Hujan deras mengguyur. Sudah hampir pukul lima sore. Hujan turun sejak pukul dua siang lebih. Dan masih deras hingga sekarang. Mobil cokelat kusam itu sesaat masih menderu. Sebelum akhirnya mesinnya mati setelah sempurna terparkir di depan sebuah kantor polisi kecil di dekat kota kecil di pinggiran kota. Sebenarnya kantor polisi itu sudah lama tidak digunakan. Aparat setempat memindahkannya ke dalam kota. Sudah tak efisien lagi jika kantor keamanan berjarak 3 kilo meter di sebelah utara keramaian kota. Itu akan mempersulit proses kerja mereka. Sejak tahun 2002 silam, kantor polisi itu sudah resmi berpindah. Minyisakan bangunan kosong dengan properti kantor polisi yang tidak bisa dipindahkan. Seperti jeruji besi untuk tahanan dan bangku-bangku rapuh.
"Apa yang akan kita lakukan kepada mereka, Brandt?" Erick di sebelahnya bertanya. Mereka masih tetap berada dalam mobil untuk beberapa saat.
Tatapan pria kekar itu menrawang. Memerhatikan tetes air hujan dari kanopi tua kantor polisi. Memikirkan sebuah rancana berikutnya. Meski sudah begitu berat semua hal yang ia fikirkan, termasuk Miriam yang hilang tanpa jejak, cintanya kepada Sharon yang sudah benar-benar berakhir, namun ia tetap bersikeras memperbaiki semuanya. Itulah tindakan nekat yang ia lakukan. Menyekap Sharon dan sekali lagi ingin meyakinkan soal cintanya. Meski dia sudah tahu jawaban Sharon. Semua hal keji yang ia lakukan tak akan pernah Sharon maafkan. Tentu itu menjadi pukulan telak dari keinginan hatinya.
"Aku belum menemukan gadis kecil itu, Erick. Namun sepertinya aku harus menghabisi adik Sharon. Dia sudah tahu banyak soal kejahatanku. Sewaktu-waktu, dia akan sangat berbahaya bagiku." Brandt tetap mentap ke depan.
Erick mengangguk, mengerti apa yang kakaknya katakan.
Brandt mengenakan topinya, menarik tuas pembuka pintu, melangkah keluar. Menyisakan Erick yang masih memikirkan apa yang akan Brandt lakukan untuk menyelesaikan masalahnya.
Astaga!! Dia benar-benar keras kepala. Aku tak pernah menyangka, jika wanita itu sudah membuatnya segila ini. Bahkan saat anak tirinya kurampas kehormatannya sekali pun, ia tetap bersikeras memperbaiki semuanya. Sial!
Erick bergumam. Ia sudah tak tahan dengan omong kosong kakaknya. Ini benar-benar bersimpangan. Bagaimana Brant masih bersikukuh akan membawa keluarganya kembali kepadanya sementara sudah berkali-kali ia hampir saja membunuhnya. Dan sikap Sharon kepadanya, bahkan ia berjanji akan membunuhnya jika terjadi sesuatu kepada Miriam.
"Fuck!!"
Erick memukul dasboard, kesal sekali dengan Brandt. Ia hanya berharap agar Brandt mau melupakan soal keluarganya dan kembali ke rumah mereka di Texas. Bahkan itu tujuan Erick datang ke Meksiko menemui Brandt.
*****
"Yang itu, Daniel." Sharon berseru, menunjuk kewat-kawat yang berserakan di bawah mereka.
Daniel segera mengambilnya, menyerahkan kepada Sharon.
"Apa kamu pernah melakukan ini sebelumnya?" Tanya Daniel yang tak begitu yakin
Sharon tetap sibuk membuat simpul di ujung kawat. "Tidak ada waktu untuk menjelaskan, El. Kita harus segera keluar dari tempat ini. Kita harus segera menemukan Miriam. Lebih seminggu aku tak bisa tenang memikirkannya. Aku benar-benar takut terjadi sesuatu kepadanya."
Sharon sudah berkutat, berkali-kali mencoba memutar kawat, meretas gembok yang menguncinya di balik jeruji besi kantor polisi ini. Tangannya gemetar. Ia tak sabaran ingin keluar dari tempat ini. Dan saat inilah waktu yang tepat. Setelah seminggu lebih Brandt, Erick dan dua sahabat mereka yang menyamar menjadi polisi ketika menangkap Daniel tak pernah sekalipun meninggalkan kantor polisi ini. Sejak pagi tadi, mereka pergi.
"Fuck!!"
Umpat Sharon ketika lagi-lagi batangan kawatnya patah. Bahkan ia memukul jeruji besi keras. Menimbulkan getaran yang cukup membuat suara. Ia benar-benar keseal melihat kawatnya patah. Ini sudah yang kesekian kalinya. Dan belum juga berhasil. Sharon menkuk kepalanya. Kemudian ia menghempaskan tubuhnya ke jeruji besi, putus asa. Sembil menyeka keringatnya, ia menghembuskan nafas. Dan tanpa Sharon inginkan, sebulir air mata mengalir. Sharon tak akan tenang jika teringat dengan Miriam.
Daniel mendekati Sharon. Ikut menyandarkan punggungnya ke jeruji besi. Lantas merangkul bauh Sharon. Kondisi mereka masih baik. Hanya saja terlihat kotor dan berdebu. Rambut Sharon kusut, bajunya kotor, wajahnya belepotan debu. Sementara Daniel terlihat tak jauh dari kondisi kakanya. Kotor berdebu. Seminggu sudah mereka di sekap.
"Aku tahu apa yang kakak rasakan saat ini. Tapi, dengan begini akan semakin mempersulit keadaan. Kita tidak akan keluar dan Miriam tetap akan hilang. Lupakanlah amarah, emosi dan rasa kesal. Lalu, kita akan selesaikan masalah ini." Daniel berkata lembut, menyeka air mata kakaknya.
Sementara Sharon menyandarkan kepalanya ke bahu Daniel. Nasehat adiknya benar. Sejak pertama ia bertemu Daniel seminggu lalu, saat dua polisi palsu membawanya ke kantor polisi ini, sebenarnya hatinya lebih terasa lapang. Daniel lebih sering membawanya untuk berfikir lebih sederhana dengan kemungkinan-kemungkinan buruk yang selama ini ia fikirkan. Sempat ia tak percaya akan bertemu Daniel di tempat ini. Kemudian, ketika mereka dalam satu ruang sekap, Sharon banyak bercerita tentang apa yang sebenarnya terjadi. Begitu pun Daniel. Ia juga banyak bercerita tentang apa saja yang ia alami setiba di Meksiko. Termasuk Hudan dan beberapa orang yang ikut membantunya mencari Sharon dan Miriam.