Theresia

Be. One
Chapter #17

Bab 16 Pelarian

Mobil berwarna cokelat kusam itu berbelok ke arah ladang jagung di sisi kanan jalan. Perlahan memasuki area rumah tua tak berpenghuni. Rumah besar berlantai dua yang sudah di penuhi ilalang. Juga beberapa tanaman rambat. Pastilah sudah lama sekali ditinggal pemiliknya. Namun masih ada aksen penerangan. Masih ada beberapa lampu yang tergantung, menerangi beberapa tempat. Termasuk di dinding sebelah pintu masuk.

Brant menghentikan mobilnya persis di bawah lampu kuning di sebelah pintu masuk. 

Dengan membawa beberapa alat, seperti senter dan tali, ia keluar mobil. Berjalan menuju pintu masuk. Sambil sesekali memerhatikan sekitar. Sementara hujan masih turun. Meski sudah tak begitu deras. Langkah kakinya menaiki anak tangga kayu.

*****

Pukul 20.00. Sudah hampir 15 menit Sharon berkutat. Berusaha membuka pintu dengan kawat dan beberapa besi kecil lainnya. Juga sempat memukul dan mendobrak. Namun usahanya tetap gagal. Detik berikutnya, ia putus asa. Mengambil nafas, menyeka kringat di kening, memperbaiki anak rambut yang menjuntai menutupi mata. Nafasnya naik turun, jerih dengan kunci pintu itu.

Sudah lebih dari 4 hari ia di kurung. Dan hari ini adalah hari ke 5. Sama sekali tak menemukan jalan keluar. Brandt sungguh tak punya perasaan bahkan dengan istrinya sendiri. 

Empat hari lalu, saat Sharon dan Miriam terlelap, Brandt menerobos masuk ke rumahnya. Malam sudah begitu larut. Lewat tengah malam. Tak ada yang menyadari kedatangannya. Tiba di kamar Sharon dan Miriam, Brandt mendekap mulut mereka dengan kain bius. Membuat mereka jatuh pingsan sebelum menyadari apa yang sebenarnya terjadi. Dan setelah mereka tersadar, mereka berdua sudah ada dalam ruangan gelap nan pengap ini.

"Fuck!" Umpat Sharon ketika teringat dengan Brandt.

"Mom, ada darah lagi di pahaku." Kata Miriam di sudut ruangan. Matanya memerhatikan darah yang mengalir dari paha.

Mata Sharon terbelalak, melihat darah yang mengalir. Ia segera mendekat putrinya, memeriksa perut besar Miriam. Lantas, tangannya cekatan membersihkan darah, mengatur posisi Miriam agar tak terjadi pendarahan yang lebih parah lagi. Ruang itu sama sekali tak ada hal yang dapat digunakan.

"Kamu jangan banyak bergerak, nak. Tetap disini. Ibu akan berusaha lagi." Sharon membelai rambut putrinya. Matanya nanar, menatap kasihan.

Miriam hanya mengagguk. Ia kehabisan tenaga. Makanan yang ia peroleh tak cukup untuk memulihkan tenaganya. Demikian Sharon. Bahkan sesekali kepalanya terasa pusing saat mencoba membuka pintu.

Ia menemukan kawat untuk kesekian kalinya. Setelah kawat-kawat yang sebelumnya gagal dan patah. Kemudian ia membuat simpul di ujung, mencoba membuat pola yang lain. Setelah siap, ia mencobanya lagi. Tangannya gemetar memutar kawat ke kanan dan ke kiri. 

"Come on!!!" 

Ia semakin keras dan cepat memutar kawat. Rahangnya mengeras. Tak sabar dengan apa yang ia lakukan. Berharap agar ruang ini segera terbuka. Dan..

Klek..

Astaga! Aku berhasil..

Pintu itu terbuka. Benar-benar terbuka. Sharon berhasil dengan kawatnya. Dalam hatinya bersorak. Cepat membuka pintu, perlahan ia keluar dari ruang itu. Mengendap, menuju lorong-lorong di depannya. Sementara ia tetap meninggalkan Miriam di ruang itu. Agar pergerakannya leluasa. Setelah benar-benar aman, ia kan kembali dan membawa Miriam.

Susana disekitar lengang. Miriam tak sempat berkata. Tubuhnya lemas. Ia hanya berharap ibunya lekas kembali dan membawanya.

Lorong-lorong tampak gelap. Tak ada penerangan di sini. Sharon terus melangkah. Menyusuri lorong-lorong dan menuruni anak tangga. 

