Theresia

Be. One
Chapter #13

Bab 12 Baju Ganti

Tiga hari di dalam ruangan itu, Hudan juga sudah mulai terbiasa. Bahunya semakin hari semakin membaik. Tak ada infeksi atau gejala penyakit lainnya. Tubuhnya lebih terasa fit tiga hari terakhir ini. Dalam ruangan itu, ia lebih banyak menghabiskan waktu berdiri menghadap kepada yang maha kuasa. Sejak pertama kali dimasukkan ke dalam ruang ini dalam kondisi baju berlumur darah, sejak itu pula ia resah, memikirkan bagaimana ia bisa mengerjakan Sholat. Entah kebaikan apa yang ada dalam dirinya. Yang jelas, masalah hubungannya dengan Tuhan adalah yang terpenting. Ternyata ia mendapat kiriman pakaian ganti dari Maria. Serta beberapa obat anti infeksi, perban dan obat lainnya. Semua itu, Maria yang mengirimkan melalui koki masak yang mengantarkan makanan.

"Ada kiriman beberapa obat-obatan dan pakaian dari nona Maria, untuk anda. Di atas sana ia mencemaskan anda." Kata koki yang mengantarkan makanan beberapa hari yang lalu.

Assalamualaikum warahmatullah..

Assalamualaikum warahmatullah..

Hudan mengakhiri sholat asharnya, mengucapkan salam, menoleh ke kanan dan ke kiri. Kemudian ia mengangkat kedua tangan, berdo'a agar semuanya dimudahkan oleh Allah. Sampai kedua matanya basah, berharap dan takut jika masalah-masalah ini akan semakin menjauhkanya dari agama.

Apapun yang akan terjadi nanti ya Allah.. Jangan engkau jauhkan nikmat agama dan ketaatan hamba yang sedikit ini semakin meredup menghilang.. Tetapkanlah, kuatkanlah, agar hamba dapat mengikuti para ulama' terdahulu.. yang meskipun akan dihukum mati sekalipun, tak menjadikan mereka sedikit pun melupakan engkau ya Rabb..

Hudan mengakhiri do'anya ketika suara kunci pintu terdengar bergeser. Hudan sama sekali ia tak menggeser tubuhnya, tetap dalam posisinya. Biarlah siapa yang datang, mengantar makanan atau apalah. Yang jelas, ia harus selesaikan munjadnya.

Pintu terbuka. Terdengar suara berdecit lembut. Hudan tak menoleh. Sudah ia kira, jika yang datang adalah koki petugas mengantar makanan. Ia melanjutkan dengan berdzikir.

"Hudan.."

Suara lembut itu akhirnya menghentikan dzikirnya. Hudan tertegun. Ia hafal dengan suara itu. Perlahan ia memutar kepalanya, menoleh ke arah suara. Dan benar. Lihatlah, Maria sudah berdiri anggun di belakangnya. Tersenyum menatap Hudan yang sudah terlihat sehat dan baik-baik saja. Bahkan ia terharu, menitikkan air mata. Hudan segera beranjak. Sedikit tak percaya melihat Maria datang ke ruangannya.

"kau baik-baik saja kan, Maria?" Hudan bertanya, perlahan mendekat.

Maria segera menghapus air matanya. Entah apa yang ia fikirkan, tiba-tiba saja ia berhambur, memeluk lelaki di hadapannya erat, tersedu. Hingga membuat tubuh Maria tersentak-sentak menahan tangis. Hudan yang dipeluka, kali ini ia benar-benar canggung. Hatinya sangat menolak. Namun kondisi saat ini tak memungkinkan untuk segera menolak. 

"Sudahlah Maria, tak ada waktu lagi. Kita segera keluar dari rumah ini." Hudan, melepas pelukan Maria, mengajaknya bergegas.

Maria mengangguk, tanpa berkata apapun, ia segera mengajak Hudan bergegas berlari. Menarik lengan pria itu agar mengikutinya.

Mereka menyusuri lorong-lorong ruangan ini. Menuju ruang paling belakang.

"Mereka tak melukaimu kan Maria." 

"Tak ada yang terluka, Dan. Sebaiknya kita harus cepat. Sebelum semuanya menyadari hal ini."

Akhirnya mereka tiba di pintu terkahir. Itu adalah pintu rahasia bagian belakang rumah ini. Lepas pintu itu, jalanan setapak menuju hutan. Dan terus hingga menghubungkan ke jalan raya. Mungkin sekitar 700 meter. Soal pintu itu, koki yang sering mengantarkan makanan ke Hudan yang memberi tahu. Koki itu akhirnya mau menceritakan dimana Hudan dikurang dan jalan rahasia setelah Maria memohon. Karena desakan dan permohonan Maria, koki itu tak enak hati. 

Maria dan Hudan sudah berada di depan pintu. Namun Maria tak segera keluar. Hudan yang sudah di luar pun mengajak Maria untuk bergegas.

Lihat selengkapnya