Lelaki kekar berbalut jaket tebal berwarna coklat tua itu perlahan beranjak dari kursi kayunya. Melangkah malas menjauh. Menyisakan kemresek radio yang mengabarkan tentang cuaca Meksiko pagi ini. Kopi hitam masih saja mengepulkan asap di sebelah radio itu. Sementara lelaki itu berjalan menuju dapur. Mengambil potongan roti. Kemudian ia kembali berjalan, menuruni anak tangga, menuju basemen.
Perlahan ia membuka sebuah pintu ruangan. Kemudian meletakkan sepotong roti persis di balik pintu ruang itu. Tanpa piring atau alas plastik, roti itu diletakkan begitu saja di atas lantai. Layaknya seperti memberi makanan kepada binatang. Setahun terakhir, meletakkan roti di dalam ruang di basemen adalah rutinitas di pagi harinya. Hanya sekali dalam sehari. Lepas itu, ia berlalu. Menyisakan sosok remaja tanggung yang meringkuk terlelap di sudut ruangan. Dan tak akan kembali ke ruang itu hingga keesokan hari berikutnya.
Hari ke 293 Miriam dikurung. Kondisinya buruk. Remaja tanggung usia 14 itu kekurangan nutrisi. Lebih lagi kondisi kandungan dalam perutnya. Sepotong roti setiap hari tak akan pernah cukup memenuhi kebutuhan asupan gizinya. Namun, tak ada pilihan lain. Ayah tirinya tak akan mendengar keinginan hati bahkan buah hati dalam kandungannya. Bahkan ia begitu teganya mengurung putrinya sendiri dalam basmen ini. Brandt, tak pernah memiliki alasan yang masuk akal soal mengapa harus mengurung anak tirinya dalam ruangan itu. Yang jelas, ia tak ingin orang lain melihat kondisi putrinya yang hamil muda tanpa ayah.
Betapa malang nasib Miriam. Diusia semuda ini ia harus merasakan hal yang seharusnya belum ia rasakan. Lihatlah, remaja tanggung usia 14 itu hampir melahirkan. Usia itu, belum waktunya ia mengandung. Di usia itu, seharusnya ia masih sibuk dengan sekolah, teman-teman dan kesibukan lain bersama teman sekolah.
****
Mobil taxi berwarna kuning itu perlahan menepi. Berhenti persis di depan sebuah rumah. Sementara hujan masih turun rintik-rintik. Tak begitu deras seperti beberapa saat lalu. Seorang wanita berjaket hitam selutut dalam taxi memerhatikan jendela sebuah rumah dari balik kaca mobil taxi. Sementara sopir taxi mengeluarkan bukusan rokok, mengambil satu batang, kemudian menyalakannya. Perasaan hati wanita itu bercampur aduk. Antara takut, rindu, dan ingatan masalalu yang mengganggu pikirannya. Terlebih ia amat merasa bersalah. Ingatan-ingatan itu, tak terasa, akhirnya membuat matanya basah.
"Kau tetap disini, Max. Aku akan masuk ke dalam rumah, menjemput putriku. Kemudian, ketika aku dan putriku sudah masuk mobil, kau harus secepatnya membawa kami pergi sejauh-jauhnya dari tempat ini." Interuksi wanita itu kepada sopir taxi, memasang wajah bersungguh-sungguh.
Sopir taxi itu mengagguk, mengepulkan asap rokok.
Wanita itu keluar dari taxi, merapatkan jaket selututnya. Rintik hujan menyertai perlahan langkah kaki menuju rumah itu. Sebelumnya, Sharon sudah benar-benar mengamati jika Brandt, mantan suaminya yang memiliki rumah itu sedang tak ada di rumah. Hari ini, ia akan lebih leluasa menjumpai Miriam.
Sudah setahun terakhir ini dia tidak pernah jumpa dengan putrinya. Setiap Sharon datang dan menanyakan keberadaan Miriam, Brandt selalu beralasan jika Miriam telah kabur dari rumah. Dan kabar itulah yang akhirnya membuat Sharon benar-benar melupakan soal Miriam. Namun, jelas ia tak akan semudah itu percaya. Sharon yakin, jika putrinya masih ada di rumah itu bersama Brandt.
Pintu rumah itu tak dikunci. Lepas sejenak memastikan jika benar Brandt tidak di rumah, Sharon segera masuk.
Tak ada yang berubah dari rumah ini. Semuanya masih sama seperti setahun terakhir sebelum ia pergi. Bahkan foto-foto dirinya masih saja tersenyum bahagia dihari pernikahannya dengan Brandt. Pernikahan yang sangat ia sesali.
