Waktu isyak sebentar lagi tiba. Hujan deras mengguyur. Halilintar sesekali menggelegar. Hudan baru saja menyelesaikan sholat magribnya. Karena soal situasi darurat, ia tak mungkin menyuruh Max untuk berhenti dan menunaikan sholat di jalan. Tentu itu akan sengat beresiko untuk Miriam. Kondisinya sudah tak memungkinkan menunggu terlalu lama. Dan Hudan memutuskan untuk menunaikan sholat selepas tiba di rumah sakit.
Lepas berdo'a dan menyelesaikan beberapa ayat Qur'an, yang Istiqomah ia baca lepas Subuh dan lepas Magrib, ia beranjak. Hudan terpaksa menunaikan Sholat di ruang rawat Miriam. Tentu di rumah sakit ini tak ada musolla. Ini di Meksiko bukan di Indonesia. Max dan dokter Freddy sedang memerhatikannya. Duduk di kursi sebelah ranjang rawat Miriam. Mereka seperti baru pertama kali melihat ibadahnya umat muslim. Mereka terkesan saat melihat Hudan rukuk dan sujud.
"Berapa kali kau melakukan ibadah seperti itu dalam 24 jam?" Max yang sedari tadi memerhatikan Hudan, bertanya lepas Hudan menyelesaikan semuanya.
"Lima kali sehari, Max." Hudan ikut duduk di sebelah mereka. Memerhatikan wajah pucat Miriam.
"Bagaimana kondisinya, dok?" Lanjut Hudan. Ia melupakan pertanyaan Max.
Dokter Freddy ikut memerhatikan wajah Miriam. "Entahlah, kondisinya stabil. Aku hanya heran mengapa gadis sekecil dia bisa melewati masa-masa sulit itu sendirian. Dan seakan, tubuhnya memiliki ketahanan yang tidak biasa. Bahkan aku tak yakin, wanita dewasa sekalipun belum tentu akan kuat melewatinya."
"Tidak ada luka yang serius kan?"
Dokter Freddy tersenyum. "Tak ada yang serius, Dan. Ia hanya perlu istirahat untuk pemulihan. Terutama untuk pemulihan rahim. Aku masih tak percaya jika dia dapat melahirkan bayinya secara normal. Itu mengagumkan."
Lengan sesaat. Suara hujan terdengar di luar sana.
"Sejak tadi aku tidak melihat bayinya? Apa kalian tidak mendapatkan bayinya?" Lanjut dokter Freddy. Jelas pertanyaan itu cepat atau lambat akan ia tanyakan.
Hudan menggeleng, "kami tidak menemukannya. Mungkin orang-orang yang menyekap Miriam sudah menyembunyikannya. Atau boleh jadi, bayi itulah alasan utama bagi mereka. Lantas, Miriam tak di butuhkan lagi setelah bayinya lahir."
Kembali lengang. Mereka bertiga terdiam. Dokter Freddy menghela nafas sekali lagi.
Hudan menoleh ke arah Max, "kamu boleh pulang, Max. Aku akan menjaga Miriam di sini. Sebaiknya kamu beristirahat. Besok mungkin aku akan membutuhkan bantuanmu lagi. Tak perlu mencari penumpang lagi. Aku akan memboking taximu."
Max tersenyum. Lantas beranjak berdiri. Melangkah menuju pintu.
"O iya, berapa tagihan yang harus kubayar atas perjalanan sejak pagi tadi?" Hudan lupa memberi Max upah perjalanan.
"Kau tak perlu membayarnya sekarang, nak. Simpan saja uangmu. Kau masih harus banyak mengeluarkan uang untuk semua biaya rumah sakit dan biaya perjalanan mencari Daniel. Aku akan selalu bersedia membantu." Max berhenti sejenak di bingkai pintu. Lantas, tanpa menunggu kalimat Hudan selanjutnya, ia sudah kelaur ruangan.
Hudan sebenarnya ingin menahan dan memberikan upahnya. Namun bagaimana lagi, dia benar-benar telah pergi. Sudah tak terlihat lagi meski Hudan menyusul hingga depan ruang rawat ini. Pria berbadan agak gemuk itu benar-benar tulus membantu. Pernah ia bilang, bahwa ia tak pernah merasa menyesal membantu Hudan dan Daniel. Sejak mereka bertemu pertama kali, Max bisa melihat betapa baiknya dua pemuda itu. Mungkin suatu saat, ia akan mendapatkan pertolongan dari mereka disaat ia mendapat masalah sangat mendesak.
"Hudan.."
Suara panggilan itu membuat Hudan berhenti sejenak, lantas menoleh ke arah lorong sebelah kananya.
Dahinya berkerut,
"Maria." Desisnya pelan.
Maria berjalan riang dengan kantung plastik berisikan makanan. Di sebelahnya, Anna, istri dokter Freddy juga membawa rantang. Hudan tersenyum ke arah Anna. Ia tahu apa isi rantang itu. Pasti sup hangat yang lezat. Dulu Anna juga pernah membawakan untuknya sewaktu terbaring sakit. Istri dokter Freddy benar-benar baik dan sangat perhatian. Dokter Freddy tak salah pilih pasangan.
"Ini pasti sup lezat seperti biasanya kan? Hudan menebak, menunjuk ke rantang di tangan Anna.
"Iya, sup ini lezat sekali, buatan Maria." Anna tersenyum.
"Buatan Maria? Dia bisa membuat sup lezat?" Hudan belum percaya, balik bertanya.
Anna mengangguk. Sementara wajah Maria terlipat, sebal. Bagaimana pria itu menanggap dirinya tak bisa masak. Padahal dia sudah banyak belajar membuat sup lezat dari nenek Naya.
"Bagaimana kalian tahu aku ada disini?"
"Freddy tadi menceritakan soal Miriam. Aku sempat terkejut mendengar kisah memilukan putri tetanggaku itu. Dan aku juga baru tahu jika Sharon sudah memiliki anak." Anna menoleh ke arah Maria sesaat. "Dan aku bertemu Maria di jalan. Saat ia ingin pergi ke rumahmu. Aku menghampirinya, bilang jika kamu ada di rumah sakit. Aku juga menceritakan soal Miriam kepadanya. Mendengarkan cerita itu, Maria ikut ke sini." Anna menjelaskan. Sambil sesekali menepuk-nepuk paha bayinya, menenangkan.
"Aku juga membawakan ini untukmu." Maria menyodorkan kantung plastik. "O iya, bagaimana keadaannya? Apa dia baik-baik saja?" Lanjut Maria.
"Ia baik-baik saja. Hanya butuh istirahat dan gizi yang cukup. Sampai daya tubuhnya pulih kembali, dia sudah akan bisa kembali beraktivitas lagi."
Lengang sesaat.