Theresia

Be. One
Chapter #8

Bab 7 Ulang tahun Maria

Daniel menarik nafas berat. Ini di luar dugaannya. Ia tak pernah terfikirkan kejadian seperti ini. Dalam prospek hatinya, masa-masa berliburnya akan sangat menyenangkan. Berbuat banyak hal dengan kakaknya yang sudah lama ia tak jumpa. Juga canda tawa bersama Miriam keponakannya. Namun lihatlah yang tengah terjadi? Lihatlah rumah ini? Kosong, tak ada mereka. Bahkan ini seperti tidak di rumah saudaranya. Ini seperti sedang menyewa flat di sebuah kota asing yang tidak punya sanak saudara. Daniel benar-benar bingung. Bingung harus kemana lagi.

Perlahan, satu dua rintik hujan berjatuhan. Daniel seperti tak peduli. Ia tetap berdiri di balik kaca jendela lantai dua. Memerhatikan rumah Fred. Matanya berlinang. Rindu kepada kakak dan Miriam tiba-tiba menyusup kedalam hati. Bayang-bayang mereka seperti menari-nari di setiap sudut ruang ini. Daniel seperti menyaksikannya dari pantulan kaca jendela.

Ia teringat kejadian 15 tahun silam. Tanggal 12 Oktober 1999. Saat ayahnya masuk Islam dan mengajak satu keluargamasuk Islam. Pada saat itu hanya Sharon yang belum siap. Ia tetap bertahan, dan tak mau pergi pindah ke Jerman bersama keluarga besarnya. Ia tak pernah bilang tidak mau masuk Islam. Dia hanya selalu bilang, bahwa dia butuh waktu. Dan jika waktunya tiba, boleh jadi dia mengikuti ajakan ayahnya. Kalimat itu yang selalu terucap setiap kali ayahnya mengajak agar ikut apa yang menjadi pilihan ayahnya.

Waktu itu, Sharon berusia 20. Sudah cukup dewasa untuk berpisah dan menjalani hidup sendiri. Ayahnya pun berhenti memaksa. Dan membiarkan Sharon memilih jalan hidupnya. Hingga akhirnya keluarga besar Daniel pindah ke Jerman. Ke negara yang mulai banyak orang-orang islam. Sementara Sharon tetap tinggal di rumah lama, sendirian. Sebenarnya, Daniel tak tega dengan kakaknya, namun bagaimana lagi. Ia tetap harus berpisah.

Dua tahun kemudian, keluarga besar Daniel mendapat kabar bahwa Sharon mau menikah dengan orang Rusia, teman kuliahnya dulu. Kabar itu membuat keluarga Daniel bahagia dan jauh lebih tenang. Karena dengan Sharon menikah, tentu dia tidak sendirian lagi di Meksiko. Setahun setelah itu, keluarga Daniel mendapat kabar untuk yang kedua kalinya. Bahwa Sharon melahirkan seorang putri cantik yang menggemaskan. Sharon juga mengirimkan surat serta beberapa lembar foto putrinya yang diberi nama Miriam. Kabar itu sekali lagi membut keluarga besar Daniel bahagia. Dan memutuskan menjenguk Sharon tiga tahun setelahnya.

Dan itulah pertama kali Daniel melihat Miriam, keponakannya yang sangat menggemaskan. Daniel betah menginap beberapa hari disana. Bermain dan tertawa bersama Miriam adalah hal yang paling membuat hatinya betah berlama-lama di Meksiko. Sempat ia pernah tak mau diajak pulang ayahnya. 

Delapan tahun setelahnya, ada kabar buruk dari Sharon. Jika suaminya telah meninggal karena kecelakaan listrik di tempat kerjanya. Suami Sharon meninggal terbakar. Hanya menyisakan tulang belulang serta sedikit identitas. Waktu itu, Miriam sudah berusia 11 tahun. Sudah cukup besar untuk bersedih, menangis beberapa hari karena kehilangan ayah. Dan itu adalah kabar terakhir yang Sharon kirimkan ke Jerman. Selepas itu, hingga sekarang ia tak pernah memberi kabar lagi. Sampai akhirnya Daniel datang ke rumah ini.

