Hujan deras mengguyur. Membungkus sepanjang jalan juga gedung-gedung apartemen. Dingin menyeruak masuk ke setiap celah fentilasi, jendela juga pintu yang terbuka. Daniel merepatkan jaketnya. Duduk di balik kaca besar restoran Turki, terenung. Ia menghela nafas. Sepagi ini hujan sudah menghentikan aktivitas yang harus ia lakukan. Tiga hari lebih tanpa satu kabar pun tentang Hudan, tentu membuatnya gelisah tanpa henti. Lihatlah, bahkan jemarinya mengetuk-ngetuk meja, tak sabar menunggu hujan reda. Dan ingin segera kembali mencari Hudan.
Seorang pelayan wanita, berhijab abu-abu itu mendekat. Membawa hidangan sepotong kebab dan satu minuman hangat. Usianya hampir 40. Wajahnya khas wajah orang timur tengah. Dari raut wajahnya, ia begitu ramah.
Daniel menarik kedua lengannya dari atas meja, memberi ruang untuk pelayan itu meletakkan pesanannya. Beberapa saat kemudian, hidangan sudah tersaji.
"Maaf tuan, jika boleh saya ingin bertanya?" Pelayan itu bertanya sebelum beranjak.
Daniel menoleh, dahinya berkerut. Ia sama sekali tak mengenali pelayan itu. "Iya, tentu. Silahkan jika anda ingin bertanya?"
"Soal teman anda dan Maria. Sebelumnya saya minta maaf, saya teman dekatnya Maria. Saya hanya ingin bertanya, apakah anda sudah menemukan sebuah petunjuk?"
Lengang sesaat. Hanya terdengar irama ketukan tetes hujan di luar.
"Bagaimana kamu tahu soal aku?" Daniel bertanya balik. Ia heran karena pelayan itu tahu bahwa ada kaitannya antara dirinya dengan Maria.
"Maaf, selama ini, setelah kepergian Maria aku dan suamiku sering berkunjung ke apartemen Maria. Karena kakaknya tak ada yang mengurus lagi. Jadi aku dan suamiku yang meluangkan waktu untuk mengurusnya. Mereka sudah kuanggap sebagai saudara sendiri. Dan Lio yang menceritakan semuanya. Juga soal anda. Saya benar-benar berharap, jika anda sudah menemukan meski sebatas sebuah petunjuk. Kasihan Lio, sepanjang hari hanya nama Maria saja yang keluar dari mulutnya. Saya takut jika kondisi kesehatannya semakin menurun." Wanita itu berkata penuh harap.
Daniel hanya bisa menghela nafas. Sampai saat ini dia benar-benar belum memiliki petunjuk. Pencariannya selama tiga hari terakhir tak membuahkan hasil. Ia juga baru teringat dengan kondisi Lio yang di tinggal Maria beberapa hari terakhir ini.
"Saya minta maaf. Sampai saat ini saya belum juga menemukan petunjuk. Tapi anda jangan khawatir. Setelah hujan reda, insyaallah aku akan melanjutkan pencarian. Mohon do'annya."
Pelayan itu mengagguk. Berterimakasih kemudian kembali bekerja. Menyisakan Daniel yang masih saja terlihat sedang memikirkan sesuatu.
Lahaula wala Kuata Ila Billah..
Usai sarapan pagi, ketika hujan sudah berhenti, ia bergegas beranjak. Hampir satu jam ia duduk menunggu hujan reda. Dan sekarang sudah waktunya tiba. Ia sudah dapat melanjutkannya pencariannya.
Daniel menghampiri kasir. Membayar makanannya, kemudian beranjak keluar.
Baru beberapa langkah, tiba-tiba mobil taxi berhenti di depannya. Daniel menghentikan langkahnya. Ia hafal benar dengan mobil taxi berwarna kuning keluaran 90 an itu.
"Daniel!" Max berseru ketika kaca jendela mobilnya terbuka.
Daniel segera mendekat.
