This is Home!

pinklabel
Chapter #6

Chapter Six

Selamat pagi, Chagi-ya.

Jongin tersenyum sumringah ketika pesan singkat itu membangunkan lelapnya. Ia memandang sejenak menuju jendela besar disamping tempat tidurnya, matahari pagi ternyata sudah menyusup melalui celah-celah lapisan kaca itu. Jongin lalu mengetikkan beberapa huruf di layar ponselnya dengan perasaan senang bukan main.

Good morning to you, Krystal-ah. Bagaimana tidurmu semalam?

Sent.

Setelah itu, Jongin memutuskan untuk segera beranjak dari rebahannya dan saat akan mengambil handuk di lemari, tiba-tiba saja pintu kamarnya menjeblak lebar. Chanyeol—kakaknya ada disana dengan cengiran luar biasa memuakkan.

"Ya! Kenapa tidak mengetuk dulu, sih, Hyung? Dasar,"

Biarpun Jongin mengomel seperti itu, Chanyeol tetap tak peduli. "Oh ya, hari ini kau ada kuliah?"

"Wae? Kau mau mengajakku jalan-jalan?"

Chanyeol tidak lagi berdiri diambang pintu, toh, adiknya ini tidak akan mempersilahkannya masuk, jadi, ia berinisiatif untuk duduk diranjang sana. "Hari ini aku libur, sih. Tapi, Baekhyun dan Kyungsoo sekolah, kau juga—"

"—aku tidak ada kuliah hari ini." Jongin menyambar cepat, tapi, memorinya melayang pada janjinya semalam bahwa ia akan pergi makan siang dengan Krystal siang ini. "Oh, tapi, aku ada rapat klub menari," Seketika itu, Jongin memustuskan untuk berbohong. Ia menggaruk kikuk belakang kepalanya sambil tersenyum meminta pengertian Chanyeol. "Mian, Hyung. Ah, tapi, bukankah hari ini Appa mengajakmu ke kantor untuk belajar bisnis?"

Chanyeol mengedikkan bahu, "Kau pikir aku tertarik?"

Jongin berpaling menghadap lemarinya lagi sambil berpikir, benar juga—mana mungkin Chanyeol tertarik dengan hal itu sementara jurusan kuliah yang ia ambil saat ini sama sekali bukan pilihannya.

"Oi!"

Tahu-tahu saja, disela keheningan itu, Baekhyun muncul ditengah keduanya.

"Hyung, siapa yang akan mengantarku dan Kyungsoo hari ini?" Baekhyun melempar tatapan penasaran pada Chanyeol dan Jongin. Tapi, kedua kakak laki-lakinya itu malah balik saling melempar tatapan tak mau terlibat. "Ya! Kalau tidak cepat-cepat, kami bisa terlambat!"

Baekhyun berteriak sambil bersedekap kesal.

"Bukannya Appa yang biasa mengantar kalian?" tanya Chanyeol, sanksi.

"Appa sudah berangkat bahkan sebelum Kyungsoo menyelesaikan masakannya,"

"Kyungsoo memasak lagi? Ya! Anak itu bebal sekali. 'Kan ada Bibi Han," Jongin menyerobot seperti biasa. "Oh, ya, Samcheon juga biasanya mengantar kalian, kan? Kenapa kau jadi memusingkannya begini?"

Baekhyun mencebik, "Yah, baiklah. Bilang saja kalau tidak satu pun dari kalian yang mau mengantar kami."

Namun, tak berapa lama, Chanyeol dan Jongin sama-sama terbahak, mereka kegelian.

"Ya! Kau seperti tidak mengenal kakak-kakakmu ini saja, Baek! Ahahaha!" Chanyeol masih tergelak, lalu melanjutkan sambil menahan tawanya, "Kau tahu sendiri kalau apapun kami lakukan untukmu dan Kyungsoo, apalagi kita juga bukannya tidak pernah-tidak pernah amat mengantar kalian—hei, aku cukup sering, ya, mengantar-jemput kalian, terutama kau, Wu Baekhyun."

Jongin mengerti maksud lirikan Chanyeol padanya, "Ya—uh, bukan hanya Chanyeol Hyung saja, Baekkie. Kau bahkan tidak bisa menghitung berapa kali aku mengantarmu, kan?"

