Keluar dari kawasan hutan, mobil terus melesat, melewati pinggiran danau. Jalanan naik turun, berbelok tajam, mengikuti lekak-lekuk bibir danau. Sebenarnya mereka belum terlalu jauh dari rumah besar Thom. Danau itu memang berdekatan dengan kediamannya. Bahkan, jika dilihat dari atas sebuah ketinggian, rumah Thom akan terlihat jelas.
"Kenapa kau senekat ini, Hudan? Astaga! Aku tak ingat jika memang kau selalu nekat." Maria menepuk dahi. Wajah cemasnya belum berkurang.
Hudan menghela nafas, tak mengurangi kecepatan. Ia fokus dengan jalan. Ada belokan di depan. Di kiri jalan tebing, kemdian danau luas. Hujan yang belum reda membuat sekitar terlihat semu. Ia harus berhati-hati. Atau mobilnya dapat terkelincir.
"Bagaimana dengan bahumu?" Maria bertanya lagi.
"Sudah mendingan. Obat-obatan yang kamu kirim sangat membantu. O iya, bagaimana kamu menemukan pakaian ganti untukku?" Hudan tetap fokus ke jalan.
Maria tertawa kecil, "tak perlu heran. Di rumah Thom banyak pakaian."
Hudan mengurangi kecepatan, di depan belokan tajam. Ia harus extra berhati-hati. Jalan masih licin. Dan tebing curam itu setiap saat dapat memangsa mobilnya jika sedikit saja terpelanting ke luar aspal.
Namun, ketika mobil sedikit lagi sempurna melewati belokan tajam itu, terpaksa Hudan harus menginjak pedal rem kuat-kuat. Dua mobil menghadang di depan mereka. Beberapa orang terlihat mengacungkan pistolnya.
Ya Allah..
Hudan berfikir sejenak, berhitung, belum beranjak dari kemudi. Sementara Maria kembali memasang wajah cemas. Ini akan menjadi hambatan yang susah di tembus.
"Kita harus bagaimana, Dan?" Maria jerih melihat kawanan yang menghadang di depan. Wajahnya benar-benar cemas. Selain takut dia akan kembali ke rumah Thom, lebih lagi, ia takut jika Hudan nekat dan akhirnya terluka.
Dua orang mendekati mobil Hudan. Berjalan perlahan. Pistol teracung. Hudan bersiap. Memejamkan matanya, berfikir mengolah gerakan apa yang harus ia lakukan.
"Kita tak perlu melawan, Dan. Biarkan aku bicara dengan mereka." Maria memegang bahu Hudan. Ia tak mau jika Hudan harus berkelahi lagi hanya karena dirinya.
"Tenanglah, Maria. Kau tak perlu khawatir. Tetap di tempat dan jangan beranjak sebelum aba-aba dariku."
Persis ketika seorang dari kawanan mendekati pintu mobil, sekuat tenaga Hudan menendang pintu. Membuat benturan keras antara pintu dan kawanan bersenjata. Ia segera bergegas, keluar dari mobil, mengambil pistol yang terjatuh. Kemudian mengarahkannya ke beberapa orang di sekitar mobil yang menghadang.
Tujuh orang lagi bergerak. Mereka tak terlihat takut dengan acungan pistol Hudan. Terus berjalan mendekat. Membentuk formasi, mengepung. Hudan membidik salah satu dari mereka, melepas tembakan di bagian paha. Namun ternyata pistol itu tak beramunisi. Saat itu juga, ia beranggapan jika pistol yang ada di tangan mereka semua hanya untuk sebagai gertakan. Hudan membuang pistol ke sembarang arah. Bersiap melawan mereka dengan tangan kosong. Ini sudah sering ia lakukan. Sejak SMA, perguruan silatnya di kampung memang kerab sekali menjadi sasaran kroyokkan oleh perguruan lain. Karena perguruan silatnya tak sejalur dengan perguruan pada umumnya. Dan mereka selalu menang.