Pukul 02.47 dini hari. Perlahan mata Miriam terbuka. Hujan sudah reda. Menyisakan genangan-genangan air di sepanjang jalan, embun menempel disetiap daun dan rerumputan bisu. Batang pohon, jagung serta semuanya basah. Udara yang lembab membuat tubuh lemah Miriam menggigil kedinginan.
Perlahan Miriam menggerakkan tubuhnya, menahan nafas, beranjak duduk. Kepalanya masih terasa pusing. Tubuhnya kembali terasa lemas dan dingin. Sambil meringis, remaja tanggung itu mendekapkan kedua lengannya. Kondisi sekitar masih gelap. Miriam mengaduh memegangi perut. Dan tentu ia kembali kebingungan untuk memutuskan apa yang haru ia lakukan. Masih benar-benar gelap.
Mom..
Kalimat itu terlepas begitu saja, bibirnya bergetar. Kemudian hilang tertelan bersama gelap malam dan kesunyian. Mungkin hanya beberapa suara hewan malam yang menyambut desisan pelan remaja tanggung itu. Suara jangkrik yang berderik juga hewan-hewan kecil lainnya. Selebihnya sunyi.
Tak ada pilihan lain. Meski kondisi tubuhnya buruk, namun ia tak akan kembali berbaring di tengah jalan. Setidaknya ia harus mencari tempat yang lebih aman. Mungkin di depan sana sudah dekat dengan pemukiman. Miriam sempat melihat temeram cahaya lampu nun jauh samar-samar di depan sana. Pasti ada rumah di dekatnya.
Dengan pelan dan sambil menahan nafas, remaja tanggung itu berdiri. Baju dress selutut berwarna putihnya masih terasa basah. Ujung roknya meneteskan buliran-buliran darah dari kedua pahanya. Satu dua langkah, dalam posisi sedikit membungkuk, sambil memegangi perutnya, menggigit bibir, Miriam perlahan melangkah, memaksakan diri.
Meski terseok, terkesan melangkah dengan menyeret kakinya, namun Miriam sudah tak lagi kesulitan bergerak. Bahkan sudah semakin lebih cepat. Menggigit bibir, nafas naik turun ia tak putus harapan. Sesekali menyeka anak rambut yang menutupi wajah. Tiba-tiba, saat ia tertaih berusaha berjalan, bibirnya bergetar, pangkal hidungnya kendat, airmatanya mengalir. Miriam menangis. Teringat dengan kisah hidupnya setahun terakhir. Masa-masa mudah dan menyenangkan bersekolah, tertawa di kantin, melepas penat berlibur di pantai bersama ibunya sebelum masa-masa berat ini terjadi. Setahun lebih ia tak mudah untuk menguraikan senyum. Tak semudah saat melihat tingkah konyol teman-temannya di sekolah masa itu. Ini kondisi yang jauh tak pernah terfikirkan. Dan naasnya, ia harus melaluinya sendirian. Bayang-bayang itu lenyap kala dingin kembali menyergap. Desau angin bertiup. Dingin membuat tubuhnya menggigil.
Malam bersama bintang gemintang kecilku..
Alunan suara hewan dan angin bersama sinar rembulan..
Dipan empuk berwarna putih itu mengingatkanku kepada tuan putri salju..
Dongeng negri dahulu bersama kawanan kereta kuda dan menara-menara istana beratap kerucut..
Menjulang tinggi dan kulihat dari desa kecil berumah bebatuan merah tersusun..
Ada pangeran yang diam-diam memerhatikan saat tuan Puteri salju berkelana disekitar kerajaan..
Mereka kelak bersatu dan bahagia di sepanjang hari..
Pada malam seribu malam, bintang dan bulan seakan milik mereka berdua..