Therleia dan Batu Kristal Jauza

Wita Juliana Lestari
Chapter #1

Chapter #1 Puncak Menara

 11.00 AM

Siang ini mobil-mobil tampak sudah berjajar rapi di parkiran gedung Aula Raventale Ancient Institute . Tampak para pemuda gagah memakai setelan jas panjang dan jubah formal berwarna serba hitam dengan aksen kemeja merah sedangkan para pamudi mengenakan dress hitam yang juga di padukan dengan jubah formal dengan warna senada. Hari ini adalah upacara kelulusan Raventale Ancient Institute angkatan X99. Upacara dimulai setelah makan siang di auditorium utama Gedung Serbaguna Southern Tower. Setelah meninggalkan parkiran , aku sekeluarga mulai beranjak menuju Soutern Tower untuk menyantap makan siang sebelum berlanjut ke ruangan ballroom untuk menerima plakat kelulusan dari Fakultas Literatur Klasik Jurusan Bahasa Kuno. Ayah, ibu, beserta si kembar Nae dan Nui sudah lebih dahulu memasuki area ballroom dan mencari tempat duduk. Aku saat itu berjalan sambil berkutat dengan handceiver untuk berkomunikasi dengan temanku sambil menggandeng Nao adik lelaki ku yang paling kecil , namun tiba - tiba Nao melepaskan genggaman tanganku dan berlari entah kemana.

  " NAOOO.. kamu mau kemana? Tunggu.... " teriakku sambil berlari ke arah Nao.

Namun Nao kerap berlari tanpa memperdulikan teriakan ku dari belakang yang berlari mengejarnya. Nao berlari hingga sampai di pintu masuk Rumah Kaca Eiden yang bersebelahan dengan Tower Utama tempat para "Dean" biasa nya mengadakan perundingan mingguan. Beberapa saat kemudian, tepat saat tanganku akhirnya bisa meraih Nao, tiba tiba terdengar bunyi dentuman keras dan terasa guncangan yang semakin lama semakin besar. Dinding rumah kaca tempat kami berdiri satu per satu mulai pecah karena getaran yang begitu kuat. Ku peluk Nao agar tidak terluka oleh pecahan kaca yang berhamburan dan segera berlari kearah lain untuk menghindari luka dari pecahan kaca yang sedari tadi menggores pakaian hingga kulitku. Teriakan terdengar dari berbagai penjuru. Seluruh mahasiswa, orang tua maupun para pengajar berhamburan dari ruangan. Dengan sigap ku meraih Nao dan siap untuk berlari menuju ballroom untuk kembali berkumpul bersama orang tua dan adik- adik ku yang lain namun saat itu Tower utama yang bersebelahan dengan Rumah Kaca tempat kami berada yang mulai menunjukkan keanehan diantara ledakan dan guncangan yang semakin tak terkendali. Batu dan pijakan yang menyusun tangga dan tower utama entah kenapa mulai berterbangan membawa orang -orang yang berada didekatnya ke puncak tower. Diantara teriakan dan tangisan aku dan Nao terbawa melesat ke puncak tower bersama puluhan orang lain diantara gemuruh yang memekakan telinga.

Tak memakan waktu lama, seketika itu juga kami yang dibawa melesat oleh batu batu yang berterbangan itu mencapai tinggi yang sama dengan puncak tower utama. Batu dan pijakan yang berterbangan tak beraturan itu sekarang mengapung dengan stabil disekitaran puncak tower. Aku dengan sekuat tenaga memeluk Nao dengan mata tertutup dan masih merasakan tekanan yang begitu besar diketinggian yang tak masuk akal ini. Saat batu pijakan yang membawa ku mulai berhenti bergerak perlahan ku buka kedua mataku melihat ke sekeliling dan yang kudapati adalah hamparan batu-batu yang mengapung bersama puluhan orang yang gemetar dengan wajah pucat pasi. Tak terkecuali aku, segera ku lihat Nao dalam pelukan ku. Keringat dingin mulai membasahi seleuruh badanku melihat Nao yang tak sadarkan diri. Kucoba menyadarkannya dengan menggerakan badan dan menepuk pipinya.

" Nao.. bangun .. buka matamu kakak mohon.. Nao... Naoo.. " teriakku setengah putus asa. Hingga sesak yang sedari tadi memenuhi tenggorokan ku mulai memberikan efek pada bagian tubuh lain yang dapat mengalirkan emosi tak tertahan menjadi tetesan air. Aku menangis sejadinya.  

 

Apa yang sesungguhnya terjadi? Ada apa dengan tempat ini? Ledakan apa tadi? bagaimana dengan keluargaku yang lain di bawah sana? Kenapa Nao tidak mau membuka mataa!!

Dadaku sesak menghirup udara di ketinggian , jantungku berdebar tak beraturan, pikiranku dipenuhi berbagai pertanyaan. Sambil terisak , aku mencoba mengendalikan diri dan memikirkan apa yang sebaiknya kulakukan. Karena tak mungkin ku habiskan waktu mengapung ditengah hamparan bebatuan ini. Kulihat beberapa ada yang berusaha berdiri dan mencari orang yang mereka kenal. Ada yang mencoba berpindah dari satu batu ke batu lainnya untuk bisa mencapai puncak tower yang letaknya tidak begitu jauh. Namun itupun tidak mudah, batu batu itu tidak semua nya dapat dipijak karena bentuknya yang tak beraturan, salah satu langkah saja bisa membawa kita kedasar tower dengan tingkat kematian mutlak. Tak mungkin aku berani melewati bebatuan itu sendiri apalagi aku membawa Nao. Rasa takut menyelimutiku memikirkan Nao yang tak sadarkan diri dan tak ada yang bisa ku lakukan selain duduk diam dan menangis. Rasa panik mulai merasuki ku sampai tiba tiba tangan mungil nao mengenggam baju ku yang sudah koyak oleh pecahan kaca Eiden. 

" Kak Eyn... " seru nya lemah.

" Oh.. TUHANN... Nao... kau tidak apa-apa? Apa kau terluka? Sungguh terimakasih tidak meninggalkan kakak.. terimakasih Nao... " seru ku yang seketika itu melupakan kepanikan ku yang sepersekian detik lalu mulai menyerang.

" Ki..ta.. di..mana..? Ayah .. ibu.. Kak Nui .. Kak Nae...di..mana? Nao mau pulanng..." seru Nao dengan lirih diiringi air matanya yang mulai mengalir.

" Ka..kakak tidak tau ... ta... tapi... kakak pasti akan membawa kita kembali pulang. Kakak janji!" jawab ku agak tergagap sambil menyeka air mata yang tadi tertumpah.

" Janji..? " balas nao sambil mengacungkan kelingkingnya.

Lihat selengkapnya