Sejak Cemberly menemukannya di rumah box konteiner, sampai saat ini, sekalipun Miriam tak boleh keluar kamar. Pintu itu benar-benar rapat terkunci. Dan naasnya, sebagai hukuman, Miriam hanya dikasih makan sekali dalam 24 jam. Dan sudah berjalan selama seminggu. Itu sama seperti yang pernah Brant lakukan sebelumnya. Jelas makanan itu tak akan cukup untuk kebutuhan Miriam yang sedang mengandung. Tapi apa boleh buat, bukan hanya sekedar memberi makan sekali dalam 24 jam, namun Cemberly kerab menyiksa gadis kecil itu. Lihatlah, bahkan goresan merah memar di punggungnya masih terlihat jelas. Cemberly memukul Miriam dengan gagang sapu lantai setibanya di rumah.
"Aow!!"
Sambil meringis menahan sakit, gadis kecil itu perlahan mengenakan baju dress selututnya. Sesekali mengaduh jika tak sengaja goresan merah di punggungnya tersentuh.
Sejenak Miriam terdiam. Rasa sakit dari punggungnya masih terasa perih. Sementara dibagian perut, ia sering merasakan nyeri dan lapar. Kondisi tubuhnya melemah. Jika kondisinya seperti ini terus-menerus, itu akan sangat membahayakan bagi kandungannya. Boleh jadi, dia akan keguguran karena kekurangan nutrisi. Belom lagi tubuhnya yang semestinya belum waktunya mengandung. Itu akan menambah persoalan lain.
Miriam beranjak, perlahan berjalan menghampiri kaca jendela, membukanya. Terpa angin lembut itu sejenak melonggarkan hatinya. Ia seakan bisa merasakan kebahagiaan di masalalu. Sering dulu ia merasakan angin seperti ini saat ayahnya masih ada. Ketika mendung pekat dan angin lembut bertiup.
Lantas ia teringat dengan sesuatu. Miriam mendekati meja kecil di sebelah dipan, menarik lacinya. Ponsel berwarna hitam legam itu segera tampak setelah laci sempurna terbuka. Itu ponsel Sharon yang ia dapatkan saat masih di sekap bersama ibunya di bangunan tua.
Perlahan Miriam mengambilnya, lantas menakan tombol on off. Tak lama setelah itu, ponsel hitam itu menyala. Sejenak menampilkan merek, lantas terbuka setelah beberapa kali kursor berputar. Masih ada sisa baterai 20 persen. Itu sudah lebih dari cukup. Namun ponsel itu tidak dapat digunakan. Miriam tak tahu kata sandinya.
Taklama kemudian, sebuah suara derap langkah terdengar semakin mendekati kamarnya. Miriam buru-buru menyembunyikan ponselnya. Dan kembali duduk di atas dipan.
Pintu terbuka. Menampakkan wajah tegas Cemberly yang baru saja masuk ke dalam kamar. Membawa nampan berisi senwic tipis. Lantas, meletakkannya di atas dipan di dekat Miriam.
Cemberly tersenyum kecut, "Makanlah.."
Karena memang sangat lapar, Miriam segera mengambil potongan senwic di atas nampan. Namun, baru saja akan menyentuh, nampan itu sudah berkelontangan di atas lantai kayu. Membuat senwic itu jatuh ke lantai berdebu. Cemberly sengaja menjatuhkan dengan kakinya. Miriam terkejut, panik menutup kedua telinganya.
"MAKANLAH MIRIAM!!"
Cemberly berteriak keras. Menarik rambut Miriam, lantas mendorongnya agar kepala Miriam lebih dekat dengan senwic di lantai itu.
"AYO! MAKAN!!"
Miriam menangis tersedu. Sambil kedua tangannya berusaha melepaskan cengkraman kuat Cemberly dari rambutnya. Namun, semakin Miriam memaksa melepas, semakin kuat pula Cemberly mencengkram.
"Sakit.. Kumohon lepaskan. Aku janji akan menurut. Aku akan memakan senwic ini. Sesuai permintaanmu. Tapi lepaskan rambutku..." Miriam memohon. Satu tanggapannya masih menggapai-gapai berusaha melepaskan cengkraman.
Cemberly tak peduli. Ia semakin menekan kepala Miriam. Tinggal sesenti lagi kepala Miriam menyentuh lantai. Isak tangis Miriam tak membuat Cemberly berubah. Satu tetes dua tetes air matanya jatuh ke lantai kayu. Bahkan air liyurnya ikut mengalir karena tangisanya.
"Makan senwicnya, Miriam!! Aku tak akan melepaskan rambutmu jika kau belum menyantap senwic itu!"
Apa boleh buat. Miriam harus memakanya, atau nenek nenek iblis ini akan membuat rambutnya terlepas dari kulit kepalanya.
Perlahan dengan menggunakan tangan kanan, ia mengambil senwic itu. Namun itu bukan kemauan Cemberly. Ia menginjak kuat tangan Miriam. Membuat Miriam harus merasakan rasa sakit yang lain. Tangisnya semakin keras. Miriam meringis manahan sakit luar biasa dari tangannya.