Chanyeol sedang menunggu Baekhyun keluar dari gedung bimbingan belajarnya. Ini sudah jam sembilan malam dan adiknya itu benar-benar otak baja. Yah, memang diantara mereka berempat hanya Chanyeol dan Baekhyun yang memiliki kemampuan otak diatas rata-rata, meski Jongin dan Kyungsoo memiliki alasan sendiri mengapa mereka sulit menyerap pelajaran.
“Ya! Hyung!”
Chanyeol menengok menuju balik punggungnya dan ia bisa menemukan remaja laki-laki berseragam sedang berlari menuju dirinya.
“Jangan lari-lari, Baek-ie.” Chanyeol lalu membawakan tas Baekhyun, ia tahu adiknya ini membawa hampir seluruh buku di perpustakaan. Ya, idealnya seperti itu untuk mengumpamakan si kutu buku. Tapi, mata Baekhyun tetap normal, tidak minus seperti Chanyeol yang masih saja bandel tidak memakai kacamatanya. “Kau bisa sakit, tahu.”
Baekhyun menangkap kepalan tangan Chanyeol yang hendak menjitak kepalanya, “Aku bukan Kyungsoo, Hyung.”
Keduanya sudah berada di mobil Audi milik Chanyeol, mobil ini adalah hadiah ulang tahun Chanyeol ke duapuluh satu tahun, beberapa bulan yang lalu.
“Apa Jongin Hyung sudah pulang?”
Chanyeol mengedikkan bahu, “Selesai dari kampus aku langsung menjemputmu kesini. Aku belum pulang sejak pagi tadi.” Ia lalu menyalakan mesin dan menyetir dalam lelah. “Baek-a, tidurlah. Nanti kalau sudah sampai biar Hyung bangunkan,”
“Aniyo, aku tidak mengantuk, Hyung.” Tapi, setelah itu ia malah menguap dan Chanyeol tidak bisa menahan kekehannya. “Maksudku, aku sedikit mengantuk, tapi aku masih bisa menemanimu menyetir, kok.”
“Aku tidak butuh ditemani, Baekhyun-ie. Tidurlah, Hyung tahu kau capek belajar.” Chanyeol pun memaksa, karena bagaimana pun ia bisa melihat kantung mata yang tercipta dibawah mata sipit adiknya. “Oh ya, di rumah ada makanan tidak, ya?”
“Mollayo, Hyung.” balas Baekhyun, sekenanya. “Kyungsoo biasanya memasak, kan?”
“Kau yakin? Hari ini jadwal Kyungsoo ke Dokter, apa dia sudah kesana, ya?”
Mereka jadi sama-sama melempar pertanyaan dan tidak tahu siapa yang akan menjawabnya. Chanyeol melirik Baekhyun, ia bisa melihat gurat lelah di wajah itu, begitu pun dirinya. Ia sama dengan Baekhyun, sama-sama belajar untuk mengisi kekosongan hati mereka. Namun, jika memikirkan tentang si bungsu, rasanya akan sangat berbeda. Kyungsoo ingin melakukan banyak hal, tapi kondisi tubuhnya selalu menolak itu. Apalagi Chanyeol disini sebagai si sulung, kakak pertama yang dituakan, sungguh ini seolah beban berat baginya karena ketiga adiknya ini jelas mengandalkan dirinya.
Lama tercenung di pikirannya, Chanyeol bahkan tersadar karena suara dengkuran halus di sebelahnya.
Baekhyun sudah pulas tertidur.
-ooo-
“Appa belum pulang?”
[“Nde, sebentar lagi, Kyung-a. Ini tinggal sedikit.”]
“Baiklah, Kyungsoo tunggu, ya.”
[“Kalau Kyungsoo mengantuk, tidur saja. Ingat, jangan tidur terlalu malam. Itu buruk bag—“]
“—arrayo, Kyungsoo tahu, Appa.”
