Theresia

Be. One
Chapter #23

Bab 22 Box-box Kontainer

Pukul 6 pagi. Miriam terbangun. Menguap sambil mengucek kedua matanya. Lantas beranjak bangun, melipat selimut, menarik separi. Meski masih sangat ngantuk, namun ia harus berfikir untuk bisa keluar dari rumah ini. Semalam, lepas mendengar semua kalimat Cemberly, ia diam-diam menyusun rencana. Di pagi buta, diam-diam dia akan keluar lewat pintu belakang. Berjalan hingga ke rumah-rumah warga di sebarang sana. Namun ia terbangun kesiangan. Ini sudah lewat dari pagi buta. Diluar sudah begitu terang meski matahari belum terbit.

Miriam membuka jendela, memerhatikan suasana pagi ini. Dari kejauhan, ia bisa melihat rumah-rumah warga di seberang sana. Di balik pepohonan tinggi yang terbentang sekitar satu hektar. Rumah Eddy dan Cemberly ini terletak agak menjauh dari pemukiman. Itu membuat pergerakan kejahatan mereka tak ada yang memerhatikan. Mereka hanya tampak seperti para petani yang suka menyendiri.

Miriam menghela nafas. Untuk sampai pemukiman itu, ia harus berjalan melewati hutan sejauh seratus meter lebih. Jika dia tak sedang hamil, jarak itu tidak lah susah untuk dilalui. 

"Aku akan ke pasar dulu, Ed. Jika Miriam sudah bangun dan memerlukan sesuatu, kau harus secepatnya naik ke atas." 

Cemberly berjalan keluar rumah. Membawa tas kecil dan berdandan rapi. Dandanannya lebih mirip seperti orang-orang zaman dulu. Bahkan ia mengenakan topi bulat lebar.

Eddy yang di minta untuk menjaga Miriam mengangguk. Lantas kembali sibuk dengan kambing-kambingnya, memberikan banyak rumah segar.

"Yes.."

Miriam berseru senang. Ini kesempatan bagus. Tak mudah untuk datang dua kali. Jadi ia harus memanfaatkannya sebaik mungkin. Detik berikutnya, ia berganti pakaian. Melepas piama dan mengenakan dress selutut berwarna putih. Mengikat rambut lurusnya. Agar tak mengganggu saat dia beraksi. Ia juga sempat membuat alibi. Menyusun bantal dan guling diatas dipan, kemudian menutupnya dengan selimut. Agar nanati, jika Eddy melihat ke kamarnya, ia akan menyangka dirinya masih terlelap pulas. Lantas, dengan sangat pelan, ia mulai keluar kamar, menuruni anak tangga.

Astaga! 

Eddy terlihat berjalan ke rumah. Sementara Miriam sudah tiba di tangga bawah. Ia harus secepatnya sembunyi. Mengedarkan matanya, mencari tempat bersembunyi. Ia melihat tangga menurun menuju basemen. Sepertinya basemen adalah tempat paling aman untuk bersembunyi. Tanpa berfikir dua kali ia bergegas menuruni anak tangga sekali lagi, menuju basmen.

Namun Eddy tak sekedar masuk ke dalam rumah. Ia juga menuruni anak tangga menuju basemen. Miriam yang sudah di dalam basemen berfikir keras. Mencari tempat bersembunyi. Dalam basemen itu tak ada ruang untuk bersembunyi lagi. Hanya ruang kosong dengan banyak peralatan seperti gergaji, palu, tang, obeng dan sejenisnya yang tergantung di setiap sudut dinding basemen. 

Miriam menemukan pintu lagi di ujung ruangan. Sementara Eddy sudah hampir masuk ke basemen. Tanpa buang waktu, Miriam segera masuk ke dalam ruangan selanjutnya. Basemen ini terbagi menjadi dua. Ruang depan dan ruang belakang yang lebih tertutup.

Miriam melihat Eddy dari balik celah pintu ruang basemen bagian belakang. Eddy terlihat hanya sesaat mengambil tang dan beberapa obeng, kemudian pergi, naik ke atas. Menyisakan Miriam yang menghela nafas lega.

Saat ingin keluar, ia melihat saklar yang tergantung di sebelah pintu. Ruang basemen yang gelap itu membuatnya penasaran. Miriam mengingat sesuatu. Astaga!! Ia ingat kalimat Cemberly semalam. Ia bilang sering mengusap rambut putrinya di basemen. Mata Miriam membulat. Jangan-jangan putrinya ada di ruang ini.

Dengan hati yang di selimuti rasa penasaran, akhirnya ia memutuskan untuk menekan saklar lampu. Seketika ruang basemen itu menjadi terang. Miriam menutup mulutnya, terkejut saat melihat sosok hitam hangus terbaring di atas dipan kayu. Sosok gadis seusia Miriam dengan kulit hangus serta rambut palsu panjang lebih dari satu meter. Mengenakan dress putih sama persis dengan yang sedang Miriam kenakan. Cemberly mengawetkan putrinya di basemen rumahnya sendiri. Mungkin sudah selama 20 tahun setelah insiden kebakaran dalam gudang Eddy.

Miriam tak berani mendekat. Apapun yang sedang ia lihat, ini adalah sisi lain dari orang-orang pemilik rumah ini. Mereka mungkin sudah tak waras setelah kehilangan putrinya 20 tahun silam. Buru-buru Miriam kembali mematikan lampu, beranjak keluar ruangan. Sedikit tergesa, ia menaiki anak tangga setelah memastikan Eddy sudah sibuk lagi dengan aktifitas paginya. Ia terlihat sedang masuk ke dalam kolong mobil. Memperbaiki beberapa selang-selang yang bocor.

Lihat selengkapnya