Lepas mengerjakan sholat Jum'at dan berdo'a lebih lama dari biasanya, Hudan dan Daniel beranjak. Berjalan menuju parkiran Masjid. Hudan sesaat memerhatikan ujung Masjid ini. Berdecak kagum. Di negara minoritas seperti ini masih ada masjid besar dan sebagus ini.
Di parkiran, mereka bertemu dengan pak Iskandar orang Padang. Mereka belum kenal sebelumnya, namun akhirnya Hudan bertanya ketika mendapati mereka, satu rombongan keluarga berbicara dengan bahasa Indonesia. Hudan yang sangat familiar dengan bahasa negaranya segera menyapa, mengucapkan salam.
Membuat serombongan keluarga itu menoleh serentak, membalas salam Hudan.
"Maaf jika mengganggu. Perkenalkan nama saya Hudan. Juga berasal dari Indonesia. Jika diperkenankan, saya ingin bertanya?" Hudan memperkenalkan dirinya, bersikap ramah.
Akhirnya mereka saling mengenal. Pak Iskandar bersama dengan keluarga kecilnya. Istri dan dua orang anak. Satu seumuran Hudan bernama Zara. Satu lagi masih kecil, usia 9 tahun bernama Bunga. Hudan bertanya soal Sarah. Sempat menunjukkan foto. Namun Pak Iskandar menggeleng, ia tak kenal. Pak Iskandar berbalik badan. Memperlihatkan wajah gadis dalam foto ke pada istri dan puterinya.
"Itu Sarah. Zara sempat bertemu dengannya." Gadis berhijab abu-abu itu berseru begitu melihat foto Sarah.
Hudan dan Daniel berseru senang. Ini kabar baik. Setidaknya Sarah benar-benar ada di kota ini.
"Tapi Zara tak tahu lagi di pergi kemana. Terakhir kali, dia bersama Lilian, sempat kudengar katanya ingin pergi ke Korea untuk beberapa saat. Dan kembali lagi ke Meksiko."
Lengang sesaat. Menyisakan suara bercakap-cakap beberapa orang di sekitar Masjid. Hudan menghela nafas.
"Apa Zara punya nomernya?" Daniel yang bertanya. Dengan bahasa Inggris.
Zara menggeleng pelan. "Aku hanya punya nomer Lilian. Tapi aku tidak yakin jika nomernya masih bisa di hubungi."
Pak Iskandar meminta agar putrinya mencoba menelfon Lilian. Siapa tahu bisa.
Zara segera mengambil ponselnya. Mencari nama Lilian, lantas menelfon. Selang beberapa saat, terdengar suara operator yang bilang, jika nomer yang dihubungi diluar jangkauan.
Menyaksikan itu, Hudan tersenyum. "Tak apa. Terimakasih atas bantuannya. Dan ini nomer saya. Jika nanti Lilian dan Sarah sudah pulang dari Korea, bisa langsung hubungi nomer ini." Sekali lagi Hudan tersenyum.
Zara menerima nomer Hudan. Pak Iskandar pun memberinya kartu nama. Berjaga-jaga jika suata saat membutuhkannya. Dengan senang hati Hudan menerima. Sekali lagi bilang terimakasih.
"Dalam kartu nama itu ada alamat rumah saya. Jika ada waktu, boleh mampir. Nanti insyaallah akan kita jamu dengan jamuan seperti di Indonesia. Siapa tahu nak Hudan rindu masakan Indonesia. Seperti Rendang misalnya." Pak Iskandar terkekeh.
Hudan ikut tertawa.
Tak lama kemudian, keluarga pak Iskandar mohon diri. Hudan dan Daniel sekali lagi berterima kasih. Pak Iskandar dan keluarganya pun ikut berterimakasih. Begitulah orang Indonesia, suka berterimakasih meski dia yang membantu.
****
Taxi Max sudah menunggu di tepi jalan. Daniel sengaja memboking taxi Max agar tak kesulitan mencari kendaraan dan karena Max sudah begitu banyak membantunya. Dengan menyewa mobil Max tentu juga akan menguntungkan Max. Ia tak perlu susah-susah mencari penumpang.
Mobil taxi kuning kusam itu perlahan berjalan menuju rumah. Hudan sempat melihat Keluarga pak Iskandar yang sudah bersiap masuk ke dalam mobil, melambaikan tangan.
"Bagaimana jika sekali lagi kita pergi ke rumah Brandt. Kali ini kita tidak akan bertemu dengannya. Hanya memerhatikan pergerakannya dari jauh?" Daniel membuka ruang obrolan.
Kalimat itu membuat Hudan penasaran. Ia bertanya siapa orang yang sedang mereka bincangkan. Daniel menjelaskannya. Sementara Max masih fokus ke jalan.
"Aku tak yakin dengannya, nak. Tapi baik lah. Kita pergi ketempatnya." Max membelokkan mobilnya ke kanan. Ke arah rumah Brandt.
****
Tiba di tempat tujuan, Max memelankan mobilnya, kemudian menepi. Hujan sudah deras sesaat sebelum mereka tiba di area perumahan sepi Brandt. Sebenarnya ada banyak rumah-rumah lain di perumahan Brandt. Namun sudah banyak yang kosong. Di tinggalkan pemiliknya. Lebih memilih tinggal di dekat kota. Menyisakan rumah-rumah kosong dengan tanaman merambat di dinding.
Mereka bertiga mengamati rumah Brandt dari jarak yang lumayan jauh. Hujan deras membuat bising di dalam kabin. Di tambah lagi Max yang masih saja mengepulkan asap rokoknya. Ruang kabin mobil teras tak nyaman.
Saat mereka fokus memerhatikan rumah, tiba-tiba saja lampu mobil Brandt yang terparkir di sebelah rumah menyala, mesin mobil menderu. Lantas, perlahan mobil tua berwarna cokelat kusam itu bergerak, berbelok dan melesat membelah jalanan hujan.
"Kita ikuti Brandt, Max!" Daniel berseru.