Thirtieth Night

Ri(n)Jani
Chapter #1

PROLOG

Gadis itu duduk diam menatap keluar jendela bis yang dipenuhi dengan embun. Tangannya meremas ujung rok pendeknya yang cukup menutupi lututnya. Sementara tangannya yang lain bergerak pelan menurunkan rambutnya menutupi wajahnya dengan bergetar. Berbanding terbalik dengan ekspresi wajahnya yang begitu tenang. Dia sebenarnya begitu ketakutan. Seorang laki-laki yang duduk di kursi paling belakang menatapnya secara terang-terangan. Pria dengan celana denim yang robek di bagian lututnya dan jaket kulit yang sudah tua. Bisa dibilang vintage. Tapi entah kenapa, kata itu tidak sesuai dengan perawakannya.

Gadis itu segera berdiri ketika halte sudah terlihat oleh matanya. Berjalan ke arah pintu keluar seperti ia tak menyadari tatapan pria itu. Jarinya mengerat pada pembatas besi yang dingin dan matanya memejam ketika melihat pria itu bangun dari duduknya. Berdiri di sebelahnya tanpa mengeluarkan sepatah kata. Yang ada di benaknya adalah betapa sialnya dirinya.

Ia dengan segara melompat kecil keluar dari bis yang belum berhenti sempurna di halte itu. Memasang earphone ditelinganya dengan gugup dan memegang erat ujung bajunya sambil terus berjalan. Merasakan langkah kaki pria itu yang semakin mendekatinya. Berjalan di belakangnya seperti ia tahu bahwa ia berusaha mengabaikannya. Jantungnya yang berdegup kencang bahkan bisa didengar oleh telinganya.

“Ray.”

Raya berhenti. Menoleh ke arah Ardi dengan ekspresi wajah yang terkejut sekaligus ketakutan. Ardi berdiri di bawah payung berwarna hitam yang memayunginya dan payung merah ditangannya. Berdiri di gang dengan penerangan redup yang membuatnya tampak menakutkan. Raya dengan segera melepaskan earphone-nya ketika melihat Ardi keluar dari kegelapan. Dia merasa lega.

Pria tadi berjalan melewatinya sambil memalingkan wajahnya dan menurunkan topi menutupi wajahnya. Raya yang merinding ketika pria itu melewatinya bisa melihat bahwa pria itu tersenyum miring padanya.

“Ku pikir kau harus membeli earphone baru,” Ujarnya cepat sambil terus berjalan. Pupil Raya seketika membesar.

“Kan bisa nunggu di halte.” Ardi berlari kecil ke arahnya.

Lihat selengkapnya