Sama sekali tak terlihat ada orang di rumah ini. Bahkan ia seperti merasakan, bahwa tidak ada nafas selain nafasnya dan nafas Miriam. Bangun ini lengang, kosong. Hanya suara jangkrik yang berderik. Juga beberapa hewan malam lainnya. Sharon menyatakan jika kondisinya aman. 

Sebelum kembali, sempat ia mencari apa saja yang bisa ia gunakan dalam pelarian. Ia juga menemukan beberapa potong roti di salah satu ruangan. Sharon berasmusi bahwa roti itu masih bagus setelah melihat ada beberapa bungkus rokok di sebelahnya. Ini pasti sisa dari Brandt. Cekatan ia memasukkan roti itu ke saku jaket lusuhnya. Ia juga menemukan botol air mineral yang masih tersisa banyak. Sharon tersenyum. Lantas ia beranjak, kembali menuju ruangan tempatnya di kurung.

Tiba di ruang itu, ia segera membantu Miriam duduk. Memberikan potongan roti kepada putrinya, juga air mineral. 

"Ibu tak makan?" Tanya Miriam yang masih lemas.

Sharon tersenyum, "ibu masih kenyang. Tak perlu khawatirkan ibu, makanlah semuanya, nak." Sharon tersenyum, membelai rambut putrinya lembut. "Tak ada orang diluar sana. Setelah kamu habiskan makananmu, secepatnya kita harus pergi dari rumah ini."

Miriam mengangguk, mulutnya penuh, masih sibuk mengunyah.

Setelah semua selesai. Sharon membantu Miriam berdiri. Dengan tertatih, akhirnya mereka mulai berjalan. Perut Miriam terasa perih. Bahkan langkah demi langkah, ia harus menahan nafas, meringis menahan sakit. Darah masih terasa mengalir dari pangkal pahanya. Merambat mengalir, turun ke pahanya.

"Kamu masih kuat kan, nak?" 

Miriam menggauk, menggigit bibir. Rambutnya menjuntai menutupi wajah, berantakan.

Namun, saat baru saja melangkah akan keluar ruangan, sekali lagi mereka harus kecewa. Pria yang di takutkan tiba-tiba saja sudah berdiri di muka pintu. Mendengus menatap mereka penuh emosi.

"No.." desis Sharon hampir tak bersuara. Terkejut bukan kepalang 

Brandt segera meraih tengkuk leher Sharon, menarik dan mendekapnya. Lehernya dari belakang. Pegangan Miriam terlepas dari tangan ibunya. Memvuatnya terjerembab, mengaduh menahan sakit. Brandt terus menarik Sharon hingga keluar ruangan. Menyeretnya, membawanya paksa menuruni anak tangga, menuju mobil. Brandt melakukannya tanpa bersuara. Dingin penuh ancaman. Seperti manusia tak memiliki hati 

No..!! No..!! 

Suara teriakan Sharon menggema di seantero rumah besar ini. Menjerit, mengumpat agar Brandt melepaskannya. Namun tak ada gunanya. Tak ada yang mendengar suaranya di rumah yang terletak di tengah ladang jagung ini. Brandt menutup kembali pintu ruangan, menguncinya. Menyisakan Miriam yang mengaduh menekan perut besarnya.

Mom..!! Mom..!!

Suara Sharon semakin menjauh. Barndt terus menyeretnya ke bawah. Membuat Miriam semakin panik. Ia beringsut menghampiri pintu. Berusaha membuka. Ia ingin menyusul ibunya. Namun, pintu itu sudah terkunci lagi.

"Mom!! Please don't leave me. Please!! Help me.." Miriam tergugu di balik pintu. Tangannya memukul-mukul papan pintu. Berharap ada yang berbaik hati membukakan pintu. Kemudian, Ia benar-benar akan putusasa untuk yang kesekian kalinya.

Ya Tuhan.. Mengapa engaku selalu menjauhkanku bahkan dengan ibuku sendiri.. Aku tak pernah durhaka kepadanya.. Aku tak pernah ingin membuatnya kecewa.. Kumohon, jangan lagi engkau pisahkan..

Suasana kembali lengan. Suara teriakan Sharon benar-benar sudah tak terdengar lagi. Seperti di telan gelapnnya malam. Hujan masih turun. Masih menyisakan dingin hingga ke lantai papap. Miriam menyadarkan tubuhnya putus asa. Menatap langit-langit penuh fikiran dan rasa takut yang mengungkung. Air matanya masih mengalir. Tergugu bingung apa yang harus dilakukan lagi. Ia hanya berharap ada seseorang yang akan menolongnya suatu saat nanti. Mungkin polisi.

Lihat selengkapnya