Setelah itu sambungan di putus sepihak oleh Kyungsoo. Ia benci dengan setiap orang di rumah ini yang selalu memusingkan kesehatannya, meskipun hal itu memang tidak seharusnya diremehkan siapapun. Di rumah ini, Kyungsoo tidak yakin bisa menyebut tempat ini sebagai rumahnya. Apalagi ketika semua kakak-kakaknya berhenti bicara dengan Ayah mereka, Kyungsoo malah ingin terus-menerus mendekatkan diri pada Ayahnya. Itu hal yang cukup menyenangkan bagi Kris dan bagi Kyungsoo. Maksud Kyungsoo, memang ia tidak bisa memilih diantara Ayah atau kakak-kakaknya, tapi mereka ini keluarga yang hidup serumah. Bagaimana bisa Kyungsoo membiarkan kebencian terjalin dan merenggangkan hubungan mereka?
Setidaknya, Kyungsoo akan mencari cara untuk memperbaiki ini.
“Kyung-a,” Kyungsoo segera berjingkat kaget dari tempat tidurnya saat Jongin muncul di ambang pintu. “Whoa, santai saja. Kau sampai segitunya,”
Kyungsoo sigap mengukir senyum samar, “Ada apa, Hyung?”
“Kenapa belum tidur?” Jongin masuk dan duduk sejajar dengan Kyungsoo di ranjangnya, “Ini sudah jam sepuluh, nanti kau sakit. Kan sudah SMA, pasti banyak pelajaran yang susah dan itu akan menyulitkan—”
“Aku tidak akan sakit jika hanya tidur tengah malam, Hyung.” Jongin cukup terkejut dengan reaksi yang diberikan Kyungsoo, agak tidak terima. Tapi, Jongin ingin menepis bahwa Kyungsoo tidak mungkin belum memaafkannya atau dia tidak akan berubah hanya karena adu mulut mereka kemarin malam. “Aku juga bisa mengatasi pelajaran-pelajaran anak kelas sepuluh SMA, kok, Hyung. Tidak perlu khawatir,”
Jongin membasahi bibirnya, terlihat bingung memulai obrolan, ini terasa canggung baginya.
“Kalau begitu, harusnya kau bisa tidur sekarang, kan?”
“Mm. Aku masih harus menunggu—” Kyungsoo tidak mungkin mengatakan kalau ia sedang menunggu Ayahnya. Jadi, ia meralatnya dengan, “—menunggu Baekhyun Hyung. Aku tidak bisa tidur kalau sendirian,”
Jongin tidak percaya itu. Kyungsoo bukanlah tipikal anak manja dan menunggu Baekhyun baru bisa tidur, sungguh berlebihan. Demi Tuhan, Kyungsoo sudah berumur enambelas tahun dan Jongin cukup tahu seberapa besar pengaruh teman-temannya di sekolah. Anak-anak jaman sekarang pasti suka merendahkan si lemah dan berlagak menjadi paling kuat. Terlebih, Jongin tahu Kyungsoo tidak bisa mengikuti pelajaran olahraga, ia juga tahu Kyungsoo tidak bisa makan di kantin sekolah, dan semua itu pasti membuatnya frustasi diperlakukan seolah anak kecil. Ada banyak faktor yang jelas-jelas bisa menjadi beban pikiran adiknya ini dan Jongin tidak bisa tidak memberi atensi penuh atas hal itu.
“Hyung?”
“Kyung-a, tidak ada yang membullymu di sekolah, kan? Baekhyun selalu menjagamu setiap saat, kan? Jaehyun dan Haechan juga masih jadi temanmu dan tidak akan mengkhianati—”
“—Hyung,” Kyungsoo mengesah, jengah. “Tidak apa-apa, aku baik-baik saja. Di sekolah tidak ada yang menyakiti atau melukaiku, Baekhyun menjagaku dengan selalu datang ke kelasku setiap istirahat, dan tentu saja aku masih berteman baik dengan Jaehyun dan Haechan, mereka juga tidak akan sekeji itu berbalik membenciku,”
Harusnya Jongin bisa tenang. Tapi, penjelasan Kyungsoo barusan terdengar seperti dibuat-buat.
