Bertemu dengan seseorang yang mampu membuat jantungmu berlari secara brutal merupakan sebuah hal yang sangat menggembirakan. Begitu pula dengan Yura yang sebahagia itu kala bertemu Brian. Tetapi satu hal yang tidak pernah ia sangka adalah kebahagiaannya tersebut tidak bersambut.
Brian membawanya ke sebuah gang kecil yang hanya mampu dilalui oleh satu orang. Bahkan sangat sempit hingga rasanya sulit sekali bagi Yura untuk bernapas. Mata elang milik pria itu menatap bengis. Rautnya tampak dingin dan tak tersentuh. Tutur katanya pun juga tak sehangat biasanya. Sangar.
Sungguh bukan Brian yang kukenal...
Yura mendadak terlempar dari lamunan ketika tubuh kurusnya menghantam sebuah dinding. Ia meringis, berusaha mencerna apa yang baru saja terjadi. Dan di saat kesadaran telah kembali sepenuhnya, ia dapat melihat Brian yang tersenyum licik kemudian berkata, "Kau harus membayar semua kesalahanmu, Ma Chérie!"
Gadis yang masih mengenakan seragam sekolahnya tersebut kontan mengernyitkan dahi saat mendengar ucapan Brian yang terdengar begitu mengerikan. Seolah-olah Yura telah berhutang nyawa pada lelaki itu padahal tak pernah ada hal buruk yang mengancam jiwanya belakangan ini.
"Maksudnya?"
Brian menghela napas. Mengusap singkat wajahnya sendiri sebagai tanda bahwa ia menyerah. Kemudian ia memutus kontak mata secara sepihak terhadap Yura saat gadis itu bertanya seraya menampilkan binar polos di wajah ayunya.
Pelan tapi pasti, Brian pun mulai menyandarkan diri di dinding, berdampingan dengan sang permata hati. Sungguh, gestur Yura yang seperti itu selalu berhasil melemahkan pertahanan yang telah ia bangun dalam sekejap. Ya, bagaimana pun juga Brian memang tidak bisa bersikap kasar terhadap perempuan. Juga tak bisa berlama-lama marah pada siapa pun, terutama kepada orang-orang yang berharga baginya.
"Para orang tua telah sepakat untuk memajukan rencana pernikahan kita, Yura." Brian mulai angkat bicara. Ia sadar bahwa permasalahan ini harus dibicarakan dengan kepala dingin. Bukan malah beradu dengan emosi yang tersulut.
"Oh ..."
Lelaki berbibir mungil tersebut sontak mengerutkan kedua alisnya. "Oh? Hanya 'oh'?" tanyanya skeptis. Ia tak percaya dengan reaksi yang gadisnya itu berikan. Seolah ini bukanlah masalah yang begitu besar baginya.
"Memangnya aku harus menjawab seperti apa? Toh, dimajukan atau tidak pada akhirnya kita tetap akan menikah bukan?"
Benar. Apa yang diucapkan Yura memang benar adanya. Sebab perjodohan di antara keduanya telah diatur para orang tua sejak usia mereka masih sangat dini. Namun bukan itu yang kini tengah Brian risaukan. Melainkan waktu pelaksanaan pernikahan yang dinilai terlalu terburu-buru.
"Apa kau tidak mengkhawatirkan masa depanmu?" tanya Brian dengan sabar.
Yura tertawa. Merasa geli dengan pertanyaan tak terduga yang diberikan oleh pujaan hatinya tersebut. Sementara Brian masih saja setia menatap gadisnya itu dengan pandangan yang sulit diartikan.
"Kau gila, ya? Apa yang harus aku khawatirkan jika masa depanku nanti akan kujalani bersamamu?" Yura kembali tertawa karena baginya ini sangat lucu. "Beberapa minggu lagi, aku akan memulai studi patisserie-ku di Le Cordon Bleu. Kemudian kembali ke Jakarta dengan chef jacket yang telah bertuliskan namaku dan membuka toko kue dengan brand-ku sendiri di sini. Puncaknya adalah prosesi pengikatan diriku dalam ikrar suci bersama pria pewaris Banila Ink Group bernama Sabrian Ardhana. Menurutmu, apa yang perlu dicemaskan dari semua itu?" sambungnya.
Deretan mimpi penuh suka cita yang baru saja Yura lantunkan berhasil melunakkan tatapan sengit milik Brian. Pria bersurai hitam legam tersebut masih tidak menyangka bahwa Yura sama sekali tidak terbebani dengan label perjodohan yang dibebankan kepadanya sejak kecil. Bahkan gadis itu terkesan seperti mengharapkan bahwa pernikahan akan tetap terjadi walau tanpa desakan dari orang tua mereka masing-masing. Apakah gadis itu mencintainya sebesar itu meski selama ini Brian tetap bungkam dengan perasaannya sendiri?