Thirtieth Night

Ri(n)Jani
Chapter #3

#3 First Night

Raya berjalan dengan tertatih sambil memegangi lengannya yang terasa nyeri. Mengikuti pria yang menolongnya tadi yang kebetulan melewati jalan yang sama dengannya. Berjalan beberapa meter dibelakang-Nya. Memberinya jarak.

“Di mana rumahmu?” Raya menaikkan kepalanya yang sedari tadi menunduk. Menatap pria itu yang hanya berhenti jauh di depannya dengan tangan yang ia masukkan ke dalam sakunya dengan ekspresi penuh curiga.

“Bukan, apa kau pikir aku pria jahat yang akan membiarkanmu pulang sendirian dengan keadaanmu seperti itu. Tidakkah ini aneh kau tidak memintaku untuk mengantarmu pulang setelah meminta tolong padaku. Lalu pertolongan apa yang kau maksud.” Raya menegakkan badannya.

“Juga, bukankah kau harus melaporkan ini ke kantor polisi?” Raya berjalan mendekatinya kemudian berjalan melewatinya dengan tertatih.

“Hubungi keluargamu. Mungkin saja sekarang mereka sedang khawatir.” Pria itu hanya menghela nafas melihat lutut Raya yang sudah lecet dengan darah yang sudah mengalir ke kakinya. Heran dengan apa yang baru saja terjadi dengan Raya.

Raya yang berusaha menahan rasa sakitnya itu sesekali melirik pria tadi yang menemaninya pulang. Ia menghentikan langkahnya kemudian menarik napas panjang sambil memejamkan matanya.

“Kalau boleh, bisa ngga jalannya jangan di belakangku.” Ia menaikkan alisnya heran. Berjalan mendekati Raya dan berhenti di sebelahnya.

“Aku tahu ini bukan urusanku. Tapi, bukankah kau bisa mengetuk pintu rumah orang dan meminta pertolongan orang jika kau di ikuti seperti itu. Aku yakin orang-orang masih terbangun di jam ini.” Raya menatapnya dengan tatapan kosong.

“Baiklah, aku tahu. Aku tahu dalam keadaan seperti itu kau mungkin tidak memikirkan cara lain selain berlari.” Ia meraih tas Raya. Raya dengan segera menghentikannya dan memegangnya dengan erat.

“Ngga ngerasain sakit?” Matanya beralih ke arah siku Raya yang juga berdarah. Raya melepaskan tasnya. Membiarkan pria itu membawakannya.

"Lagi pula, aku sudah terlanjur mengambil tas yang kau buang ini,"

"Aku tidak membuangnya." Ia menggelengkan kepalanya pelan. Tak percaya Raya menanggapi candaannya.

Mereka kemudian berjalan dalam diam. Sesekali berhenti karena Raya tak bisa menahan nyerinya. Mereka akhirnya sampai di depan rumah Raya. Ia dengan segera menyodorkan tas Raya dan berlalu pergi.

“Makasih.” Ia menoleh dan mengangguk pelan. Ia kemudian kembali berjalan pergi meninggalkan Raya yang masuk ke dalam.

Raya terhenti ketika melihat kakaknya yang tengah kebingungan mencoba menghubunginya. Ada beberapa temannya juga mencoba menenangkannya di sana. Sesaat setelah ia masuk semua mata tertuju padanya.

“Ardi, adikmu.” Ucap Bagas. Ardi dengan segera berjalan cepat ke arahnya. Ia dengan khawatir mengecek keadaan Raya. Raya yang tak bisa menahan tangisnya kemudian menangis seperti anak kecil yang kehilangan permennya.

“Kamu kenapa? Kok bisa sampai kayak gini?” Ardi terus memeriksa luka di tubuh adiknya. Tangisan raya semakin keras, semakin keras hingga Ardi tak tahu harus berbuat apa untuk menenangkan adiknya.

***

Pria tadi masuk ke dalam rumah. Menuangkan air dari teko bening di atas meja dan meminumnya dengan sekali tenggak. Ia kemudian berjalan ke arah kamar yang di tutup dengan gorden dan menyibaknya. Melihat neneknya yang sudah tertidur pulas dengan tasbih yang masih berada di genggamannya.

“Timur.” Ia yang berusaha tak membuat suara itu berbalik ketika mendengar suara parau neneknya yang terbangun.

“Udah makan?” Neneknya berdiri sambil memegangi gorden kamarnya.

“Udah,” jawabnya sambil tersenyum hangat. Timur kemudian kembali masuk ke kamarnya. Mendudukkan tubuhnya di atas ranjang dan termenung cukup lama hingga tanpa ia sadari ia sudah masuk ke dalam dunia mimpinya.

Timur terbangun dengan napas yang terengah-engah. Mimpi buruk yang jauh dari dugaannya tiba-tiba muncul dan itu sangat mengejutkannya. Untuk pertama kalinya ia merasakan mimpi yang terasa begitu nyata. Dengan lesu ia keluar dari kamarnya dan menemukan neneknya yang sudah memenuhi meja dengan makanan sehat seperti biasanya.

Timur meraih mangkuk berisi sup yang di bawa neneknya dan dengan hati-hati menaruhnya di atas meja. Duduk berhadapan dengan neneknya yang dengan segera mengulurkan tangannya. Memimpin doa pagi mereka.

“Jangan lupa obatnya nek,” ucap Timur dengan tangan yang mengambilkan nasi untuk neneknya.

Timur meraih tempat obat di laci tak jauh dari meja makan kemudian membawanya ke meja makan. Meminumnya bersama dengan neneknya yang juga meminum obat rutinnya. Mereka berdua tersenyum lebar setelah selesai meminum obat mereka.

***

Lihat selengkapnya