Baekhyun terburu menemui Kris di pelataran parkir rumah. Karena jika ia tak bergerak cepat, maka Ayahnya ini pasti sudah lebih dulu sampai di ruang kerjanya. Maka, saat Kris belum selesai menutup pintu mobil, Baekhyun sudah menahan dengan dua tangannya. Dia secara samar menyuruh sang kepala keluarga itu untuk turun dari mobil.
Jadi, Kris berhadapan dengan Baekhyun sekarang.
"Ada apa, Baek-a? Appa ada rapat penting ha—"
"—aku mau ponsel baru." Baekhyun berkata acuh tak acuh seraya menimang ponselnya agar Kris bisa memproyeksi benda datar itu sebaik mungkin. "Appa bisa cek sendiri, layarnya tidak bisa menyala."
Baekhyun bukan sedang beralasan, tapi memang kenyataannya seperti ini.
"Ah, kalau kau sudah membutuhkan Appa, sekarang mau bicara, hm?"
Baekhyun berdecak; mulai jengah dengan retorisme Kris. Tapi, ia terpaksa melanjutkan, “Mm. Terserah, yang jelas aku butuh alat komunikasi sekarang." Lantas salah satu anak tengah dalam keluarga Wu ini bersedekap sambil memiringkan kepala. "Jadi, bagaimana?"
Kris sudah bisa mencerna maksud Baekhyun, tapi dia tetap bukan tipe Ayah yang selalu mengabulkan ingin si anak tanpa ada syarat dan ada bukti. Yah, meskipun tak jarang Kris selalu menjejalkan barang-barang mewah untuk mereka berempat.
"Sini, biar Appa cek dulu," Kris menengadahkan tangan, membiarkan Baekhyun meletakkan ponsel—yang ia belikan tahun lalu—itu agar mendarat disana. "Kenapa bisa begini? Kau apakan, Baek?" Ia memilah beberapa bagian dan memang benar layar ponsel itu sudah retak separuh. Yah, meski pada dasarnya, Kris sama sekali tak tahu apa-apa mengenai teknologi.
Baekhyun melengos; lagi-lagi malas menghadapi Kris. "Appa sedang cari alasan agar tidak perlu membelikanku ponsel baru?"
"Kalau hanya seperti ini, diperbaiki saja kan bisa, Baekhyun-ie. Nanti minta antar kakak-kakakmu, Chanyeol atau Jongin. Ya, kan?" Kris memang masih memegang ponsel Baekhyun, tapi atensinya sudah sepenuhnya beralih pada si mata sipit ini sekarang."Seharusnya kau berhati-hati, ini kan barang mahal. Kenapa tidak mengharga—"
"Kenapa jadi menyalahkanku?"
Baekhyun akhirnya berani mengilatkan marah, matanya tajam menusuk iris Kris, suaranya beroktaf tinggi sengaja menelurkan ketidaksukaan dan rasa tidak terima.
"Kenapa Appa selalu menyalahkan?"
Kris mulai lelah. Sepertinya, apapun yang ia katakan, selalu salah di mata anak-anaknya. Tak terkecuali. "Appa bukannya menyalahkan, Baekhyun-a. Tapi, Appa hanya mengingatkan kalau kau sudah berkali-kali berganti ponsel. Tahun ini saja kau hampir—"
"—lalu, Appa mau bilang kalau tidak punya uang?"
Kris baru saja ingin membantah tuduhan itu. Namun, Baekhyun sudah lebih dulu menyerobot setengah berteriak.
"Sementara uang-uang Appa melimpah di brankas, hm?"
Baekhyun menunggu Ayahnya mengeluarkan statemen—tapi, nihil. Kris hanya menahan amarahnya, ia tak ingin terpancing, ia tidak boleh terbawa suasana—Kris jelas-jelas sedang melindungi mood hari ini agar tidak hancur begitu saja. Masih banyak pekerjaan di kantor yang terlantar dan butuh campur tangannya, masih ada klien-klien penting yang mengharap kebijaksanaannya sebagai pemimpin perusahaan. Urusan Baekhyun bukanlah sesuatu yang seharusnya ia pikir keras-keras.
Rencananya tidak boleh berantakan, inginnya tidak bisa gagal.
“Geurae! Aku beli ponsel baru saja!”
