Theresia

Be. One
Chapter #38

Bab 37 Perjanjian

Hari ini sungguh terlihat cerah. Meski masih musim hujan, namun hari ini, sama sekali tak terlihat sedikitpun awan di langit. Angin sesekali bertiup, menggoyangkan rerumputan dan ranting pohon. Hudan yang baru saja menyelesaikan Sholat Duha, memutuskan untuk sejenak duduk di ruang keluarga lantai dua. Sambil menikmati pemandangan dari kaca jendela yang terbuka, ia dapat merasakan angin sejuk dari luar. 

Hudan meraih ponselnya. Sesaat memeriksa apakah ada pesan masuk atau kabar baik soal Sharon atau Daniel dari Sherieff Charles, dokter Freddy, atau dari mana pun. Namun di layar display ponselnya sama sekali tak ada pesan atau panggilan masuk. Hudan menghela nafas panjang, membuka aplikasi muski, menekan musik sholawatan. Man An... Itu salah satu sholawatan kesukaannya. Ia merebahkan tubuhnya di atas kursi. Dan meletakan ponselnya di meja sebelah telinganya. Agar sholawatanya terdengar jelas.

Sesaat, ia masih memerhatikan langit-langit. Teringat dengan banyak hal. Masalah-masalah ketika baru saja tiba di Meksiko, lompat ke ingatan sewaktu di Madinah, lompat lagi ke pesantren di Jawa, teman-teman pesantren, Kiyai, teman SMA, hingga keluarganya. 

Sekali lagi Hudan menghela nafas. Keluarganya di Jawa belum tahu soal ini. Sengaja ia tak memberitahukan permasalahan ini ke ayah atau ibunya. Tidak akan menyelesaikan masalah dan malah akan memperburuk. Orang tua akan selalu khawatir. Tak peduli seberapa kita bilang baik-baik saja. Tetap mereka akan mengkhawatirkan kita. Apalagi jarak yang terlampau jauh ini.

Ya Rab.. Aku harap, engkau segera mudahkan semua masalah ini.. agar secepatnya aku bisa kembali ke kampung halaman.. sudah lama sekali aku jauh dari orang tua.. selama itu pula aku sama sekali belum berkhidmat kepada mereka.. sama sekali aku belum bisa menjadi anak yang bermanfaat bagi hidup mereka.. aku ingin pulang ya Allah..

Miriam baru saja keluar dari kamarnya, rambutnya basah. Ia baru saja mandi. Ketika baru saja keluar kamar, ia melihat Hudan yang terbaring termengu di sofa. Dahinya berkerut. Lantas, ia segera pergi ke dapur, mengambil segelas air dingin.

Tanpa Hudan sadari, Miriam sudah duduk di kursi sebelahnya, meletakan segelas air dingin di meja. Gadis ini sudah mulai pulih setelah seminggu di rawat. Dan sejak pagi tadi, dokter Freddy sudah memperbolehkan mereka pulang. Hudan membawanya ke rumah ini. Dan pagi tadi Hudan sempat membuat sarapan untuk Miriam. Miriam menyukai telur omelette buatan Hudan. Dan sekarang, air dingin di atas meja yang ia bawa dari kulkas adalah balas budidaya.

"Paman.." Miriam menyentuh bahu Hudan.

Hudan sedikit terkejut, seketika terduduk. Memerhatikan Miriam yang sedang tersenyum. Hudan ikut tersenyum. "Kenapa?"

Miriam menggelengkan kepalanya. "Udara di luar sedang panas. Akan terasa lega jika minum air dingin. Ini, minumlah. Spesial untuk paman."

Hudan tersenyum. "Terimakasih, Miriam." 

Satu tegukan, Hudan meletakkan kembali gelasnya, dahinya terlipat melihat pakaian yang di kenakan Miriam. "O iya, ngomong-ngomong, apa kamu sudah benar mengenakan baju itu?" 

Miriam nyengir, "Aku tak punya baju ganti satu pun di rumah ini. Jadi aku pake baju ibu." 

Hudan menepuk dahi. "Astagfirullah,, aku baru ingat. Bagaimana jika kita sekarang beli baju di supermarket?"

Mata Miriam berbinar. Remaja tanggung menggemaskan itu sungguh seneng jika diajak ke supermarket. Itu favoritnya sejak kecil. Sejak masih ada ayah dan ibunya.

