Thirtieth Night

Ri(n)Jani
Chapter #2

#2 We Met

Raya keluar dari kamarnya kemudian duduk di kursi yang ada di bawah jendela. Mengeluarkan sepatunya dari bawah kursi kemudian menoleh keluar sebentar. Setelahnya menoleh ke arah ayahnya yang berjalan ke arahnya sambil memasukkan bekal ke dalam tas kecil berwarna biru tua.

“Mereka nggak punya rumah?” Raya menyindir teman-teman kakaknya yang sudah datang sejak pagi buta dengan pertanyaannya itu. Ayahnya menaruh tas itu di sebelah Raya kemudian menyentuh bahu Raya pelan. Raya yang menoleh ke arah ayahnya bisa melihat raut wajah ayahnya yang menyuruhnya untuk memperhatikan kata-katanya.

“Tapi kan fakta,” Raya menghela nafas. Berjalan meraih tangan ayahnya dan mencium telapak tangannya. Ia kemudian berhenti di depan foto mendiang ibunya dan melambaikan tangannya.

“Hari ini lesnya pulangnya malam lagi kan?”

“Iya, yah.” Ucap Raya sambil memakai jaket windbreaker milik kakaknya yang diambil tanpa izin dari lemari kakaknya.

“Nggak bisa ganti hari ray, malam minggu itu rame loh jalannya. Kalo udah malam jalan ke rumah kan sepi banget. Ayah juga kerjanya pulangnya minggu pagi. Kakakmu juga harus jemput kamu tiap pulang. Dia kan jadi jarang jalan sama ceweknya,” Ucap Ayahnya.

“Kan jarang yah yang ambil les malam Sabtu, jadi temannya gak sebanyak yang les Senin-kamis. Bayarnya juga lebih murah. Terus kalau kakak malas jemput adik, adik nggak papa pulang sendiri.” Raya melirik kakaknya yang duduk bersama teman-temannya tadi.

“Ayah nggak papa kalau Raya pengen lesnya bareng temen-temen Raya.” Raya menghela nafas.

“Seriusan, deh. Nggak papa. Lagi pula Raya bisa mampir di titik nol buat main sambil nunggu bis paling akhir.” Bohong raya.

“Siapa yang suruh pake jaket kakak?” Kakaknya menarik sedikit tudung kepala Raya. Raya yang nyaris jatuh ke belakang memukul pelan tangan kakaknya.

“Kayak kakak nggak pernah ambil uang dari celengan Raya aja,” Kakaknya mengumpatinya lewat matanya. Sementara Ayahnya menatapnya meminta penjelasan.

 “Raya berangkat dulu.” Mencium tangan kakaknya dengan asal dan berjalan pergi melewati teman-teman kakaknya.

Kakaknya yang menghindari tatapan ayahnya dengan segera menghampiri teman-temannya. Menaruh asbak ditengah-tengah mereka.

“Berani banget dia pulang malam sendiri.” Ardi hanya bergumam pada pernyataan Bagas yang sudah tidak asing dengan keberanian Raya itu.

“Kalo yang kayak gitu baru cantik sih. Pacarnya pasti klepek-klepek tuh,” Ucap Reno yang baru pertama kali melihat Raya. Ardi mengangkat kepalanya. Menatap temannya yang mengucapkan kata-kata yang menurutnya tak pantas ia dengarkan itu dengan tatapan tajam.

“Ya terus kenapa? Namanya juga cewek. Paedofil lu? Dia masih 17 tahun.” Bagas menaruh rokoknya dan menepuk bahu Ardi pelan. Tampak dari raut wajahnya ia mencoba membujuk Ardi untuk mengabaikan ucapan Reno yang tak di pikir terlebih dahulu itu. Ardi masih menatap temannya itu dengan tajam.

***

Raya turun dari bis ketika pesan masuk ke ponselnya. Pesan yang dikirim oleh kakaknya yang sangat jarang mengiriminya pesan itu segera ia buka. Pesan yang berisi alasan ia tak bisa menjemputnya itu hanya membuatnya menghela nafas.

Raya kemudian duduk di halte bis. Sambil memainkan ponselnya menunggu bis berikutnya datang. Ia pikir, mungkin dengan pergi ke titik nol seperti alasannya tadi pagi bisa membuatnya menghabiskan sedikit waktunya sambil menunggu kakaknya yang seperti biasanya akan berubah pikiran. Ia memasukkan ponselnya dengan segera ketika transjogja itu berhenti di depannya. Ia kemudian duduk di bangku paling belakang. Bangku yang paling jarang ia duduki.

Lihat selengkapnya