Sharon tak menemukan Miriam di lantai bawah, sama sekali tak ada siapa-siapa. Kemudian ia naik ke lantai atas, memeriksa ruang-ruang di atas. Lima menit memeriksa, ia juga tak menemukannya. Tak ada seorang pun di rumah ini. Sharon menghela nafas berat, hatinya kecewa. Sementara diluar, hujan deras mengguyur. Kaca rumah berembun. Sopir taxi menggantungkan sebatang rokok di mulutnya, menyalutkan api ke ujung batang rokok. Kabin taxi dipenuhi asap.
Dengan rasa putus asa, Sharon duduk di ruang tengah. Meraih foto Miriam, tersenyum menatap gambar gadis kecilnya. Rasa rindu itu seakan tenggelam. Seperti sesak menahan nafas saat kenangan-kenangan teringat. Sharon benar-benar merindukannya.
Beberapa saat setelah terduduk menatap foto Miriam sekali lagi, Sharon beranjak. Ia harus segera pergi. Meski tak menemukan Miriam hari ini. Dia tak akan aman jika memaksakan diri. Brandt masih sebagai ancaman baginya. Sewaktu-waktu kapanpun ia bisa kembali.
Ketika tangan Sharon menarik tangkai pintu, ia tertegun, teringat sesuatu. Masih ada satu ruangan yang belum sempat ia lihat. Ruang di basemen. Satu ruangan paling tersembunyi di rumah ini. Terletak di dasar rumah.
Astaga!!
Sharon bergegas menuruni anak tangga, menuju ruang di basemen.
Sharon mendekati pintu ruangan paling rahasia di rumah ini. Tangan kanannya segera meraih gagang pintu, gemetaran, menarik-narik berusaha membuka. Namun pintu itu rapat terkunci.
"Miriam!! Miriam!!" Sharon menggedor berulang.
"Apa kau di dalam, nak..." Suaranya menggantung di langit-langit.
Tak ada jawaban. Sharon beberapa kali menggedor pintu. Juga tak ada suara apa pun dari dalam, sunyi.
Sharon terdiam sesaat, menoleh ke kanan dan ke kiri, mencari benda apa saja yang bisa ia gunakan untuk mencongkel pintu. Di sudut ruangan, ia melihat pipa besi. Sigap ia segera menghampirinya. Beberapa saat setelah itu, ia sudah siap dengan pipa besi teracung di tangan.
Ketika pipa besi itu mulai di ayun, sedikit lagi menghantam gagang pintu, tiba-tiba saja sebuah tangan kekar menahannya, menarik dan membuang pipa kelantai. Suara berkelontangan terdengar sesaat. Sebelum akhirnya Sharon menyadari siapa yang mencegahnya.
Astaga!! Sharon benar-benar terkejut melihat sosok di hadapannya.
Tangan kekar Brandt sigap mencekik leher Sahron, merapatkan tubuhnya ke dinding basemen. Beberapa senti tubuh Sharon terangkat. Brandt tak memebri ampun meski kepada mantan istrinya sendiri. Ia benar-benar ingin membunuhnya. Tangan dan kakai Sharon menggapai-gapai di udara.
Dengan posisi tercekik, Sharon mencoba melepaskan cengkraman kuat tangan Brandt. Beberapa kali memukul lengan dan wajah Brandt. Namun, apalah daya seorang perempuan. Bahkan, sedikit pun Brandt tak bergeming. Wajahnya tampak merah padam. Ia benar-benar marah jika ada yang berani mendekati pintu itu.
Sharon mulai kehabisan nafas. Aliran darahnya terhambat. Wajah putihnya berubah merah. Sungguh ia tak bisa bernafas. Sementara tangan Sharon meraba-raba benda yang tergantung di dinding basemen. Mencoba menemukan benda apa saja yang bisa membantunya. Kondisinya semakin buruk ketika Brandt semakin memper erat cengkramannya. Membuat Sharon benar-benar kehilangan nafas. Tenggorokannya tercekat.
Saat nafasnya benar-benar habis, tingga menunggu waktu nyawanya terlepas, saat itulah tangan kanan Sharon berhasil meraih sesuatu. Tanpa menunggu waktu, Sharon kuat menghantamkan benda itu ke kepala Brandt.
Kaca bingkai foto tua berhamburan, menghantam keras kepala Brandt. Beberapa pecahan kaca tertancap di wajahnya. Membuat cengkraman tangannya terlepas. Sharon terjatuh ke lantai.
Sementara Brandt meraung kesakitan. Menjatuhkan benda apa saja di sebelahnya. Merespon hal itu, Sharon segera berlari, menaiki anak tangga, terus berlari keluar rumah. Menuju taxi Max yang masih terparkir di tepi jalan. Tak jauh dari rumah Brandt.