Lepas mengenakan baju, sejenak Maria mematut-matutkan diri di depan cermin. Celana pendek santai dengan kaos hitam lengan panjang itu membuatnya lebih fresh. Ia tersenyum. Rambut lurusnya dibiarkan tergerai. Kondisi hatinya lebih baik. Ia sudah dapat melupakan soal Thom lepas bertemu dan bercerita banyak hal dengan Lio. Paling tidak, ia tak perlu mencemaskan lagi soal keadaan Lio. Dia baik-baik saja selama dirinya pergi.
Angin malam membuat gorden jendelanya berklebat. Maria menghampirinya, berniat untuk menutupnya rapat. Namun, ia merasa seolah ada yang sedang memerhatikan kamarnya dari bawah. Perasaan ini sama seperti sebelumnya. Maria membuka jendela kamar, memastikan keadaan di luar. Ia menghela nafas, tak ada siapa-siapa. Hanya jalanan kosong nan basah, trotoar dan lampu jalan. Serta rinai hujan yang turun lebih lebat. Tak ada seorang pun disana. Maria menekuk kepalanya. Tiba-tiba teringat dengan Hudan.
Apa kabar tentangmu yang terluka di sana? Apa kau baik-baik saja? Atau?
Maria menggelengkan kepalanya. Tak mau meneruskan firasat buruk dalam fikirannya.
Di ruang tengah, Lio masih asyik dengan TV-nya. Malam ini ia sudah bisa tenang menikmati acara TV. Ia tak perlu lagi merasa cemas. Maria sudah di rumah sekarang.
Sementara Maria keluar kamar dengan tangan yang masih sibuk menarik resleting jaket selututnya. Berjalan tergesa menghampiri Lio.
"Aku akan keluar sebentar, kak. Aku ingin pergi ke restoran Turki. Membeli beberapa makanan. Kakak tunggu di sini saja." Kata Maria sambil memegangi pundak Lio.
Lio tersenyum, lantas mengangguk. "Hati-hati, Maria. Aku tak akan kuat kehilanganmu untuk yang kesekian kalinya."
Maria tersenyum. "Kakak tak perlu Khawatir. Hanya ke restoran Turki kok. Cuman berjalan 5 menit saja dari apartemen. Itu tak akan membahayakanku. Lagian, disana juga ada Zaenab dan Salim. Jika terjadi sesuatu denganku, pasti mereka akan membantu."
Sebelum pergi, Maria sempat mengecup kepala Lio. Bilang dia tak akan lama.
Karena tak punya payung, akhirnya Maria memaksakan diri berlarian dari kanopi rumah orang ke kanopi di depan ruko-ruko. Demi menyelamatkan tubuhnya dari tetes-tetes hujan. Terus berlarian sampai akhirnya tiba di depan restoran Turki. Sejenak ia mengibaskan jaketnya, menyisir rambutnya dengan jemari.
Setelah dirasa cukup, ia berbalik badan, dan buru-buru melangkah masuk. Namun, tanpa Maria sadari, saat dirinya berbalik badan dan hendak melangkah masuk, seseorang tengah berdiri di depan pintu kaca restoran. Tengah menatap memerhatikannya. Seketika membuat Maria tertegun beberapa detik. Ada sesuatu yang tiba-tiba menyesakkan hati ketika melihat pria dihadapannya. Lantas, setelah beberapa detik bersi tatap, saling diam, tanpa berfikir dua kali, Maria berhambur, memeluk Hudan erat-erat. Tersedu, menangis.
"Sudah Maria, lepaskan. Aku tidak apa-apa. Aku tahu kau menghawatirkanku. Lihatlah, aku baik, aku sehat." Hudan berusaha melepaskan pelukan Maria. Tubuhnya bergetar, sungguh selama hidup, ia tak pernah di peluk wanita selain ibunya. Dan ini membuatnya tak nyaman.
