Ketegangan terjadi. Ace benar-benar bergabung di meja Reina dan ketiga kawannya berkumpul—di salah satu meja kantin yang terletak di pojok dan tak jauh dari tempat pemesanan makanan ketika jam makan siang tiba. Dan karena kehadirannya, semua yang duduk tak berani membuka suara. Mengingat ekspresi dan sikap yang ditunjukkan Ace saat ini tak berubah. Tetap kurang bersahabat dan terkesan menakutkan. Membuat Reina yang membawa pria itu kian tertekan.
“A-anda benar-benar akan makan bersama kami, Pak?” tanya Maksim, Maksim Artyom—pria berkebangsaan Rusia yang menjadi teman pria pertama Reina di organisasi ini sekaligus satu angkatan dengannya dan Liana.
Maksim memiliki tinggi 183 cm, umur yang sama dengan Ace, mata hijau, rambut yang sedikit keriting dengan warna cokelat tua, kulit berwarna ivory, hidungnya mancung, rambut cokelat, rahang tegas, tatapan yang teduh dan terkadang tajam, alis tebal dan bibir lumayan tebal. Namun, walau seumur, Maksim tetap bersikap hormat dan kaku pada Ace. Selebih lagi dirinya belum tahu usia pria Inggris itu dan baru pertama kali melihatnya dari dekat.
Akan tetapi, jika disamakan dengan Ace, perspektif Reina terhadap pria itu di awal perjumpaan, sama-sama kurang mengenakkan. Begitu pun bagi Liana—satu-satunya yang bercadar di meja ini dan merupakan sahabat pertama Reina sejak datang ke Jerman, khususnya masuk ke gedung utama organisasi.
Karena kala itu, ketika anggota baru mulai dipilah-pilih untuk dimasukkan ke divisi khusus sesuai kemampuan masing-masing sebagai bentuk pelatihan, Reina dan Liana dipisahkan, sehingga mereka jarang bertemu dan hanya bertegur sapa di kantin, serta berhubungan di sosial media.
Lantas di kantinlah mereka dipertemukan dengan Maksim. Tak sengaja duduk satu meja, serta kesan pertama yang tertangkap darinya ialah misterius. Bagaimana, tidak? Maksim yang kala itu Reina lihat sangat irit bicara dan sesekali menatapnya tajam.
Maksim tipikal pria yang mudah bergaul, tetapi entah mengapa, ia benar-benar pendiam dan sering membuat Reina dan Liana tidak nyaman setiap kali bertemu dan duduk bersamanya. Sampai-sampai mereka sering berpindah kursi hanya demi menghindari Maksim.
Hingga, di suatu hari, Maksim yang mungkin merasa tidak dihargai tiba-tiba mencegah Reina dan Liana yang kembali ingin pindah. Karena pria itulah yang menghampirinya, dan ia ingin memiliki teman makan. Sementara Reina dan Liana yang dicegah merasa cukup tertekan akannya, mengingat tatapannya yang terlihat seperti mengintimidasi dan mengancam mereka. Padahal, nyatanya tidak.
Maksim ingin berkenalan, dan menganggapnya teman. Ia ingin mereka sering duduk bersama seperti ini.
Lambat laun, Reina dan Liana mulai terbiasa, hingga perspektif buruk terhadap pria itu hilang seketika.
Walau Maksim tipikal pria yang emosional, tetapi tak dipungkiri jika dirinya begitu peka dan unik. Ia lantas menjadi satu-satunya teman pria Reina dan Liana, serta orang kedua yang menjadi dekat dengan Reina. Bahkan perbedaan agama di antara mereka tak menjadi penghalang, disebabkan Maksim menganut agama Katolik. Membuat Reina dan Liana terkadang menjadi hati-hati ketika bertindak dan berucap. Demi terjalinnya sikap saling menghargai dan toleransi.
Berhari-hari berlalu, mereka semakin dekat, dan mulai diperkenalkan dengan satu-satunya wanita yang tak mengenakkan hijab di meja ini.
Sherilyn, Sherilyn Penelope, itulah namanya—wanita berkebangsaan Singapura yang berada dalam satu divisi dengan Maksim, yakni Divisi Perlindungan dan Kesiagaan—bersama sejak awal, dan gedungnya terletak tidak jauh dari Divisi Humas dan kantin ini.
Sama seperti Ace, Sherylin juga menganut agama Kristen Protestan. Ia tipikal wanita yang aktif, cerewet, jujur dan humoris. Kerap kali dipanggil Sher atau Lyn, serta memiliki perawakannya cantik, tinggi 160 cm, kulit berwarna ivory, hidung yang sama mancung, mata lentik dengan iris berwarna cokelat, tato di kedua tangan dan di atas payudara, rambut sepanjang bawah dada lurus berwarna hitam, bibir tebal, mata yang tergolong sipit, alis tipis, dan sering mengenakan topi seperti Reina. Ia suka merokok dan minum-minum.
Akan tetapi, walau begitu, tak ada yang masalah dengan kebiasaannya, sebab Sherylin tahu caranya menghargai. Ia juga sama seperti Ace dan Maksim yang sempat membuat Reina dan Liana tidak nyaman.
Di awal perjumpaan, ia sempat membuat Reina dan Liana kembali tertekan karena tiba-tiba melontarkan lelucon dan teka-teki yang meresahkan, serta banyak bicara dan menunjukkan sikap aneh lainnya. Jelas itu juga membuat Reina dan Liana ingin kabur dari meja makan.
Akan tetapi, semua yang dilihat pertama kali memang tak selalu benar. Karena nyatanya, mereka kini bisa sedekat sekarang dan tak lagi memandang batasan. Bagi keempatnya, mereka sama-sama manusia yang hanya hidup sementara untuk menjalankan suatu tugas. Dan kini, Ace datang sebagai anggota baru, walau mereka tak yakin pria itu bisa berbaur dengan tingkah masing-masing, serta mereka sendiri sedikit kurang segan nan nyaman dengan sosok yang di mata mereka adalah seorang atasan.
Ace yang semula diam dan ditanya pun mulai menunjukkan tanda-tanda pergerakan. “Ya. Kenapa tidak?” jawabnya sembari balik bertanya, membuat Maksim sedikit mendelik ke arah Reina.
Reina yang mendengar dan melihat tatapan Maksim pun hanya tersenyum penuh tertekan.
“Ya, benar! Memangnya kenapa?! Beliau juga teman kita,” celetuk Sherylin, spontan membuat Liana, Maksim dan Reina menatapnya kaget. Bahkan Reina menggeleng-gelengkan kepalanya agar kawannya itu tak mengatakan yang tidak-tidak.
Akan tetapi, bukannya menyanggupi, Sherylin malah berkata, “Kenapa kau menggeleng-gelengkan kepala? Sedang berzikir, ya?”
Spontan membuat Ace menoleh pada Reina, dan membuat Reina segera berpaling ke arah yang berlawanan. Sherylin selalu saja begini.
“Diamlah, Sher! Hargai Pak Ace! Dia itu atasan kita!” ucap Maksim dengan suara yang sedikit dipelankan, membuat Reina semakin tertekan saja. Namun, Ace bisa mendengar apa yang pria itu katakan.