Sebulir air mata merambat pelan di dinding pipi pria berusia 27 itu. Ingatan masalalu itu benar-benar membuat sesak di dada. Hujan mulai deras. Kaca jendela berembun. Terlihat Frad yang sedang menutup tirai. Daniel belum mau beranjak. Mungkin masih ingin mengingat potongan-potongan fase kehidupan kakaknya.

****

Selepas membaca Qur'an, Hudan sejenak berdo'a. Mengadukan segala masalah yang sedang terjadi. Tentang Sharon dan Miriam yang menghilang. Juga tentang Sarah, putri Pak Hamdan yang juga entah bagaimana kabarnya. Hudan selalu meminta agar semua baik-baik dan kembali seperti sedia kala. 

La Haula wala Kuata Ila Billah...

Hudan melipat sajadah, sambil menoleh ke jam dinding. Jam 20. 32, tak terasa, ia sudah menghabiskan waktu 2 jam membaca Al-Qur'an yang ia mulai lepas Sholat Isya' bersama Daniel. Mulai hujan turun sampai reda. 

Hudan beranjak menuju ruang keluarga dilantai dua. Tempat Daniel sedang melamun. 

Sejak tadi, Daniel masih tetap dengan posisinya. Melihat pemandangan depan rumah dari balik kaca jendela. Entah seberapa besar rasa sedih yang sedang ia rasakan. Yang jelas, ia benar-benar menangis.

Hudan ikut berdiri di sebelah Daniel. " Sudahlah, Niel. Insyaallah mereka baik-baik saja. Kita do'akan dan besok atau besoknya lagi kita tetap akan berusaha mencarinya. Serahkan semuanya kepada Allah, Niel. Pasti akan ada jawabannya." 

Daniel menoleh, tersenyum. " Sejak kapan kau selesaikan bacaan Qur'anmu?"

Dahi Hudan terlipat, "barusan." Jawabnya singkat.

"Tumben secepat itu. Biasanya kan kau butuh waktu 3 sampai 4 jam untuk menyelesaikan bacaan Qur'anmu. Apa ada hal yang membuatmu tak nyaman?" Daniel memastikan.

"Tak ada. Kau berlebihan, El. Mana ada orang sepertiku ini bisa melakukan hal-hal kebaikan seperti itu? Maksudku, aku tak serajin dan sebaik itu, El." 

Daniel tertawa. " Kau selalu merendah, Dan. Aku suka itu. Hal yang jarang kutemukan pada kawanku yang lain."

Dialog mereka tertahan ketika mendengar suara pintu diketuk. Sudah hampir jam sepuluh malam. Siapa yang bertamu semalam ini? 

Hanya Daniel yang turun untuk melihat siapa yang bertamu malam-malam seperti ini. Daniel bergegas karena boleh jadi itu kakaknya. Sementara Hudan ke dapur, membuat coklat panas.

Ternyata Maria yang mengetuk pintu. Gadis itu membawa kantung plastik makanan. Berdiri anggun di teras depan. 

"Hai," Maria menyapa duluan.

"Ha, hai." Balas Daniel gugup.

"Silahkan masuk." Lanjut Daniel.

"Emm.. aku hanya ingin mengantarkan ini." Maria menyodorkan kantung plastik di tangannya.

Daniel menerima kantung plastik itu.

"Hari ini aku ulang tahun. Dan hampir lupa jika tak diingatkan oleh kawanku. Jadi, tadi kita sedikit membuat pesta kecil-kecilan. Sebenarnya aku ingin mengundang kalian. Tapi karena hujan turun, aku takut merepotkan. O iya, di mana Hudan." 

"Emm... Ada diatas. Apa perlu kupanggilkan." 

"No.. tak perlu. Nitip salam buatnya aja." Maria tersenyum, manis sekali.

Itu kalimat terakhir Maria. Ia mohon diri. Beranjak tinggalkan pintu rumah. Kakinya belum seutuhnya sembuh. Namun, ia sudah terlihat baik. Hanya sedikit pincang.

"Emm... Maria.." 

Daniel memanggil Maria ketika ia sudah di depan jalan. 

"Terimakasih dan semoga panjang umur." Daniel tersenyum, mengucapkan selamat ulang tahun.

Lihat selengkapnya