Maria tak menghiraukan kalimat Hudan. Ia malah semakin mempererat pelukannya. Airmatanya berderai. Tanpa sepatah kata pun yang terucap. Ia hanya menangis tersedu. Sambil tetap melingkarkan kedua tangannya ke pinggang Hudan, memeluk erat. Melepas kekhawatiran yang selama ini sesak memenuhi kepalanya. Ia benar-benar bahagia menemukannya baik-baik saja.
Hudan memerhatikan sekitar. Sungguh ia merasa tak nyaman dilihat beberapa orang dalam restoran. Zaenab dan Salim yang menyadari siapa gadis yang memeluk Hudan pun akhirnya tersenyum. Mereka ikut mendekat.
"Maafkan aku, Hudan. Sungguh aku minta maaf. Aku sudah membuatmu hampir mati. Aku.. aku yang membuatmu terluka. Aku yang membuatmu tertembak dan aku yang membuat semua hal buruk dalam hidupmu. Aku lah masalah besar hidupmu, Dan. Aku.."
Kalimat Maria terputus ketika Hudan memegang kedua lengannya, kuat, memaksa melepaskan pelukannya. Membuat Maria akhirnya mau menarik tangannya. Tampak wajah Maria yang dbasah air mata. Sesenggukan. Ia benar-benar menangis seperti anak kecil kehilangan balon. Wajahnya tertekuk.
"Sudah cukup, aku tidak apa-apa. Dan itu bukan salahmu. Lihatlah ke belakangku, Zaenab dan keluarganya sudah sangat mencemaskanmu. Sebaiknya kau peluk Zaenab. Dia sungguh merindukanmu." Perlahan Hudan melepaskan lengan Maria.
Maria terdiam sesaat. Menyisakan hentakan tubuhnya karena menahan tangis. Lantas ia kembali menatap Hudan dengan air mata yang masih mengalir. Wajahnya yang sembab berubah cemberut. Dahi Hudan berkerut, tak faham dengan maksud wajah Maria. Tak tahan dengan tatapan aneh Maria, akhirnya Hudan berbalik badan. Berharap bisa terhindar dari tatapan aneh itu. Lantas, tanpa dia sangka, saat dia sudah berbalik badan, membelakangi gadis cantik itu, dari belang, Maria memeluknya untuk yang kedua kali. Masabodo dengan orang-orang yang memerhatikannya. Hudan terkejut, menghela nafas sekali lagi. Kemudian meminta Zaenab untuk membujuknya agar Maria mau melepaskan pelukannya.
Akhirnya, Maria mau melepaskan pelukannya setelah Zaenab mengajaknya bicara. Lantas, mereka akhirnya sejenak kembali lagi ke dalam restoran. Duduk di kursi, memesan makanan, dan Maria bercerita soal apa yang telah ia alami saat itu. Zaenab sangat senang atas kedatangan Maria. Karena memang, Maria lah teman karibnya selama bekerja di sini. Beberapa Minggu tak ada kabar tentang Maria sudah membuatnya bersedih. Seperti ia sudah kehilangan adiknya sendiri.
Sementara Hudan tetap sama. Ia bersikap dingin. Selalu mengalihkan pandangannya dari wajah Maria. Melihat itu, Maria mendengus kesal. Wajahnya terlipat, lebih terlihat cemberut. Pria di depannya ini masih sama.
Kurang cantik apa sih wajahku. Sampai dia harus memalingkan matanya dari melihatku.
Begitulah arti dari tatapan sebalnya.
*****
Sudah pukul sebelas lebih. Hudan juga belum kembali. Daniel mulai khawatir. Takut jika terjadi sesuatu kepadanya. Sementara hujan belum juga reda. Masih deras mengguyur.
Sekali lagi Daniel menghirup kopi yang tinggal ampas. Lantas, ia beranjak. Menyambar ponsil di atas meja. Ia ingin menghubungi Hudan. Takut-takut jika terjadi sesuatu kepadanya.
Tapi, baru saja ingin menyalakan ponselnya, Daniel berseru kesal. Ponsel Hudan terlihat santai diatas sofa.