia tidak salah dengar.
Kanara melihat punggung Marelien menghilang menaiki tangga, dia sendiri harus pamit pulang. Kanara membiarkan Salbia membawa mantelnya sampai kedasar tangga lantai dua ditemani Kyoko.
“Hati-hati.” Kata Salbia sambil tersenyum lebar. Kanara mengangguk lalu Salbia berlari menaiki tangga.
“Jangan lari!” Seru Kanara
Kyoko sebaliknya, dia berjalan pelan sampai ke atas tangga. Membiarkan Salbia pergi lebih dulu. Dia tahu, ada yang ingin disampaikan Kyoko sampai dia menunggu Salbia menutup pintu.
“Hei.” Katanya melihat Kanara dengan ekspresi muram dari atas tangga “Kau menyukainya, kan?”
Kanara mengangkat alis “Tentu saja, buat apa aku pacaran dengannya kalau tidak suka?”
“Bukan dia!” Kyoko menggeram. Bukan Salbia? Oke, memang bukan Salbia, tapi tidak mungkin Kyoko tahu siapa sebenarnya yang ia sukai selama ini.
“Marelien. Kau menyukainya” Katanya menggelegar ditelinga Kanara. Kanara terdiam. Mengatur napas supaya suaranya terdengar gentle tidak bergetar.
“Kau ini ngomong apa, sih?”
“Dia menyukaimu” Kyoko menyilangkan tangannya. Kanara mendengar jantungnya sendiri berdebar tidak karuan, seluruh tubuhnya kesemutan. Marelien menyukainya, tadi siang dia tidak salah dengar. Perasaannya campur aduk; senang dan bersalah.
“Aku sudah tidak tahan melihatnya, jadi kukatakan saja, dia menyukaimu. Lebih dulu.” Tekannya lagi. “Kenapa kau buta?”
“Aku tidak buta” Cicit Kanara. Ketahuan. Kyoko sudah tahu perasaannya pada Marelien.
“Terserah. Aku sudah mengatakannya. Kejar dia. agar dia bisa memulai dan mengakhirinya. Karena dia itu payah sekali untuk bilang suka”
“Memang tidak gampang” Dia tahu rasanya, tapi bukan perasaannya pada Salbia.
Kyoko memandang Kanara. Lama. Terlalu lama sampai rasanya Kanara merasa disengat lebah beracun yang kejamnya tidak kenal ampun. Kyoko berbalik tanpa sepatah kata pun lagi.
Agar dia bisa memulai dan mengakhirinya. Dia tidak suka pada kata terakhir itu. apa yang harus diakhiri bila dia dan marelien belum memulai apapun. Pinggangnya sakit karena berlarian ditangga, sambil berlari dia mengatur kalimat yang tepat agar bisa berbicara dengan gadis itu. Dia mengharapkan kejujuran. Lalu selanjutnya apa? berhasilkah dia jujur juga dengan perasaannya dan mengutarakan alasan yang masuk akal?—mengapa, dia menjalin hubungan dengan gadis lain kalau begitu menyukai Marelien?—sesak, panik.
Kanara melihatnya, Marelien sedang menggeser kardus dan berdiri di depan kamar nomor 14. Dia memegang dinding, menetralkan napasnya yang putus-putus.
“Elin” Panggilnya pelan.
Gadis itu menoleh. “Hei” Jawabnya pelan, Suara gadis itu serak.
Kanara menghampiri, berusaha tersenyum lebar. Namun dia malah memunculkan senyum yang seadanya.
“Tadi kamu lari?”
Kanara bergumam tak jelas, lebih kelihatan malu. Dia berlari-lari karena tidak sabar dengan rasa penasaran dan pengungkapan yang dinantinya. Dia melihat mata gadis itu, meneliti hidung, pipi, bibir.