Theresia

Be. One
Chapter #32

Bab 31 Thelfon dari Sharon

Pukul 16.12 sore. Awan hitam masih menggumpal. Hudan dan Max pamit pulang setelah menyelesaikan beberapa pertanyaan lagi dan sempat menunaikan Sholat Asar. Dari hasil pertanyaannya, Lilian hanya bisa menjawab sedikit. Dan itu belum cukup untuk sebagai petunjuk baginya. Masih butuh waktu untuk menyimpulkan dari semu petunjuk-petunjuk. Mungkin fase selanjutnya, Hudan akan mencari tahu soal dokter ahli bedah terkemuka itu. Kemungkinan besar, Sarah sedang menuju atau mencari kediaman dokter itu. 

Hudan menghela nafas, menyandarkan kepalanya ke jok mobil, menatap gedung-gedung di sisi kanannya dari balik kaca jendela mobil.

"Apa yang harus kulakukan lagi, Max." Hudan bertanya. Tanpa mengalihkan tatapan matanya.

Max menghempaskan asap rokoknya, menoleh. "Aku tak tahu, nak. Jangan tanya soal itu kepadaku. Tentu aku tak punya jawaban."

Sekali lagi Hudan menghela nafas. Masalah ini terus bercabang. Dan semakin rumit bila terus-menerus di pikirkan. Sama sekali tak menemukan titik temu. 

Max membelokkan mobilnya, masuk ke area SPBU. Bahan bakarnya sudah merah. Dia harus segera mengisi ulang. 

"Kau tak tertarik membeli minuman, nak?" Max bertanya ketika sudah mulai mengisi bahan bakar.

Hudan tak tertarik. Matanya menatap ke depan, menrawang. Ia tak lagi ingin berbuat apa pun. Sekali lagi menghela nafas. Tiba-tiba saja wajah Maria terbayang. Ada beberapa ekspresi raut wajah Maria yang terbayang. Saat dia menangis, berteriak ketakutan, tertawa, kelelahan, dan tersenyum manis waktu melihatnya. Hudan segera mengusir lamunan itu. Meski senyumannya indah tak terperi, namun ia harus tahu diri. Dan benar-benar melihat posisinya saat ini. 

Tak bersela lama, tiba-tiba saja ponselnya berderit. Itu tanda panggilan masuk. Sontak saja Hudan mengubah posisinya menjadi duduk tegap, merogoh saku jaketnya, mengambil ponsel. Tapi ternyata bukan ponselnya yang berderit. Melainkan ponsel Daniel. Hudan melempar ponselnya ke kursi kemudi Max, segera mengambil ponsel Daniel. Dalam layar display ponsel Daniel tertera jelas sebuah nama,

Astaga!! Ini telfon dari Sharon..

Dengan jemari yang bergetar, Hudan segera mengangkat telfon. Tak lama kemudian, telfon tersambung. Jantung Hudan berdetak lebih kencang. Waktu ini sudah lama sekali ia nanti. Bahkan sudah seluruh kota ia mencari bersama Daniel dan sama sekali tak menemukannya, walau sekedar sebuah petunjuk. Dan sore ini, orang yang mati-matian mereka cari sedang menelfonnya.

"Halo Paman. Ini Miriam. Aku terluka parah. Banyak darah di sekitarku. Tubuku berasa tak bisa di gerakkan. Aku benar-benar terluka, Paman. Bisa kah Paman segera menolongku..?" Jelas Miriam terbata. Suaranya lemah. Siapa pun yang mendengar kalimat Miriam, akan segera menyadari jika dirinya benar-benar dalam kondisi kritis.

Sebulir air mata Hudan merambat pelan di pipinya. Kalimat Miriam berhasil mengetuk perasaannya. Meski ia bukan keluarganya, namun ia bisa merasakan betapa menderita anak ini.

"Di mana.. Dimana kamu berada, Miriam. Tunjukan lokasimu, aku akan segera ke sana." Tangan Hudan gemetar. Ia tak bisa tenang berbicara dengan Miriam. Ini sungguh menyayat hati.

"Suara paman sudah berubah ya. Aku masih sangat hafal dengan suara paman. Meski sudah hampir dua tahun lalu terakhir kali aku mendengarnya." Miriam tak segera menyebutkan tempat dimana dia sekarang. Ia malah membahas soal lain. Ia benar-benar masih anak-anak. Belum terlalu bisa membedakan situasi.

"Itu tak penting, Miriam. Katakan dimana kamu berada. Paman akan segera kesana. Lekas, Miriam." Hudan yang tak sabar. Berseru gemas. Ia ingin segera menemukannya. Atau akan kehilangannya lagi.

Terdiam sesaat. Dari sebrang telfon, Miriam tak menjawab apapun. Sepertinya ia sedang mengamati lokasi sekitar.

"Aku tak tahu sedang ada dimana, Paman. Yang jelas, aku berada di dalam bangunan tua berlantai dua di tengah ladang jagung.." 

"Oke, sekarang coba perhatikan lagi di sekitarmu. Mungkin ada sebuah plang nama jalan atau nama sebuah toko." Hudan berusaha memberi arahan.

Namun Miriam tetap tak menemukan plang nama jalan atau apapun yang bisa ia kabarkan ke Hudan. Dari sebrang telfon, ia bilang tak menemukannya.

"Baiklah, jika begitu, bisakah kamu tetap mengaktifkan ponselmu. Agar aku bisa melacak keberadaanmu melalu map." Hudan mencari ide lain. Dan ini berlian. 

Di sebrang sana, Miriam melihat layar display ponsel. Tersisa 2 persen batrainya. "Sebentar lagi batarai ponsel akan habis."

Persis di akhir kalimat Miriam, Hudan segera membuka ponselnya, mengaktifkan sistem pencarian. Melacak keberadaan ponsel yang dituju. Sempat sesaat terlihat kerlip cahaya merah tanda keberadaan ponsel yang di tuju dalam layar display. Namun, itu hanya sesaat. Lantas menghilang. 

"Halo!! Halo!! Miriam! Apa kau masih di sana, nak?! Miriam..!" 

Gawat! Telfon terputus. Pasti Batari ponsel Miriam telah habis. Hudan menduga-duga arah kerlip cahaya merah tanda keberadaan ponsel Sharon. Kemudian ia berseru kesal. Banyak sekali cabang jalan dalam peta itu. Dan dengan hanya menduga, ia tak akan menemukannya.

Lihat selengkapnya