Beberapa menit yang lalu, surat tanda keberhasilan studi akhir resmi Yura terima. Ia dan beberapa teman sekelasnya pun bersorak sebab ini berarti bahwa lembaran hidup mereka yang baru akan segera dimulai. Rasa bahagia dan haru jelas menyatu mewarnai hari Sabtu yang bersejarah tersebut. Bahagia karena prinsip 'masuk bersama dan lulus bersama' yang mereka junjung tinggi akhirnya tercapai, juga hati yang dilanda gamang lantaran waktu berpisah kini kian mendekat. Sungguh, tiga tahun berlalu dengan sangat cepat. Andai saja waktu bisa sedikit diperpanjang.
"Sedih rasanya menghadapi kenyataan bahwa sebentar lagi kita akan berpisah," ujar salah seorang siswi bersurai hitam lurus dengan hiasan dua jepit lucu di sisi kanan.
"Iya! Aku merasa ini terlalu cepat. Tidakkah kalian juga merasa bahwa baru kemarin kita menjalani masa orientasi bersama-sama?" sahut siswi lainnya dengan gaya dramatis sembari menghapus sisa air mata di pipi putihnya.
Yura mengangguk antusias. Sebab ia pun juga merasakan hal yang sama. Dia masih tak sanggup berkata-kata lantaran setiap ucapan yang teman-temannya lontarkan barusan sudah mewakili seluruh isi hatinya. Jadi yang mampu ia lakukan saat ini hanyalah mengangguk dan menghapus air mata yang lagi-lagi berjatuhan dengan mudahnya. Biarlah jika Yura dianggap cengeng. Toh, hampir setengah dari penghuni kelasnya kini pun juga melakukan hal yang sama dengannya.
"Yura, setelah hari wisuda, kita benar-benar akan berpisah. Saat di Jerman nanti, aku akan sangat merindukan sandwich nano-nano buatanmu yang biasa kau bagikan padaku itu setiap pagi." Kali ini seorang siswi dengan jaket berwarna ungu yang melindungi tubuhnya mulai angkat bicara. Kedua tangannya merengkuh bahu milik Yura lalu membenamkan wajahnya di sana. Siswi yang diketahui bernama Vilona Caesaria Atmajaya tersebut tampak sangat emosional. Dan selaku orang yang paling dekat dengan Vilo, tentu Yura memeluk balik gadis itu tak kalah erat. Netra cantiknya kembali menitikkan air saat kenangan akan setiap momen yang telah tercipta sejak kelas sepuluh berputar otomatis dalam benaknya bagai film di bioskop.
"Bodoh. Siapa suruh kau melanjutkan studi di negara yang jauh, huh?" gurau Yura saat tangisan Vilo terasa semakin deras membasahi seragamnya. Jemari lentiknya dengan telaten mengusap punggung sahabatnya tersebut untuk memberikan ketenangan seperti yang diharapkan. Dan tampaknya hal itu berhasil. Sebab Vilo kini telah melepaskan pelukannya dan mulai menghapus jejak air mata yang membelah pipinya.
"Kau tahu dengan baik bahwa itu bukanlah keinginanku."
Tentu Yura mengatahuinya. Sejak ia menjalin pertemanan dengan Vilo, gadis itu telah ribuan kali mengungkapkan kerisauan hatinya tersebut. Tak heran jika Yura paham dengan baik landasan utama penyebab kesedihan teman dekatnya itu saat ini.
"Well, bisa tidak khusus hari ini kita bersenang-senang saja untuk terakhir kalinya? Bukankah kau bilang bahwa setelah wisuda nanti kau harus segera berangkat? Ah, ayo kita tertawa sebanyak yang kita bisa, Vi, dan kumohon tanpa air mata. Hm?"
Untuk sesaat Vilo menangis akibat kata 'terakhir' yang Yura ucapkan. Seolah takkan ada lagi momen kebersamaan yang kelak bisa mereka habiskan seperti saat ini. Namun gadis berbibir tebal tersebut dapat menguasai dirinya dengan baik. Sehingga tak butuh waktu lama baginya untuk mengiyakan ajakan Yura.