"Mana ada?" Baekhyun mendecih, "Yah, oke. Kalau Chanyeol Hyung, sih, masih sering menjemputku di tempat les. Tapi, Jongin Hyung?"

"Ya, 'kan?" Chanyeol merasa bangga dengan dirinya sendiri. "Berarti hari ini giliran Jongin—atau Samcheon."

"Tempo hari itu, aku mengantarmu ke sekolah, Baek." Jongin masih saja berusaha berkelit, "Masa kau lupa?"

Baekhyun tidak berharap banyak setelah ini. Pasti, ia dan Kyungsoo akan berakhir di Mercedes hitam bersama Han Jin Il—supir pribadi keluarga Wu—daripada mobil mewah milik kedua kakaknya ini.

"Terserah!"

Begitu Baekhyun berbalik memunggungi kakak-kakaknya, ia bisa mendengar gelak tawa itu lagi.

"Arrasseo, Arrasseo, Baek. Aku kan hanya bercanda," Itu suara kakak keduanya, Wu Jongin yang memang sangat menyebalkan dimata Baekhyun. "Aku yang akan mengantar kalian,"

Deklarasi itu membuat Baekhyun menyunggingkan senyumnya, ia menang.

-ooo-

"Uri-Kyungsoooo!"

Itu teriakan Baekhyun dan baik Kyungsoo maupun teman-teman sekelasnya sudah sangat hafal bahwa sebentar lagi Wu Baekhyun yang terkenal pintar itu akan memeluk Kyungsoo. Selalu di jam istirahat pertama, mereka melakukannya didalam kelas yang disaksikan banyak pasang mata. Baekhyun bersyukur Kyungsoo tak malu akan hal itu.

"Kau bekal apa hari ini?" Baekhyun lalu duduk dibangku teman Kyungsoo yang ada didepan meja milik adiknya. "Harusnya, hari ini kau tidak usah sekolah dulu. Kau baru saja keluar dari rumah sakit, tahu."

Kyungsoo hanya mengangguk sekali sambil membuka kotak bekalnya, "Hyung mau?"

Baekhyun mengintip sedikit dan mendapati roti isi disana, lalu menggeleng, "Hyung akan makan di kantin bersama yang lain. Kau tidak mau makan disana?"

Kyungsoo mengunyah gigitan pertamanya tanpa memandang Baekhyun, "Hyung saja."

"Dasar," Kemudian Baekhyun berdiri dan mengusak rambut Kyungsoo sebentar, "Jangan lupa minum obatmu setelah ini, ya. Hyung pergi dulu. Okay?"

"Neee," seru Kyungsoo, mengantar kepergian Baekhyun dari kelasnya.

Kyungsoo seolah tidak memedulikan apapun saat menikmati makanannya. Ia tak peduli dengan seisi kelas yang selalu memperhatikan interaksinya dengan Baekhyun, pun ia juga tak peduli dengan bisikan-bisikan tentang hal yang sama—yang jelas didengar telinganya. Namun, Kyungsoo lagi-lagi perlu bersyukur, teman-temannya tak lantas menjauhinya sedemikian rupa, mereka juga tidak melakukan kekerasan apapun padanya.

Tapi, ia tidak tahu. Mereka tidak melakukan itu semua karena pengaruh Baekhyun di sekolah ini atau karena memang tidak mau dianggap kriminal kalau sampai membuat jantungnya berhenti berdetak tiba-tiba.

Masa bodoh. Kyungsoo enggan memikirkan hal payah semacam itu.

"Kyungsoo-ya," Seketika itu, Kyungsoo mendongak seraya mengelap sisa-sisa makanan dibibirnya. Ada Yuqi disana. Yuqi, teman sekelas Kyungsoo yang selalu dibilang memiliki wajah imut tak ada habisnya. "Ini catatanku. Kau pasti sudah ketinggalan banyak pelajaran."

Baru Kyungsoo sadari bahwa suasana kelasnya hanya menyisakan ia dan Yuqi.

"Kau memberikannya cuma-cuma?"

Yuqi mengedikkan bahu, lalu meninggalkan buku catatan sewarna bunga matahari itu di meja Kyungsoo. Ketika Yuqi selesai melempar senyum penuh arti itu, ia beberapa kali mengetukkan punggung jarinya disana, diatas bukunya sendiri.

"Pastikan kau cepat menyalinnya dan mengembalikannya padaku. Arra?"

Setelah itu, