Seminggu Hudan di rawat di rumah sakit. Kondisinya sudah seutuhnya pulih. Lukanya sudah mengering. Hanya menyisakan nyeri sedikit. Dokter Freddy sudah mengizinkannya untuk pulang ke rumah. Dan menyatakan jika luka Hudan tak menyisakan penyakit serius. Hanya perlu istirahat cukup. Daniel akhirnya merasa lega.
Pagi ini, mereka berdua berisap mengemas barang-barang. Hudan perlahan mengenakan baju kaos. Sementara Daniel sudah bersiap membawa semua barang-barang. Dokter Freddy juga masih setia menunggu mereka berdua sampai pulang.
"Ingat, jangan terlalu banyak bergerak. Agar lukamu benar-benar mengering dan pulih seutuhnya." Dokter Freddy mengulangi kalimatnya yang sudah ia katakan kesekian kalinya.
Hudan mengangguk, "terimakasih, Dokter."
Tak bersela waktu lama, mereka berdua mohon diri. Transaksi administrasi sudah pagi tadi diselesaikan Daniel di resepsionis. Mereka tinggal pulang.
Max sudah menunggu mereka di lobi. Tubuh gemuknya tampak sudah begitu bugar. Daniel dan Hudan sudah beberapa hari tidak melihatnya. Ia bilang, ada urusan di luar kota. Namun pagi ini, ketika Daniel menghubunginya dan minta bantuan, Max menyanggupinya. Ia bilang, jika dirinya baru sehari ini tiba di kota ini.
Max menyambut kedatangan Daniel dan Hudan, ikut membantu membawakan barang-barang, memasukkannya ke bagasi.
Hudan menarik nafas, mengeluarkannya perlahan. Kemudian mengenakan jaket cokelat parasutnya yang sedari tadi terselempang di lengan. Kemudian masuk ke dalam taxi kuning kusam.
Max memberi aba-aba, lantas perlahan mobil kuning kusam itu mulai bergerak. Memasuki area jalan raya, Max menekan pedal gasnya lebih kuat. Mobil kuning kusam melesat membelah jalanan di pagi ini. Sementara cuaca terlihat mendung. Angin bertiup, pepohonan melambai-lambai di sisi kanan dan kiri jalan. Sebentar lagi hujan turun. Kota ini terlihat redup.
"Bagaimana kabar kakakmu?" Max membuka obrolan, bertanya kepada Daniel di sebelahnya.
Soal hilangnya Sharon dan Miriam sudah menjadi masalah bersama. Max dan dokter Freddy pun ikut andil dalam masalah ini. Sharon, wanita baik hati itu selalu di rindukan apalagi kabarnya seperti saat ini.
Daniel menghela nafas berat. "Sama sekali tak ada petunjuk, Max. Kurasa ini akan semakin sulit."
Ruang kabin lengang sesaat. Menyisakan deruan suara mesin tua mobil taxi Max.
"Beberapa hari lalu, aku melihat Brandt di bengkel mobil di ujung kota ini. Tampaknya kaca mobilnya di perbarui. Ia juga mendempul beberapa goresan di bumper mobilnya. Tak ada yang mencurigakan. Sial! Selama ini aku mencurigainya. Tapi disetiap berpapasan dengannya, seakan kecurigaanku kepadanya menghilang seketika." Nada Max meninggi setelah mengumpat mengutuk keadaan yang seakan berbalik 180 derajat.
Dahi Daniel terlipat, "apa hubungannya kaca pecah dan goresan bumper mobil?" Daniel tak faham dengan kalimat Max.
"Astaga!! Aku lupa menceritakan bagian ini. Baiklah akan kuceritakan kejadian waktu itu."
Mobil kuning berbelok ke kanan.
"Lepas Sharon dan Miriam berhasil ke luar rumah. Brandt masih tetap mengejar kami. Sebisa mungkin aku membawa mobilku jauh darinya. Memacunya sekencang-kencangnya. Namun ia tetap mengejar dengan mobil cokelatnya. Saling kejar-kejaran akhirnya terjadi antara mobil kami. Tak lama kemudian, ketika mobil sudah berada diluar are perumahan, aku mendesak mobilnya agar keluar jalan. Aku hanya berniat membuat mobilnya berhenti. Namun hal lain terjadi, meski ia sudah diluar jalan, ia tak pudi, masih memaksakan mobilnya berjalan lebih cepat. Hingga akhirnya ia menabrak bebatuan, mobilnya terangkat lalu terguling beberapa putaran sebelum sempurna berhenti. Kaca mobilnya berguguran. Bumper mobilnya terdapat banyak goresan. Aku meninggalkannya dalam posisi mobilnya terbalik di tengah jalan." Max mengakhiri ceritanya, mengepulkan asap sekali lagi. Ruang kabin di penuhi asap.
Daniel memerhatikan jalan, pandanganya menrawang. "Mungkin karena itu, akhirnya Brandt kembali mencari kakaku dan diam-diam membawanya pergi." Wajah Daniel berubah lebih serius. "Dan mengapa jarang yang tahu soal Miriam, kemungkinan karena kakaku tidak ingin yang lainnya tahu soal kehamilan Miriam."
"Bisa jadi," Max tak terlalu antusias menanggapi kalimat Max.
Sementara Hudan asyik menatap bangunan-bangunan tua di sisi kiri jalan. Ruko-ruko dan beberapa restoran juga orang-orang yang sedang berlalu-lalang. Kota ini seperti dalam film Sherlock Holmes. Bangunan-bangunan tua serta lampu di sisi jalan, juga ruko-ruko dan toko. Di Indonesia tak ada yang seperti ini. Trotoar lebih banyak di huni pedagang kaki lima. Jelas itu merusak pemandangan.
****
Beberapa hari tinggal di rumah Eddy dan Cemberly, Miriam mendapatkan perawatan yang baik. Makanan serta pakaian yang lebih dari cukup. Bahkan Cemberly juga memberikan beberapa nutrisi.
Miriam beranjak dari dipan. Berjalan perlahan mendekati cermin yang menempel di lemari pakaian. Sejenak ia memerhatikan dirinya dari pantulan cermin. Juga menatap perut buncitnya yang sudah benar-benar membesar. Bahkan, dibagian perut, baju dressnya seakan tidak muat.