Usai memakai piama, gadis cantik berambut lurus pirang itu perlahan menggerakkan kursi rodanya. Sejauh ini kondisinya benar-benar sangat membaik. Bahkan ia sudah dapat menggerakkan kedua kakinya.
Perlahan ia mendekatkan dirinya ke cermin. Menatap lekat ke wajahnya sendiri dari pantulan cermin. Lantas tersenyum. Goresan di wajahnya sudah semakin membaik. Meski ia tahu, akan sangat susah untuk menghapus lukanya sampai benar-benar menghilang.
"Maafkan aku Thom. Aku harus menjauh darimu. Kurasa, wanita yang kau jumpai malam itu, jauh lebih pantas mendapatkanmu daripada aku." desisinya pelan.
"Mungkin suatu hari nanti, aku akan datang kepadamu. Dan setelahnya, aku akan pergi bersama hati yang damai. Aku tak akan merasa bersalah lagi dengan pikiran burukku tentang mau. Kau adalah pria yang baik hati." Rachel tersenyum, menyentuh pipinya yang terluka.
Pintu kamarnya terbuka. Seorang wanita berusia 37 masuk. Tersenyum melihat adiknya yang baru saja juga tersenyum di depan cermin.
"Kamu masih tetap cantik, Rachel. Masih sama seperti saat dulu kamu di Rusia. Bahkan mungkin, jika saja tak ada luka di wajahmu, pastilah kecantikanmu akan melebihi Rebecca putri walikota. Kamu masih ingatkan betapa heboh kota kita ketika Rebecca bersama walikota berjalan di kota kita." Wanita itu duduk di bibir ranjang, riang bercerita sambil tersenyum-senyum.
"Bagaimana kakak mengingat itu?" Rachel ikut tersenyum. Menanggapi gurauan kakaknya.
Nana adalah satu dari ke dua kakaknya yang selalu perhatian dan peduli kepada dirinya. Lihatlah, bahkan disaat ia mendapat musibah, hanya Nana yang berbaik hati meluangkan waktu datang menjemputnya. Sebagian besar keluarganya memang sudah tak mau ambil pusing soal Rachel. Bagi keluarganya, Rachel adalah anak yang tak tahu diuntung. Bertahun-tahun tak pulang dan pernah memberi kabar. Sampai akhirnya ayahnya meninggal pun ia tak mau pulang. Karena itulah, sebagian besar keluarganya tak menganggapnya ada lagi.
Sejak usianya 18, ia sudah tinggal di Amerika. Melanjutkan kuliah dan bekerja. Belajar ke Amerika adalah cita-cita sejak kecil. Juga karena impiannya menjadi bintang film Hollywood. Akhirnya, dengan mengumpulkan segenap keberanian, ia terpaksa membantah ayahnya yang melarangnya terlalu jauh dari rumah. Itulah alasan mengapa Rachel tak pernah pulang. Karena ayahnya pasti akan menahannya saat akan kembali ke Amerika.
"Aku akan selalu ingat itu, Rachel. Saat itu adalah hari terakhir aku melihatmu. Hari terakhir melihat adik yang kusayangi pergi begitu saja ke Amerika. Bahkan tanpa berpamitan denganku." Nana mengedip-ngedipkan matanya yang tiba-tiba berlinang air mata. Ia merasakan betapa sedih pada masa itu.
Rachel segera menggerakkan kursi rodanya, mendekati kakaknya. Lantas memeluknya erat.
"Maafkan Rachel, Kak. Rachel tak punya pilihan waktu itu. Dan sungguh, saat pertama aku di Amerika, tak ada yang lebih kurindukan kecuali kakak. Rachel benar-benar tak punya pilihan." Rachel menggelengkan kepalanya di pelukan kakaknya.
"Yasudah. Aku tak menyalahkanmu. Yang penting aku sudah bisa melihat adikku yang satu ini. Ini benar-benar membuat apa yang dulu terjadi, terlupakan begitu saja." Nana tersenyum meski matanya basah.