Kris Wu menyantap sarapannya di ruang kerja. Kopi hangat yang ia sesap sama sekali tidak menjernihkan pikirannya. Sesekali matanya menerawang jauh pada pemandangan kota di jendela besar—gedung-gedung tinggi menjulang dan lalu-lalang kendaraan di jalan raya.
Hari ini seperti hari-hari biasanya. Kris tahu pikirannya bercabang dan menetap pada empat anak laki-lakinya sekaligus mendiang istrinya, Violetta Hwang. Kris terlalu tahu bahwa dia merindukan kehidupan lama yang dahulu baik-baik saja. Ia merindukan sosok Violet di sisinya, ia merindukan anak-anaknya yang bukan serupa musuh. Namun, lebih dari pada itu semua, Kris juga merindukan dirinya sendiri saat menjadi sang kepala keluarga yang mengayomi orang-orang tersayangnya.
Mendadak saja atensinya tersedot pada bingkai foto disana—ada sosok wanita cantik dan pria berwajah dingin. Semu bagai bayang. Ya, itu proyeksi seorang Wu Yifan dan Violetta Hwang.
"Violetta, apa kabarmu, hm? Disana pasti jauh lebih menyenangkan," Kris mengelus senyum manis istrinya didalam foto tersebut. "Disini aku terlihat konyol, disini aku menjumpai anak-anakku yang sudah seperti iblis," Ia terbahak sedetik, lalu melanjutkan dengan suara setengah parau, "Apa kau masih ingat saat kita saling memeluk di bawah pohon Sakura? Apa kau masih ingat momen Chanyeol lahir, disusul Jongin, kemudian Baekhyun, dan terakhir, Kyungsoo. Terima kasih, Violetta, karenamu aku bisa hidup dengan anugerah hidup terbaikku,”
"Violetta, kau tahu kalau aku tidak sanggup, tapi kenapa kau tetap meninggalkanku sendirian? Apa kau ingin menghukumku?" Kris bisa melihat buku-buku jemarinya memutih saat ia menekan wajah dirinya sendiri dalam foto usang itu. “Jika aku bisa memutar waktu, aku—aku tidak akan mengecewakanmu,”
Kris mengesah saat sebulir air mata sudah membasahi pipinya. Ia buru-buru menghapusnya sebelum air mata lain menyusul lebih banyak.
Ya, terlambat. Karena sesal selalu menjumpai di bagian akhir. Sejak dulu, Kris tidak pernah benar-benar dekat, tidak pernah terjun langsung dan jarang bisa merangkul mereka setiap malam. Karena yang ada di rumah selalu sesosok Ibu, tanpa sefigur Ayah; yang hanya bisa bekerja setiap hari tanpa peduli hari libur. Bilang Kris melupakan istri dan anak-anak, tapi ia menekankan bahwa ini demi keluarganya. Sekarang, ia tempuh akibatnya. Tentu anak-anak merasa ketidakadilan sedang mempermainkan takdir—sementara orang yang mereka sayang justru pergi, mengapa orang yang seharusnya dekat malah terasa asing—adalah tentang Kris sendiri.
"Sejak dulu, aku sudah keliru. Aku mencintaimu telah keliru, aku memiliki anak-anak bersamamu adalah keliru—karena aku orang yang keliru, Violet."
Prak.
Kris membalik bingkai foto itu, menutup kiasan yang muncul saat ia menatap wajah istrinya. Ia tak kuasa, ia tak mampu. Beberapa kali ia menarik nafas dan membuangnya tak serantan. Telungkupan tangan yang membenamkan kepala pun tak memberi pengaruh banyak. Ia sibuk—ia ingin meninggalkan semuanya. Termasuk perusahaannya, lahan uanganya. Nyata, ia tak bisa. Ia hidup dari sini; demi empat remaja laki-laki yang benar-benar bisa membuatnya gila.
Lalu, Kris pikir berjalan-jalan sebentar tidak ada salahnya. Ia butuh ketenangan, relaksasi otak maupun hati. Maka, segala dokumen ia serahkan pada sekretarisnya dan tentang meeting atau penandatanganan—ia ijin meliburkan diri.
Kris tidak ingin mengendarai Mercedesnya. Jadi Kris lebih memilih untuk menikmati trotoar dengan kaki-kakinya. Entah mengapa, langkah ini membawanya menuju pusat perbelanjaan. Sudah sangat lama ia tak kemari, terhitung sejak setahun lalu atau bahkan sejak ia muda dahulu. Ia terlalu sibuk dan benar-benar sengaja menamatkan gelar workaholic pada dirinya. Kini saat ia menghirup aroma orang-orang yang memadu kesenangan, Kris pun terbawa suasana. Ia ingin membeli cinderamata—sekedar pemberian untuk monster-monster ciliknya.
"Chanyeol—ah, dia pasti suka ransel ini." Kris memilih salah satu backpack hitam di deretan tas-tas yang berjajar menggantung.
"Jongin—uh, dia tidak akan menolak headphone ini, kan? Yap. " Kris juga mengambil headphone sewarna darah itu agar masuk ke kantong belanjanya.
Ia tak peduli harga; limit kartu kreditnya berdigit tanpa jeda.
"Baekhyun—karena dia suka baseball, jaket ini sepertinya tidak terlalu buruk. Hm." Kris meraih jaket cokelat bernomor punggung 04 itu agar bergabung dengan barang-barang lainnya.
"Kyungsoo—dia tidak terlalu menonjolkan kesukaannya. Tapi, aku yakin dia suka sepatu kets seperti ini." Kris menggapai sepasang sepatu air-run sewarna air laut dari rak paling tinggi dari sekian sepatu-sepatu lain.
Sesegera itu ia membawa keempat barang mahal tersebut ke meja kasir. Seraya mengantri ia tak berhenti mengedarkan pandang. Kebanyakan pengunjung datang kemari bersama keluarganya, mencangkup Ayah, Ibu dan anak-anak; harmonis.
Apa dahulu keluarganya seperti itu?
"Selamat siang, Sir. Biar saya hitung total belanjaan Anda." Saat wanita penjaga kasir didepannya mengamati tuksedo dan wajah Kris—ia sempat tersipu. Memang seberpengaruh itu pesona Wu Yifan. Jadi, Kris tidak ingin lama-lama menjadi pusat perhatian sehingga ia buru-buru mengangguk dan membiarkan belanjaannya di cek satu persatu. “Totalnya satu juta dua ratus ribu Won, Sir.”
Ketika Kris menyerahkan kartu debitnya, si wanita kasir segera memproses kartu tersebut sehingga transaksi ini dapat diselesaikan.