Theresia

Be. One
Chapter #25

Bab 24 Sepucuk surat dari Maria

Lebih 5 hari sejak tiba dari Korea dengan pesawat pribadi, Thom belum sadarkan diri. Bisa dibilang kondisinya kritis. Peluru yang berhasil menembus dadanya berakibat fatal karena kecerobohannya yang tak mau segera di bawa ke rumah sakit, dan malah memaksakan diri terbang ke Meksiko. Beberapa pembuluh darah membeku. Merusak beberapa syaraf dan saluran penting yang terhubung dengan jantung. Dokter bedah nomer satu di rumah sakit berjuang keras. Ia sangat menyayangkan keputusan Thom yang tidak mau segera dirawat. Dan sampai saat ini, Thom masih koma.

Sementara Maria sedang bersiap. Menunggu celah para bodyguard lengah. Ia sudah memikirkan hal itu matang-matang. Dan memutuskan untuk pergi dari rumah ini. Ia tak bisa lebih lama lagi di rumah ini. Ia benar-benar khawatir dengan Lio dan juga merindukan beberapa orang terdekatnya. Malam ini juga, ia harus berhasil pergi.

Pukul 20.30, langit dipenuhi mendung. Sepertinya sebentar lagi hujan turun. Maria sudah keluar kamar. Berjalan biasa menuruni anak tangga, menyapa beberapa bodyguard yang ia kenal. Tak lepas juga tersenyum, untuk menghilangkan rasa kecurigaan. 

Maria terus berjalan, menuruni anak tangga sekali lagi. Hingga tiba di basemen. Ia masih ingat saat menunjukkan pintu keluar untuk Hudan sewaktu di sekap. Dan itu memang satu-satunya pintu yang paling aman. Selainnya, dimana-mana pasti ada bodyguard yang menjaga.

Sebelum keluar, Maria sempat mengingat saat memaksa Hudan untuk secepatnya pergi. Sementara dia malah kembali ke rumah. Pada saat itu, ia benar-benar melihat ketulusan Hudan menolongnya. Bahkan pria itu tampak begitu cemas saat Maria tak mau keluar dan pergi bersamanya. Ia berusaha masuk dan berteriak menyuruh Maria untuk keluar. Dan mengajak pergi bersama.

Perlahan Maria membuka pintu. Sejenak, pintu kayu itu berdecit. Saat pohon-pohon terlihat terhampar di depan mata, jalan untuk kabur terbuka lebar, saat itu, ketika ia ingin melangkahkan kakinya, tiba-tiba saja seseorang menyuruhnya untuk berhenti.

Sontak membuat Maria terkejut, perlahan mulai menoleh kebelakang. Seorang bodyguard yang tak ia kenal, sudah mengambil posisi dengan pistol teracung. Wajahnya serius, menatap tajam ke arah Maria.

"Kembali nona! Atau aku akan menembak kepalamu!" 

Bodyguard itu mulai menggertak, perlahan melangkah maju. Maria hanya terpaku. Bingung tak punya ide untuk menyingkirkan bodyguard ini.

Atmosfer disekitar terasa menegang. Tak ada suara yang keluar dari mereka berdua. Hanya bodyguard itu yang terus melangkah mendekati Maria. Sementara Maria mulai berfikir keras. Ia benar-benar ingin pergi dari rumah ini. Dan saat inilah, saat Thom tidak ada, adalah peluang terbesarnya untuk melarikan diri.

Bodyguard itu menelikung lengan Maria ke belakang, berpindah posisi menjadi di belakang Maria. Lantas, memaksa agar Maria berjalan kembali ke kamarnya. Tak ada pilihan lain, akhirnya Maria mengikuti kemauan bodyguard. 

Namun, baru beberapa langkah, seseorang lainnya datang, menarik kerah bodyguard, memberi satu dua pukulan di rusuk dan ulu hati, lantas mengangkat tubuh bodyguard, membantingnya ke tembok. Membuat tubuh bodyguard tersungkur pingsan dan berdebam di lantai berdebu. 

Sebelum Maria menyadari siapa orang yang melakukan itu, lengan pria berpakaian serba hitam itu segera merengkuh dan menutup mulut Maria. Lantas membawanya ketempat yang lebih gelap, bersembunyi. Pria itu menyadari kedatangan bodyguard-bodyguard lainnya. Suara derap langkah dan teriakan itu semakin dekat di lorong basemen. Mereka bersembunyi di balik tembok gelap. Dengan posisi tetap menutup mulut Maria.

Ketegangan di basmen semakin terasa ketika para bodyguard menemukan kawannya yang terkulai pingsan di lorong. Mereka berpencar, mulai melakukan investigasi di sekitar tempat kejadian. Lebih dari 5 menit, akhirnya mereka berkumpul, memberi laporan. Namun, mereka tak menemukan sesuatu. Dan memutuskan untuk kembali.

Setelah dirasa aman, pria itu menarik tubuh Maria menuju pintu, membukanya, lantas keluar. Pria berpakaian serba hitam dengan tutup kepala dari jaketnya, yang seperti aktor dalam film Assassin creed itu terus membawa Maria menjauh. Terus melangkah masuk ke dalam hutan.

Sampai di tempat yang dirasa aman, pria itu melepaskan Maria, membuka penutup kepalanya. Maria belum mengetahui siapa pria ini sebenarnya. Karena meski penutup kepalanya dibuka, dalam hutan yang gelap ini tetap tak bisa memastikan siapa sebenarnya pria ini.

