Theresia

Be. One
Chapter #11

Bab 10 Perasaan Cemas

Daniel memesan secangkir kopi. Hujan deras membuatnya harus singgah sebentar di kafe ini. Setelah seharian penuh tak menemukan petunjuk, akhirnya memutuskan untuk mencarinya lagi esok. Hari ini terasa berat buatnya. Masalah-masalah ini mengungkung di dalam kepalanya. Membuatnya tak pernah tenang meski sesaat.

Di bawah kaca jendela yang berembun, Daniel berfikir dan tak bisa tenang. Merenungkan segela hal yang terjadi. Kemudian, ketika tak bertemu titik terang, sekali lagi ia menghirup kopinya, menghembuskan nafas berat. 

Ini akan menjadi liburan tersulit yang pernah ia alami.

Mobil taxi melambat, berbelok masuk ke area parkir kafe. Seorang laki-laki berbadan sedikit gemuk keluar dan berlarian kecil menuju Kafe. Sambil menghisap rokoknya ia membuka pintu. Memesan kopi lantas duduk di sebelah Daniel.

"Hai, Brother." Pria berbadan sedikit gemuk itu menyapa.

Daniel sedikit terkejut, lamunannya berantakan. "Hai, Max." Ia tersenyum.

"Boleh aku duduk di sini?" 

"Tentu, dengan senang hati, Max." 

Max tersenyum kecil, sambli menghisap rokoknya sekali lagi, sebelum ia harus membuang putung rokoknya.

"Kau tak sedang bersama kawanmu dari Indonesia itu?" Max tak melihat orang lain di sebelah Daniel. "Tak menyangka kita bertemu lagi disini."

Daniel memejamkan matanya, berat rasanya jika ditanya soal itu. "Hemm.. itu masalah yang sedang kupikirkan. Dia hilang ketika ingin menyelamatkan seorang wanita."

Dahi Max terlipat, "Bagimana itu terjadi?"

"Dia melihat gadis yang ditarik-tarik masuk ke dalam mobil. Ia mengejar mobil itu. Dan akhirnya, ketika aku mengikuti dari belakang, aku sudah tak melihat mereka lagi. Sampai sekarang." Daniel menghirup kopinya sekali lagi.

Hujan semakin deras. Sudah pukul 21.34 malam. Angin sesekali ikut bertiup. Malam itu terasa dingin.

"Apa kau sudah melaporkan kejadian itu ke polisi?" 

"Sudah siang tadi. Mereka sudah memulai investigasi. Tinggal menunggu kabar." Daniel teringat sesuatu. "Sebenarnya aku sudah datang dua kali ke kantor polisi. Pertama melaporkan soal kakak dan keponakanku yang menghilang. Dan sekarang, aku melaporkan tentang kawanku."

Hudan mengeluarkan beberapa lembar foto dan catatan. Dahi Max terlipat ketika melihat foto-foto itu. 

"Aku mengenali wanita dalam foto-fotomu itu."

Daniel sedikit terkejut, "benarkah?"

Max mengagguk, "dia Sharon dan itu putrinya yang malang."

Dahi Daniel ganti terlipat, "putrinya yang malang? Maksudnya?"

Satu dua rintik hujan menetes di kaca jendela Kafe. Max terdiam sesaat. Mengingat kejadian beberapa minggu yang lalu. Sementara Daniel terlihat menunggu pria setengah abat di sebelahnya itu.

"Nama putrinya Miriam. Remaja usia 14 tahun yang sudah mengandung." Max sengaja memutus ceritanya.

Daniel terkejut bukan kepalang. Cangkir kopinya terlepas. Jatuh diatas mejanya. Membuat sisa kopi tumpah.

"Mengandung? Mengandung bagaimana maksudnya?" 

"Aku tak begitu tahu persoalannya. Yang jelas, sewaktu aku dan Sharon menemukan Miriam di Basmen rumah Brandt, kondisinya memerihatinkan. Remaja sekecil dia sudah hamil 8 bulan." Max menyalakan rokoknya.

"Bagaimana itu terjadi? Bukankah dia masih terbilang anak-anak. Dan siapa yang tega melakukan hal itu kepada Miriam?" Daniel belum bisa percaya. Cerita itu memang sulit untuk langsung dipercayai.

"Entahlah, kami tak tahu persis siapa yang melakukan hal itu kepada Miriam. Yang jelas, ia di kurung di basmen rumah Brandt." Max mengepulkan asap rokoknya.

"Siapa laki-laki itu?"

"Mantan suami Sharon?" 

Bagai petir menyambar hati Daniel. Ia terdiam sesaat, mencerna kalimat Max, dan juga belum bisa mempercayainya. Bagaimana seorang ayah tega melakukan hal semacam itu kepada putrinya yang bahkan masih sekecil Miriam? Tapi, boleh jadi bukan ayah tirinya yang melakukannya.

Daniel mengambil selembar kertas foto paling bawah, menunjukkannya ke Max.

"Apa ini laki-laki yang bernama Brandt?" Daniel menunjukkan foto pernikahan Sharon.

"Iya, aku bisa membantumu pergi ke rumahnya. Jika kau mau melihatnya." Max berkata serius, menatap Daniel.

"Kita pergi sekarang?" Daniel kembali memasukkan lembar-lembara itu ke dalam ransel.

Max mengagguk. "Tunggu sebentar. Kamu bilang Sharon dan keponakanmu menghilang. Sejak kapan hal itu terjadi?" 

Daniel yang sudah berdiri kembali terduduk. "Sejak aku tiba di rumah Sharon, aku tak melihatnya. Rumahnya sudah kosong. Tetangganya juga bilang jika Sharon sudah tak di rumah sehari sebelum aku tiba."

"Aku masih melihatnya dua minggu yang lalu. Di salah satu pusat perbelanjaan. Bahkan aku sempat menyapanya ketika lewat di sebelah mobilku." Max sedikit memutar ingatannya. Boleh jadi dia akan mendapat petunjuk.

"Sebaiknya kita bergegas Max. Pasti lelaki itu dalang dari semua ini." Daniel bersungut-sungut.

Lihat selengkapnya