Sebelum Baekhyun berhasil merebut kembali ponselnya, Kris sudah lebih dulu merampas balik itu dan menggenggamnya erat-erat agar tak terjamah lagi.
“Kau harus tahu, Baekhyun-a. Tidak selamanya, tidak semuanya—permintaanmu bisa dituruti.”
Baekhyun mendelik, seketika mengangkat kepala dan dagunya tinggi-tinggi, posenya menantang. "Oh. Maksud Appa, Appa memang benar-benar tidak sanggup membelikanku ponsel baru? Masa Appa yang setiap hari bekerja, siang dan malam, meninggalkan anak-anaknya—mengaku tak punya uang? Sebanyak apa hutang Appa? Sebanyak apa foya-foya Appa? Cih, Appa memang sudah melupakan kita. Harusnya, aku menyusul Eomma saja. Eom—" Terhenti. Bukan karena Kris memotong ucapannya. Tapi, setiap kali menyebut Ibunya, ada air mata yang berebut keluar dari pelupuknya.
"Hentikan, Baek-a. Jangan menyakiti perasaanmu sendiri," Kris memelankan suaranya, berharap Baekhyun juga mengerti kalau dia pun sama terlukanya.
"Tidak. Disini, dalam konteks ini—Appa yang tidak mengerti. Begitukah cara Appa menghamburkan uang-uang hasil jerih payah Eomma juga, lalu bilang pada kami bahwa Appa tak punya apa-apa? Sementara aku tahu benar sepesat apa perusahaan Appa bergulir dengan hasil tambang melimpah. Sedang aku tahu sesukses apa perusahaan Appa berhasil memenangkan tender-tender terbaik. Jadi, kemana uang-uang Appa selama Eomma masih hidup sampai Eomma sudah mati—"
"—ya! Appa bilang hentikan! Mulutmu sudah keterlaluan!"
Akhirnya, Kris tidak tahan lagi. Emosi Kris tidak akan surut jika Baekhyun tetap mengoceh. Ia jadi harus membentak Baekhyun dan membuat mereka berdua bernafas dalam rasa frustasi. Namun, di sisi Baekhyun, ia masih bersikeras untuk memenangkan perdebatan ini. Ya, Ayahnya memang tidak secara langsung mengatakan kalau uang mereka telah habis, tapi Baekhyun setahu itu bahwa Kris hobi berkelit.
"Padahal aku hanya ingin ponsel baru, apa sesulit itu mengabulkan permintaanku dengan uang dan emas yang Appa miliki? Kapan Appa bisa membahagiakan kami? Membebaskan kami dari belenggu rantai tak kasat mata Appa? Kapan?!"
Kapan. Kapan Kris membiarkan mereka bahagia? Apa memangnya selama ini? Apa yang ia berikan? Apa yang ia tangguhkan? Apa semuanya? Ingin sekali Kris berteriak selantang itu demi menyadarkan anak-anaknya yang belum mau memahami dirinya. Ah, tapi, percuma. Mungkin luka hati itu masih menganga, mungkin pesakitan akibat kepergian Ibu mereka turut mengubah empat anak laki-laki ini jadi belingsatan seperti. Kris mungkin bisa mengecualikan Kyungsoo untuk saat ini.
Ya, Kris hanya berpegang pada keyakinan itu.
"Lalu, sekarang waktunya Appa bertanya dan Baekhyun jawab sebenar-benarnya. Kau sendiri, kapan kau mau bersabar? Kapan kau mau percaya pada Appa?” Dalam hati Baekhyun, ia membatin keras-keras; aku—pernah—percaya. “Baekhyun-a, kau dan saudara-saudaramu hanya terburu-buru mengadili Appa, sedangkan disini Appa mengusahakan yang terbaik untuk kalian."
"Cih, lagi-lagi omong kosong." Baekhyun memalingkan wajah, ia sengaja menolak kejaran netra Kris. "Kalau tidak mau membelikannya, tinggal bilang tidak mau. Beres, kan?”
"Baekhyun!" Meski Kris berusaha membuang jauh-jauh rasa kesalnya, hasil yang ia dapat pun tak seberapa. "Minggu depan Appa belikan asal kelakuanmu berubah. Benahi rompi dan kerah seragammu. Kau tampak berantakan."