Theresia

Be. One
Chapter #3

Bab 2 Dua Sekawan

Baru saja pesawat Aeromexico melakukan lending kedua kalinya setalah sempat transit di Turki selama beberapa menit, mengisi bahan bakar, mengambil penumpang, terbang lagi dan akhirnya tiba di Meksiko. Sebelumnya, pesawat itu melakukan perjalanan dari Madinah. 

Dua pemuda berjalan beriringan, menuruni anak tangga bandara, terus berjalan menuju pintu keluar. Mereka berdua tak terlalu banyak membawa barang. Cukup tas ransel yang tidak terlalu besar, namun cukup untuk wadah beberapa pasang pakaian. Sedikit terlihat cerah wajah mereka ketika melihat nuansa kota ini. Begitu berbeda dengan kota Madinah. 

Salah satu pemuda itu menghela nafas, "benarkah kita berada di Meksiko? Apakah ini nyata?"

Kawan di sebelahnya tersenyum, "iya, beginilah kota kelahiranku, Dan. Kau lihat sendirikan, betapa mereka jauh dengan agama. Sama sepertiku dulu waktu masih disini. Tak pernah memikirkan sesuatu melebihi uang. Apalagi hidup setelah mati. Itu benar-benar seperti membahas alien di luar angkasa." Pemuda itu memerhatikan sekitar.

Hudan tersenyum, "berarti kau adalah orang-orang pilihan, El. Sudahlah lupakan. Kemana arah kita selanjutnya?"

"Kita ke rumah saudara perempuanku. Dan untuk beberapa hari kita akan bermalam disana." 

"Oke," Hudan bersemangat.

"O iya, kapan kita ke Indonesia?" Sebelum berjalan, Daniel sedikit memberi gurauan hangat.

Hudan tertawa, "setelah urusan ini kelar, kuajaklah kau ke Indonesia, ke tanah Jawa, tanah kelahiranku."

"Janji,"

"Iya, asal kau betah tinggal di kampungku."

"Apa ancaman yang membuatku akan tidak betah tinggal di kampungmu?" Dahi Daniel terlipat.

Hudan memutar kepalanya, menatap Daniel yang menunggu jawaban. "Kau harus kuat jadi trending topik pembicaraan ibu-ibu sekampung." 

Tawa Hudan lepas. Ia benar-benar teringat dengan ibu-ibu di kampungnya. Yang tak pernah ada habis-habisnya jika sedang membicarakan kehidupan orang lain. Saat berkumpul, arisan, di warung, depan-depan rumah, di pasar bahkan dalam masjid. Wajah mereka tampak serius, berdiskusi macam perdana mentri. Tak pernah melihat bagaiman dirinya sendiri. Hal semacam itu sepertinya hanya marak di Indonesia.

Daniel ikut tertawa. Kali ini ia tak membalas gurauan kawannya. 

****

Sebuah taxi mulai berjalan perlahan ketika memasuki kawasan airport. Memarkirkan taxi di antara taxi taxi lainnya. Seorang pria yang terhitung tua membuka kaca jendela, asap rokok mengepul ketika kaca jendela mulai terbuka. Ia benar-benar penikmat asap.

Usianya masih 56, dan ia sudah menjalani profesi ini selama 31 tahun. Di usia 25, setelah menyelesaikan kuliah dan selalu tak diterima ketika melamar kerja di beberapa pabrik, menawarkan jasa teknisi yang sudah ia kuasai, akhirnya ia memutuskan menjadi sopir taxi. Menurutnya, Hidup sendiri sudah begitu cukup dengan penghasilan dari taxi. Rokok menjadi prioritas pertama.

Tak lama setelah itu, dua pemuda menghampiri mobil taxinya. Bertanya apakah ia bisa mengantarkan mereka berdua ke suatu tempat. Max bilang, itu pekerjaannya. Ia tersenyum.

"Katakan kemana kalian akan pergi. Argo taxiku rusak. Aku akan menentukan harga sesuai tempat tujuan." Max selalu ramah kepada penumpangnya.

Daniel menyebatkan satu nama kota di Monterrey.

Mendengar nama kota itu, Max segera menentukan harga. Dan Daniel setuju dengan penawaran Max. Itu benar-benar tarif umumnya.

"Akan kubukakan bagasinya, masukkan barang-barang kalian ke bagasi." Max membuka pintu mobil, menarik tuas bagasi.

Tak bertanya lagi, Hudan dan Daniel segera memasukkan ranselnya ke bagasi. Dan ikut masuk ke dalam mobil. Bersiap menuju kota berikutnya.

"kalian sudah siap?" 

"Ya, kita berangkat."

Mobil Max baru menyala setelah beberapa kali distarter. Sepertinya ada masalah di mesin. Mungkin karena kejadian beberapa hari lalu.

Lihat selengkapnya