"Kita harus secepatnya keluar dari hutan. Karena sebentar lagi, begitu para bodyguard itu menemukanmu tak ada di dalam kamar, mereka akan menyebar ke dalam hutan ini. Dan mereka akan menemukan kita."

Pria itu mulai melangkah, meninggalkan Maria yang masih terpaku tak mengerti. 

"Kamu siapa?"

Kalimat Maria membuat pria itu tertahan, lantas berbalik badan.

"Astaga! Apa kau tidak mengenali suaraku? Bukankah kemarin kau bercerita banyak soal mengapa kau harus ikut Thom kepadaku?" Pria itu berseru tak percaya.

Sesaat Maria mengingat, lantas tersenyum. "Astaga, tuan Armand!" Maria ikut berseru.

"Sudahlah, tak penting siapa saya. Yang jelas, mendengar kisahmu, aku merasa iba dan menganggap kau tak semestinya berada di rumah besar Thom. Sebaiknya kita pergi."

Sekali lagi Maria tersenyum. "Dua kali ini aku bertemu dengan orang Indonesia. Sungguh mereka benar-benar baik."

Akhirnya mereka berdua berjalan menyusuri hutan. Dan tiba di jalan aspal setelah kurang lebih 15 menit berjalan. Disana ternyata Armand sudah menyiapkan mobil sedan. Terparkir di tepi jalan. Armand segera mengajak Maria untuk bergegas. Pastilah tak lama lagi, para bodyguard itu akan menjangkau kawasan ini.

Setelah semuanya naik, Armand menyalakan mobil, lantas perlahan mobil sedan mulai bergerak menjauh. Lampu depan menerangi jalanan aspal yang mulai berkabut. Suasana di sekitar senyap, belum ada tanda-tanda kehadiran para bodyguard.

*****

Sepanjang mobil berjalan membelah jalanan malam, sampai tiba di kota dengan pemandangan bangunan-bangunan kota yang megah dan penuh warna, juga lampu-lampu jalan serta dalam toko-toko, Maria memerhatikannya dari balik kaca mobil, menyandarkan kepalanya dikursi. Ia sungguh menikmati perjalanan ini. Lihatlah, bahkan dia tersenyum sambil terus memperhatikan keluar jendela. Ada kegembiraan membungkus hatinya setelah keluar dari rumah Thom. Seperti ada beban yang terlepas begitu saja. Lebih lagi, mungkin karena akan bertemu dengan orang-orang yang selama ini ia rindukan. Seperti Lio dan Zaenab. Juga Hudan dan Daniel. Mereka yang paling sering Maria fikirkan. Terlebih Hudan, sampai saat ini ia belum tahu kabar tentangnya.

"Apa kamu pernah bertemu orang Indonesia sebelumnya?" Armand bertanya dengan tetap fokus memerhatikan jalan.

Hanya terdengar deruman lembut mobil sedan. Sesaat mereka terdiam.

"Iya, aku pernah bertemu dengan orang Indonesia. Dia sangat baik, ramah, suka sekali membantu." Kalimat Maria tertahan. Terdiam sesaat. Merasakan seperti ada rasa sesak dalam hatinya. Kemudian kedua matanya memanas. Ia teringat saat-saat terakhir di tengah jalan di tepi danau sebelum akhirnya dia pergi ikut rombongan Thom. "Dia begitu baik sampai-sampai rela mengorbankan dirinya demi orang lain. Entah dari apa hatinya terbuat. Yang jelas, selama aku hidup, baru pertama kali berjumpa dengan pria seperti itu." 

Di akhir kalimatnya, bayang-bayang Hudan berklebatan memenuhi kepalanya. Mulai dari kejadian di minimarket, dalam kejaran Bruce, tertembak, sampai akhirnya disekap Thom di basemen. Maria menekuk kepalanya, meras sedih atas semua yang menimpa pria baik hati itu. Dan yang lebih membuatnya sedih, Hudan lakukan semuanya demi dirinya.

Armand menoleh, "sudahlah, kau tak seharusnya bersedih. Sebentar lagi, kau bisa bertemu dengannya. Dan katakan saja apa yang ingin kau katakan atas kebaikannya. Mungkin dengan itu, kau akan merasa lebih baik." 

Maria menghapus air matanya, lantas kembali membuang pandangannya keluar jendela kaca mobil. "Tapi aku tak tahu bagaimana kabarnya lepas kejadian itu. Kondisinya buruk. Anak buah Thom menghajarnya sampai sekarat. Dan meninggalkannya begitu saja di tengah jalan. Mungkin sekarang dia masih hidup dan mungkin juga sudah mati."

Mobil terus melesat. Menyusuri jalanan ramai kota ini. Armand tak menanggapi lagi kalimat Maria. Terus fokus memerhatikan jalan.

Lima menit kemudian, Armand memelankan laju mobilnya. Dan berhenti setelah masuk ke halaman panjang di depan toko-toko di pinggir jalan itu. Dahi Maria terlipat, ia sangat ingat dengan tempat ini.

"Kita istirahat sejenak. Aku ingin berjumpa dengan kawan lamaku." Armand beranjak.

Minyisakan Maria yang masih bingung dengan toko butik yang ia lihat. Bagaimana Armand tahu soal toko ini?

Lihat selengkapnya