Theresia

Be. One
Chapter #36

Bab 35 Serangan Brandt

Setelah beberapa saat terdiam dan memikirkan banyak hal, akhirnya Sharon dan Daniel memutuskan untuk pergi. Jika terlalu lama menetap di bangunan bekas pabrik ini, boleh jadi Brandt dan Erick sudah sangat dekat dengan mereka. Itu akan menjadi persoalan sangat serius. Ada banyak tembok dan gang-gang di sekitar pabrik. Mereka tak akan dengan mudah melihat Brandt atau Erick jika sudah benar-benar dekat. Salah satu jalan dan gang itu, kemungkinan mereka sedang berjalan mengendap.

Sekali lagi Sharon memerhatikan kondisi sekitar dari jendela di lantai dua. Memastikan keadaan. Kemudian ia berbalik badan, menghadap Daniel. Tak ada tanda-tanda kemunculan mereka. Hanya rinai hujan dan genangan air. Selebihnya hanya rerumputan dan tanaman jalar terdiam membisu.

"Tepat di depan pabrik ini ada jalan aspal. Jalan itu terhubung dengan jalan utama menuju kota. Kita bergegas ke sana. Akan banyak mobil yang melintas. Berdo'alah agar mereka bersedia memberi tumpangan." Sharon sudah bersiap.

Sementara Daniel sudah berdiri. Lantas, mereka berdua menyusuri lorong-lorong, terus berjalan menuju bangunan lantai dua di bagian paling depan. Yang paling dekat dengan jalan. Mereka akan turun ke lantai satu di bangunan tersebut. Agar langsung bisa ke jalan.

Kondisi pabrik sudah amat buruk. Atap-atap kayu yang sudah runtuh. Juga properti terbakar. Sepanjang mereka berjalan, sisa-sisa atap dan genteng sedikit menghambat rinai hujan. Meski tetap saja bocor di mana-mana. 

"Daniel," Seru Sharon di belakang.

Sharon tertahan di lorong bercabang. Sementara Daniel terus berjalan tak berbelok. Ia yakin, jalan lurus ini yang benar. Namun sebaliknya, Sharon berasumsi jika jalan berbelok adalah yang benar. Kontruksi bangunan yang rumit membuat mereka harus benar-benar jeli. Meski tak terlalu besar, namanya pabrik pasti sudah akan menggambarkan betapa banyak ruang-ruang.

"Sepertinya kamu salah jalan, El. Menurutku kita harus berbelok." Kata Sharon setelah Daniel menoleh.

Daniel yang berjarak 4 meter di depan Sharon, akhirnya memutuskan untuk mengikuti arahan kakaknya. Sementara Sharon sudah berbelok, tubuhnya sudah tak terlihat dari penglihatan Daniel.

Dua kali melangkah, tiba-tiba saja Daniel terpaku. Matanya terbelalak. Degup jantungnya berpacu. Atmosfir ketegangan mencuat pekat di sekitarnya. Bahkan tetes hujan di luar seakan hening. Pria dengan senjata laras panjang itu berjalan mengendap dengan popor senjatanya yang teracung membidik Sharon dari belakang. Pria itu tak menyadari jika Daniel sedang memerhatikannya dari lorong di sebelahnya. Pun juga Sharon, ia benar-benar tak menyadari bahaya yang sedang mengancamnya. Ia tetap melangkah. Aura seseorang memang ia rasakan sedang mengikuti langkah kakinya. Namun Sharon mengira itu adalah Daniel. 

Pria berbadan besar itu menghentikan langkahnya persis di tengah-tengah persimpangan. Dengan popor senjata teracung. Ia sudah benar-benar siap. Daniel berfikir keras. Ia harus segera menghentikan pria berbadan besar itu secepatnya. Atau ia akan menembak kakaknya tanpa ampun.

Dengan sangat pelan pria itu mengongkang senapannya, memfokuskan sasaran, lantas mulai menyentuh pelatuk senapan. Hitungan detik, pluru itu akan menembus sasarannya. Keringat dingin mulai mengalir. Daniel tak bisa berfikir fokus. Sementara kejadian ini harus segera di hentikan. Ia hanya memiliki waktu sepersekian detik untuk mencegahnya. 

Persis ketika pria itu mulai menarik pelatuk, 

"Brandt, hentikan!" 

Kalimat Daniel menggantung di langit-langit. Membuat Brandt dan Sharon terkejut, menoleh ke arah Daniel. Menyadari pergerakannya yang sudah diketahui, secepatnya Brandt mengubah haluan, membidik Daniel. 

"No!!"

Sharon berlari ke arah Brandt. Satu lompatan ketika Sharon mendorong tubuh Brandt, sebutir peluru melesat, mendesing tepat menghujam dada Daniel sebelah kanan. Membuat tubuh pemuda itu terpental ke belakang, kemudian tumbang terkapar di atas tumpukan kayu-kayu.

Sharon merebut senapan dari tangan Brandt, namun Brandt bukan lawan sebandingnya. Pria itu memutar tubuhnya, ganti menindih tubuh Sharon dengan badan kekarnya. Lantas, ia mulai mencekik leher Sharon kuat. Membuat Sharon tak bisa bergerak lagi. Keculai hanya memegang ke dua pergelangan tangan Brandt, berusaha untuk melepaskan cekikan itu.

Sementara Daniel merasakan sakit yang luar biasa dari dadanya. Ia baru pertama kalai merasakan betapa sakitnya tertembak. Wajahnya yang meringis menahan sakit, juga bercucuran keringat dingin. Jantungnya kembali berpacu hebat. Nafasnya tersengal. Ia benar-benar kehabisan tenaga.

Lihat selengkapnya