"Aku ingin pergi ke supermarket bersama kak Maria. Bolehkan?" Cara berbicara Miriam soal memanggil yang lebih tua sudah mirip seperti susunan bahasa Indonesia. Ia menambahkan "Kak" yang sebelumnya, ia biasa memanggil langsung nama. Hudan yang mengajarinya sewaktu di rumah sakit. Karena memang Maria banyak berkunjung. Hari-hari itu, Maria tak pernah absen, selalu datang ke rumh sakit, membawa makanan, menjenguk Miriam. Ia sudah anggap Miriam sebagai adik sendiri.

"Oke, kita ajak Maria jika dia tak sedang sibuk bekerja." 

"Yes,"

*****

Mereka berdua belum keluar rumah. Hudan dan Miriam sedang mencari pakaian Sharon yang lebih kecil lagi. Tak mungkin pergi ke supermarket dengan baju kedodoran begitu. Jelas itu akan mengundang banyak perhatian.

"Nah! Ini tampak lebih kecil. Coba pakai yang ini." Seru Hudan sambil membuka lipatan baju atasan.

Sesaat Miriam menghentikan gerakan tangannya, berbalik melihat ke Hudan. Kemudian tersenyum. 

"Astaga!! Aku ingat baju itu. Iya! Tak salah lagi! Itu baju ibu yang dibeli saat bersamaku dan kekecilan. Ibu sempat menyesal dan ingin mengembalikan baju itu. Namun, ia tak jadi mengembalikannya. Ia bilang, suatu saat pasti akan berguna. Mungkin saat ini waktunya baju itu berguna." 

Miriam sudah mencoba baju itu. Ia masuk ke dalam kamar. Ganti baju di dalam.

Hudan menghela nafas. Sejauh ini, tak terjadi hal buruk soal kesehatan Miriam. Semakin hari, ia terlihat lebih baik. Meski kadang, ia masih saja menanyakan bayinya. Dan bersedih jika sekali lagi ia tahu bahwa bayinya sudah benar-benar hilang.

Miriam keluar kamar. Menunjukkan baju yang baru ia kenakan, tersenyum. 

Memang masih terlihat kebesaran. Baju atasan lengan panjang itu panjang hingga menutupi setengah pahanya. Dan kedua lengan yang melahap hingga ujung jemarinya. Namun, yang ini jauh lebih mendingan. 

"Oke, itu jauh lebih baik." Kata Hudan menilai.

Miriam tersenyum, menggulung lengan bajunya. Ia tak mau memakai celana panjang. Ia lebih suka dengan celana pendek dengan tertutup baju kepanjangannya. Ia bilang, diluar panas. Hudan tak mempermasalahkan, itu hal yang lazim di kota ini.

Sekitar pukul 10.12, mereka berdua keluar rumah. Terik matahari menyapa. Membuat silau mata Miriam. Sementara Hudan membiarkan resleting jaketnya terbuka. Ini sunggu panas.

Mereka berjalan beriringan, menyusuri sepanjang jalan menuju restoran Turki yang tak jauh dari perumahan ini. Hanya berjalan kurang lebih 15 menit. Mereka akan bertemu dengan Maria. Mengajaknya ikut berbelanja ke supermarket terdekat. Miriam selalu senang jika bersama Maria. Sikap dan perhatian Maria saat mengurus Miriam di rumah sakit mengingatkanya dengan Sharon.

"Sudah berapa lama Paman berpacaran dengan Maria?" Dengan wajah polosnya, Miriam bertanya.

Beberapa mobil melesat di sebelah mereka. Tak banyak mobil yang melintas karena memang jalan ini bukan jalan utama. Namun, meski bukan jalan utama, tetap lebar dan bagus. Rumah-rumah yang berjarak agak jauh dari jalanan itu menambah kesan luasnya jalan. Sangat berbeda dengan Indonesia. Rumah-rumah berdiri persis di tepi jalan. Membuat kesan sempit.

Hudan tersenyum sesaat, sambil memerhatikan beberapa mobil yang melintas.

"Kami tak berpacaran, Miriam. Maria adalah temanku di Meksiko."

Miriam menoleh ke Hudan. "Kenapa tidak pacaran saja. Kan kak Maria cantik, baik dan menyenangkan. Dia bisa menjadi kekasih yang menyenangkan." 

Hudan tertawa, menyentuh rambut Miriam, mengusapnya berulang. Membuat rambut Miriam berantakan.

"Karena itu lah kami tidak berpacaran." Sekali lagi Hudan tersenyum.

Dahi Miriam berkerut. "Karena apa?"

"Karena tidak cocok. Kan dia wanita yang jauh lebib baik dariku. Sementara aku bukan siapa-siapa." Sebenarnya Hudan hanya bergurau. Menanggapi Miriam untuk menghiburnya.

Lihat selengkapnya