"Cepat masuk ke mobil, nak. Kita harus segera ke rumah sakit. Tadi malam aku menemukannya di tengah jalan. Ia sekarat. Bagus sekali aku menemukanmu di sini. Di rumah Sharon tak ada orang." Max menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi.
Astaghfirullah hal adzim...
"Kau tak salah orang kan, Max?" Daniel masih belum percaya. Bertanya memastikan.
Max mengangguk, "cepatlah, nak.."
****
Dalam ruang putih itu, tak ada satupun orang yang menjaga tubuh berbalut perban dan bersilangan selang pernafasan, terlelap koma di atas ranjang rawat itu. Perasaan Daniel tak karuan. Melihat Hudan dalam kondisi sekarat. Matanya berlinang. Max menenangkan Daniel. Bilang agar dia bersabar.
Benar apa yang dikatakan Max. Bersedih sama sekali tak akan mengubah kenyataan yang sudah terjadi. Lantas ia menghapus air matanya. Menarik kursi, duduk di sebelah ranjang rawat Hudan.
"Bagaimana dengan Maria? Apa ia juga ketemu?"
Max menggeleng. "Aku hanya menemukan Hudan. Sempat kucari di sekitar area itu, namun sama sekali tak ada siapa-siapa kecuali kami."
Daniel sekali lagi menghembuskan nafas panjang. Menatap lekat ke wajah Hudan yang masih tertutup rapat kedua matanya. Dan entah sampai kapan ia akan seperti itu. Yang jelas, Daniel benar-benar khawatir.
Pintu terbuka, seorang berbaju serba putih masuk. Membawa beberapa alat medis.
"Hai.." Dokter itu menyapa.
Daniel dan Max secara bersamaan menolah, terkejut.
"Tuan Freddy!"
Dokter itu tersenyum, kemudian mengangguk. Meletakkan peralatan medisnya di atas meja.
"Aku ikut prihatin atas musibah yang menimpa Hudan. Saya akan berusaha semaksimal mungkin untuk merawatnya."
Daniel menganguk. "Terimakasih tuan Freddy. Anda selalu baik kepada l kami. Semoga tuhan membalas kebaikan anda. Dan maaf, sudah selama ini kita mengenal, namun baru tahu jika anda adalah seorang dokter."
Tuan Freddy tersenyum. "Ini sudah menjadi tugas setiap manusia. Agar saling membantu." Ia menepuk bahu Daniel. Sekali lagi tersenyum. "Dan sebenarnya saya baru saja di resmikan menjadi dokter. Sebelumnya saya masih dalam pelatihan. Melihat keaktifan dan kemampuanku yang semakin membaik satu tahun terakhir ini, pihak ruma sakit akhirnya meresmikan saya sebagai dokter."
Kemudian ia berbalik badan, mengantungkan sebuah alat di telinga nya, memeriksa detak jantung Hudan. "Sharon lebih dulu menyelesaikan pelantikannya. Lima bulan yang lalu, ia sudah resmi menjadi dokter dan bahkan sudah memiliki pasien pertamanya. Ia ahli dalam bidang pembedahan. Dan pasien pertamanya adalah seorang perempuan yang terjatuh dari tebing. Tentu itu akan membuat Sharon berusaha keras memperbaiki tulang-tulang yang patah." Freddy kembalik berbalik badan, melepas alat dari telinganya, meletakkannya di meja.
Dahi Daniel berkerut. "Sharon tak pernah bercerita jika dirinya adalah seorang dokter. Bahkan sama sekali ia tak pernah bilang soal pekerjaannya kepada kami."
Freddy menghela nafas, "Itu keputusan Sharon. Dia pun hanya bercerita tentang ketidak mauannya menceritakan profesinya kepada keluarga. Ia memilih untuk menyembunyikan."
Suasana lengang sesaat. Max sudah di luar. Ia tak tahan ingin segera menghembuskan asap rokoknya. Dalam ruang itu hanya mereka bertiga.
"Bagaimana dengan pasien pertama Sharon? Apa dia berhasil?" Daniel memilih bertanya hal lain.