"Terimakasih, Max." Hudan melambaikan tangan setelah keluar mobil bersama Miriam.
"Kau antar Maria pulang. Hati-hati, jaga dia baik-baik." Hudan berpesan sesaat sebelum mobil Max berjalan.
Max mengangguk. Sementara sekali lagi, wajah Maria bersemu merah di kursi belakang. Berseru dalam hatinya. Pria itu, akhirnya bersikap penuh perhatian. Setelah sekian lama berhati sedingin es.
"O iya, tadi kak Maria ngasihkan ini buat paman." Miriam duduk di kursi tamu, mengaduk-aduk isi kantung plastik, mencari Bungkusan plastik dari Maria.
"Nah ini," Miriam menyodorkan kantung plastik.
"Ini apa?"
Miriam mengangkat bahu, tidak tahu.
Hudan duduk di sofa ruang tamu. Membuka bungkusan hadiah dari Maria. Tak terlalu spesial. Hanya Hoodie hitam bergaris. Tapi ini keren. Hudan tersenyum. Langsung menyukainya.
"Aku ke atas dulu, paman." Miriam beranjak.
Hudan mengagguk. Saat Miriam sudah menaiki anak tangga, ponsel Hudan mendadak berderit, panggilan masuk. Dari Max.
"Ada apa, Max?" Hudan bertanya begitu telfon diangkatnya.
"Sebaiknya kau bergegas ke apartemen Maria, nak. Mereka datang lagi. Membawa dua mobil sedan hitam. Sedang terparkir di halaman apartemen. Aku memerhatikan mereka dari kejauhan." Suara berat Max terdengar pelan dari sebrang telfon.
Tanpa berfikir dua kali, Hudan bergegas menarik lengan Miriam, mengajak remaja tanggung itu ke rumah Freddy, menitipkannya di sana. Lantas, Hudan berlari keluar rumah. Tangannya sibuk menarik resleting hoodie pemberian Maria. Terus berlarian menuju apartemen Maria. Dengan hati yang menduga-duga apa yang sebenarnya terjadi.
Pasti itu suruhan Thom..
*****
Benar apa yang Max katakan. Baru saja dua mobil hitam berjalan tinggalkan apartemen ketika Hudan tiba. Nafasnya terengah. Ia hanya dapat memerhatikan dua mobil itu berjalan menjauh. Ingin sebenarnya mengejar. Namun itu tidak mungkin. Mobil-mobil itu sudah melesat jauh.
Mobil taxi kuning menghampiri Hudan. Max menurunkan kaca mobilnya.
"Kita kejar mobilnya, nak!" Max berseru.
"Tunggu sebentar, Max. Aku akan memastikan apartemen Maria. Mungkin terjadi sesuatu disana."
Hudan berlari masuk, menaiki anak tangga, menuju lantai paling atas. Sesaat ia tertegun ketika mendapati Lio yang hanya duduk santai di sofa panjang depan tv. Bahkan sedikitpun ia tak panik. Santai menikmati acara tv. Tangannya sibuk mengupas kulit kacang. Atau kah Max keliru? Boleh jadi itu bukan kawanan Thom? Atau mungkin hanya teman-teman Maria yang mengajaknya berlibur?
"Sudahlah, kau tak perlu khawatir, Dan. Maria akan baik-baik saja. Dia yang memutuskan pergi bersama mereka." Lio justru berkata lebih dulu sebelum Hudan bertanya.
"Tapi Lio, kurasa ada yang salah." Perlahan Hudan menghampiri Lio.
Lio menoleh ke Hudan, tersenyum. "Maria yang memutuskannya sendiri, Hudan. Tak perlu khawatir. Ia berjanji akan baik-baik saja. Orang-orang yang membawanya juga berjanji akan menjaganya. Dan akan membawa Maria pulang."
Hudan justru menggelengkan kepalanya. Bagaimana Lio berkata seperti itu, sementara mereka jelas-jelas bukan orang baik.
"Ada yang salah, Lio. Adikmu dalam masalah. Mereka bukan orang baik. Apa kau lupa, bahkan mereka tak segan-segan menembakku, mengurungku di basemen. Menculik Maria. Mereka orang-orang jahat, Lio. Bagaimana kau percaya kempada mereka."
Lio menggelengkan kepalanya pelan, lantas menekuk kepalanya. "Aku tak bisa berbuat apapun, Hudan. Mereka memaksaku agar terlihat baik-baik saja. Dan Maria sudah bersama mereka. Kita tak bisa berbuat lebih. Kita hanya akan menunggu hingga kabar berikutnya tiba." Lio putus asa.
Hudan berfikir sejenak, lantas berkata mantap. "Aku yang akan kesana. Membawa Maria kembali. Dan aku berjanji akan menyelesaikan semuanya. Kau tetap disini. Berdoalah agar dimudahkan."
Hudan merapatkan Hoodie hitam bergaris-garisnya. Melangkah keluar apartemen. Menuju taxi Max di bawah.
"Bagaimana ini terjadi, Max? Bukankah baru saja dia mengantarkan Miriam berbelanja? Bahkan sama sekali tak ada ide berfikir hal ini akan terjadi." Hudan berkata ketika mobil Max sudah melesat membelah jalan. Menuju selatan.
Kediaman Thom berjarak 30 kilometer dari pusat kota. Di tengah blantara hutan dengan pepohonan red cedars membentang luas. Hanya ada beberapa rumah di daerah itu. Satu dengan yang lainnya berjarak ratusan meter.
"Aku sempat melihat Maria berbicara dengan seorang pria di parkiran supermarket. Entah apa yang mereka bicarakan. Yang jelas, lepas berbicara dengan pria itu, wajahnya tampak berat. Aku yakin dia sempat menangis." Max menambah kecepatannya. Mobil taxi kuning melesat dengan kecepatan penuh.
"Aku tahu siapa dia, Max. Pasti itu penyebabnya."