“Oh,” Jongin terperanjat saat tangan Kyungsoo membayang di penglihatannya, “Baguslah. Kalau sampai ada yang berani mencelakaimu, adukan pada Hyung, ya? Jangan takut.”
“Arrasseo, Hyung.” Kyungsoo tersenyum super lebar sekarang, hatinya menghangat.
“Kalau Hyung boleh tanya lagi, apa sekiranya belakangan ini jantungmu nyeri?” Jongin berhati-hati dengan kalimatnya, ia menata setiap kata sehingga tidak menyinggung Kyungsoo. “Nafasmu masih sering sesak?”
Riwayat Kyungsoo sebagai pengidap kebocoran jantung membuat siapapun yang mengetahuinya takut jika sewaktu-waktu Kyungsoo berhenti bernafas. Jadi, wajar jika mereka semua mengkhawatirkan Kyungsoo dan melarangnya melewati batas anjuran Dokter apapun; seperti soal pantangan makanan, tidak boleh banyak beraktifitas, dan tidak boleh membebani pikirannya. Meski hal itu sangat membatasi Kyungsoo, bukankah lebih baik dari pada kehilangan dirinya?
Kyungsoo menggeleng, “Aku tidak mau membahas itu, Hyung.”
“Okay.” Jongin cepat-cepat mengalah, “Uhm, PRmu sudah selesai?”
Kyungsoo menggeleng lagi, “Aku tidak bisa mengerjakannya, Hyung.”
Jongin tidak perlu mengernyit heran untuk tanggapan Kyungsoo barusan, “PR apa? Bahasa Inggris lagi?” Jadi, Jongin bangkit berdiri dan berjalan menuju meja belajar Kyungsoo. “Ini, Kyung-a?” Ia mengacungkan buku tulis Kyungsoo.
Kyungsoo duduk dan mengangguk kecil, antara merasa malu dan bodoh. Malu karena ia masih saja tidak bisa mengerjakan PRnya sendiri dan bodoh karena ia masih saja meminta bantuan secara tersirat seperti ini.
“Kalau tidak bisa, kenapa tidak minta tolong? Hyung kan sejak siang di rumah, Kyung-a. Oh ya, tidak masalah kalau kau tidak bisa. Itu pasti karena kau banyak absen, jadi—”
“—Hyung,” Kyungsoo menyetop, “Aku tidak mau membahas itu,”
Jongin jadi menelan ludahnya, “Baiklah. Biar Hyung kerjakan, ya. Kau tidur saja. Besok kan sekolah.” Ia lalu mengambil pena dan membaca-baca sebentar soal-soal disana. Tapi, Jongin masih merasakan tatapan lain itu terus memandanginya, “Ada apa lagi, Kyungsoo-ya?”
“Memang Hyung bisa?” Jongin memicing, “Kau baru saja merendahkanku?”
“A—ah, bukan.” Kyungsoo seolah baru sadar ia telah salah bicara, jadi ia menutupinya dengan gelak tawa. “Mian, Hyung. Biasanya kan, Baekhyun Hyung yang menyelesaikan PRku.”
Jongin hanya bisa menghela nafas, berat.
-ooo-
Kris tidak bisa menepati janjinya. Ternyata ia pulang terlalu malam sampai-sampai Kyungsoo sudah tertidur. Kris masuk ke kamar Baekhyun dan Kyungsoo, lampu tidur yang meremang itu sedikit membuat matanya tidak jelas memandang dua anak laki-lakinya. Ia lalu mengelus rambut Baekhyun dan mengusap kepala Kyungsoo secara bergantian.
Namun, di hari ini seperti ada yang di lupakannya.
Sesaat setelah Kris berbalik, ia menemukan Chanyeol sedang menunggunya diluar kamar. Begitu Kris keluar, Chanyeol sudah bersedekap sambil menghembuskan nafas keras-keras.
“Kau belum tidur, Chanyeol-a?”
“Appa lupa, ya?”