Seminggu setelah kejadian itu, akhirnya semua dapat berkumpul lagi. Rumah Sharon yang sempat kosong berbulan-bulan, dengan segudang peristiwa memilukan, sekarang terlihat ramai. Bahkan banyak hiasan di halaman rumahnya. Lampu-lampu berwarna, hiasan kertas tergantung dan kue-kue lezat di atas meja panjang. Hari ini bertepatan dengan hari ulang tahun Miriam yang ke 15. Resmi sudah dia menjadi anak remaja yang tidak tanggung lagi. Wajah-wajah mereka tersenyum bahagia. Daniel, meski belum seutuhnya pulih, namun ia sudah begitu sehat, tertawa ria bergurau dengan Miriam. Sharon masih sibuk menata kue, mempersiapkan segalanya. Tentangga yang diundang mulai berdatangan. Termasuk Dokter Freddy, Anna istrinya, juga Zaenab Salim, Lio dan juga Max. Semuanya datang. Meramaikan pesta kecil ulang tahun Miriam. Hanya satu yang tak terlihat. Kalian pasti tahu. Iya, benar, Maria tidak ada disini.
Sementara pengadilan memutuskan hukuman seumur hidup penjara untuk tidakkan kriminal Brandt dan Erick. Dihukum atas tuduhan penculikan, penganiayaan terhadap anak di bawah umur. Juga tertuduh sebagai dalang dari terbakarnya pabrik tekstil beberapa tahun silam. Yang mengakibatkan puluhan orang tewas terbakar. Termasuk ayah Miriam. Polisi akhirnya menguak semuanya. Menemukan semua barang bukti di rumah Brandt. Itu ganjaran setimpal untuk tindakan kejahatannya.
Hudan mengambil segelas minuman soda, membawanya ke sudut halaman, duduk di kursi paling dekat dengan jalan. Sambil meneguk minumannya, ia memerhatikan bulan dan bintang gemintang. Menarik napas panjang, kemudian mengeluarkannya perlahan. Ada sedikit ingatan tentang Maria. Sudah seminggu ini tak ada kabar tentangnya. Masih ada kekhawatiran. Namun, jika mengingat apa yang ia lakukan saat itu, Hudan akan jauh lebih tidak merasa bersalah karena mininggalkannya. Maria telah mengambil keputusannya.
"Paman Hudan rindu ya?" Miriam berseru sambil melangkah mendekat.
Hudan hanya tersenyum. Sementara semua yang hadir memerhatikan Hudan yang duduk menatap gemintang.
"Kalau kak Maria sudah tidak ada lagi, paman tak perlu bersedih. Kan masih ada Miriam. Miriam bisa jadi penggantinya Kak Maria."
Miriam menyringai, duduk di kursi sebelah Hudan. Sementara Hudan dan semuanya tertawa, mendengar gurauan Miriam. Terlepas dari apa yang Hudan pikirkan, setidaknya Miriam sudah terlihat ceria. Bahkan sepertinya dia sudah lupa dengan kejadian setahun terakhir ini. Kondisi kesehatan sudah jauh lebih baik. Lihatlah, dia sudah terlihat cantik dengan rambut pirang tergerai indah sebahu. Mirip potongan rambut Maria. Potongan rambut itu, Hudan yang mengusulkannya.
Malam itu pesta berjalan lancar, semuanya happy. Namun, dua jam kemudian hujan turun. Mereka berpindah ke dalam rumah. Acara masih berlangsung di ruang keluarga. Meski sudah terlihat lebih santai. Seperti mengobrol dan berguru. Nuansa ruang keluarga teras hangat.
"Ini semua berkatmu, Dan." Daniel menepuk bahu Hudan yang duduk di sebelahnya.
"Jika tak ada kamu, entahlah apa yang akan terjadi kepada keluargaku."
Hudan tersenyum, melambaikan tangan. "Tak perlu berlebihan El. Justru ini semua karenamu. Kau yang membelikan tiket pesawat sampai aku tiba di sini."
Ruang tamu dipenuhi gelak tawa. Malam itu sungguh terasa damai. Meski sebelumnya benar-benar suram penuh kecemasan. Di luar, hujan sudah turun deras. Membungkus, membasuh malam nan sendu ini.
Gelak tawa mereka akhirnya berhenti ketika seorang mengetuk pintu. Miriam bersiap membukanya, namun Sharon melarang. Masih trauma dengan yang ia alami selama ini. Akhirnya Hudan yang beranjak. Melangkah menuju pintu, membukanya.
Hudan tertegun, menatap tidak percaya. Di hadapannya, gadis cantik berbalut jaket kulit hitam selutut dengan rambut tergerai indah serta payung hitam dalam genggamannya itu berdiri anggun. Menatapnya lamat-lamat. Kemudian, seorang pria tampan, berbadan tinggi memesona, melangkah menghampiri. Maria tak berkata apapun. Hanya diam seribu bahasa menatap Hudan.
Lantas, setelah pria itu dekat, berdiri di hadapan Hudan, ia menjabat tangan. Sedikit canggung, Hudan membalasnya. Menjabat tangan Thom erat.
"Aku kesini untuk minta maaf atas kejadian itu. Banyak hal yang telah kulakukan bahkan diluar kendaliku sendiri. Soal Cris dan Armand, aku yang mewakilkan minta maaf mereka."
Hudan hanya diam, memerhatikan Maria yang sekarang menunduk. Sejujurnya Hudan masih bingung. Tak tahu apa maksud mereka datang kemari terlepas soal minta maaf. Sharon yang melihat Maria mengira jika itu Rachel. Namun Dokter Freddy bilang itu Maria, bukan Rachel.
Sementara Maria masih diam, menunduk.
"O iya, satu lagi. Jika kalian tak sibuk, seminggu lagi kami akan mengadakan pesta pernikahan. Kalian semua bisa datang."
Teras depan rumah itu lengang sesaat. Menyisakan banyak pertanyaan diantara mereka. Gemuruh tetes hujan menderu keras.
"Pernikahan siapa?" Daniel yang bertanya.
Thom memegang tangan Maria, mengangkatnya, menunjukkan cincin kawin. "Kami akan menikah."
Kalimat Thom tentu saja membuat semuanya terhenyak. Tak percaya dengan pernyataan Thom. Bahkan Lio sudah bersiap berseru tak merestui. Namun Hudan menengah-nengahi, bilang semua akan baik-baik saja. Sekali lagi Hudan kembali memerhatikan Maria di sebelah Thom.
"Benarkah kalian akan menikah, Maria?" Tanya Hudan.
Maria tak menjawabnya, hanya menganggukkan kepalanya.
"Baiklah, kami akan datang."
Hujan semakin deras. Membungkus halaman depan. Halilintar sesekali menggelegar memenuhi langit. Tak lama setelah itu, mereka mohon diri. Maria berbalik badan, menggandeng tangan Thom, ikut berjalan menuju mobil.