Sejak Daniel dirawat kemarin sore, mendapatkan perawatan intensif, sampai saat ini hati Sharon belum tenang. Bukan hanya soal Daniel yang masih koma, namun soal Miriam. Remaja tanggung itu benar-benar tak ada kabar. Sharon menekan kepalanya yang terasa pusing. Tubuhnya lelah. Sejak pagi tadi, ia pergi ke berbagai tempat dimana Brandt pernah menyembunyikan Miriam. Namun tempat-tempat itu sudah kosong. Tak ada siapa-siapa lagi. Saat Sharon mendatangi rumah tua berlantai dua di tengah ladang jagung, hatinya terpukul, khawatir saat melihat bekas darah yang sudah mengering. Persis di tempat dulu ia disekap bersama Miriam. Sejak melihat itulah, akhirnya ia memutuskan kembali dengan segudang dugaan buruk dalam hatinya.
Hanya satu yang belum ia datangi. Iya, rumahnya sendiri. Sharon tak pernah berpikir jika Miriam ada di rumahnya sendiri. Ia malah berpikir sebaliknya. Ia takut Brandt sudah ada di sana. Menunggunya dan akan melakukan pembalasan. Setidaknya, itulah alasannya.
Seorang pelayan meletakkan secangkir kopi di mejanya, tersenyum. Lantas, bersamaan dengan itu seorang gadis berhijab hitam menghampirinya. Duduk di sebelah Sharon. Membawa sekantung plastik buah-buahan.
"Hei.. bagaimana kamu datang kesini?" Sharon sedikit terkejut.
Sarah tersenyum. "Kebetulan apartemenku dekat dengan rumah sakit ini. Jadi aku punya banyak kesempatan menjenguk. O iya, Bagaimana keadaan Daniel?"
Sharon menggeleng, "masih koma. Dokter bilang, mungkin butuh satu atau dua hari lagi. Tak bisa di prediksikan secara akurat." Sharon menghirup kopi panasnya.
Sarah mengulurkan tangannya, "namaku Sarah."
Ia baru ingat sejak mereka bertemu, mereka belum saling mengenal.
Sharon tersenyum, menjabat tangan Sarah. "Aku Sharon."
Setelah saling mengenal, Sarah bercerita banyak soal dirinya. Termasuk juga soal mengapa ia tiba di Meksiko. Setengah jam saling bercakap, Sharon menceritakan soal nasib malangnya. Seluruhnya, tak ada yang ia sembunyikan. Tentang kekejaman suaminya, kondisi Miriam yang hamil muda, juga Daniel yang berusaha menolongnya. Sarah adalah teman bercerita yang menyenangkan. Tak sedikitpun ia berpaling dari cerita Sharon. Bahkan dia sering ikut bersedih saat mendengar cerita soal Miriam. Itu sungguh cerita yang menyentuh.
"Lantas, bagaimana kabarnya sekarang? Apa dia baik-baik saja?" Sarah bertanya setelah Sharon menceritakan tentang pencarian Miriam siang tadi.
Ia hanya menggeleng, menekuk kepalanya. Sarah mendekat, memeluk, menyuruh agar bersabar. Sharon menyandarkan kepalanya ke bahu Sarah. Sementara kedai minuman di depan rumah sakit itu sepi. Hanya tinggal empat orang.
"Aku tak tahu lagi harus mencarinya kemana?"
"Sabar, Sharon. Kau pasti akan menemukannya. Yang bisa kita lakukan sekarang hanyalah berdo'a. Besok masih ada kesempatan mencarinya." Sarah mengusap bahu Sharon lembut.
"Apa kamu masih punya keluarga atau teman dekat yang bisa kamu hubungi? Jika ada, berikan kabar ke mereka kalau kamu dan Daniel sedang ada di rumah sakit ini." Sarah memberi usulan. "Boleh jadi, sampai detik ini, mereka masih khawatir dengan keadaan kalian berdua."
Sharon mengangguk. "Iya, aku masih punya teman dekat. Baiklah aku akan menghubunginya."
******
"Pemuda itu tak akan berhenti, Tuan!!" Cris berseru, mengacungkan pistolnya ke arah pintu yang berkali-kali didobrak. Bersiap-siap.
Thom beranjak duduk, terbatuk memegangi dada. Lantas, setelah mengambil napas panjang, ia berdiri.
"Jangan bergerak dulu, Tuan! Kondisinya tak memungkinkan." Cris berusaha menahan Thom, berseru menyuruhnya kembali berbaring.
Thom tersenyum, melambaikan tangan. "Tak apa, aku hanya ingin berbicara dengan pria itu."
Di ujung kalimatnya, Thom menarik paksa selang infus. Beranjak turun dari ranjang. Maria sejak tadi hanya terdiam. Duduk di sebelah ranjang Thom. Tak tahu harus bagaimana. Sementara pintu masih di dobrak berkali-kali. Menimbulkan suara berderak.
Sejenak Thom memerhatikan Maria yang terduduk. Mendekatinya, lantas menyuruhnya berdiri.
"Aku tak pernah memaksamu datang lagi ke rumah ini, Maria. Memang benar aku salah. Aku selalu mengira jika kau adalah Rachel kekasihku. Kau sudah membuktikannya berulang kali. Namun, sejak kehadiranmu setelah Rachel pergi, entahlah, tak ada lagi beda antara dua nama itu. Dan aku sama sekali tak pernah membedakannya. Kau tahu Maria, bahkan cinta itu tetap sama." Thom menggenggam tangan Maria.
"Sekarang kaulah yang menentukannya. Jika ingin pergi, bergegaslah, hampir pria di depan sana. Dan kembalilah ke rumah. Aku berjanji, tak akan menggangumu lagi. Namun, jika kamu ingin menetap, bersedia menjalani hidup bersamaku, kamu tetap harus datangi pria itu. Katakan sejujurnya. Katakan keinginan hatimu." Thom melepas tangan Maria, melangkah menuju pintu.
Maria sekali lagi hanya diam. Sungguh ia ingin pergi dari rumah ini. Kembali bersama mereka. Namun, di sisi lain, meski Thom bilang tak akan mengganggunya lagi, tetap dia tak bisa melepaskan kekhawatirannya. Ini bukan soal Thom, tapi soal anak buah Thom yang bersedia melakukan apa saja demi melihat bosnya bahagia. Seperti saat Chris mengancamnya tempo hari. Jelas itu bukan perintah Thom. Namun, itu Chirs lakukan demi Thom yang menderita kehilangan wanita yang dicintainya bahkan untuk yang kedua kalinya.
Dua tiga dobrakan berikutnya, pintu berhasil terbuka. Bersamaan dengan itu, dari arah belakang, puluhan bodyguard dengan kayu pemukul teracung, berbaris membuat formasi siap menyerang. Mereka hanya menunggu aba-aba. Hudan menoleh sejenak, nafasnya masih naik turun. Satu dua tetes darah jatuh dari keningnya. Kondisinya buruk. Berdiri sendiri diantara bingkai pintu, memegangi dadanya yang terluka. Ia terkepung.
Atmosfer dalam ruang ini terasa menegang. Dari arah depan dan belakang bersiap menyerang. Sementara Hudan kembali memerhatikan Thom yang tengah berdiri berhadapan dengannya. Lantas melihat Maria yang berdiri persis di belakang Thom.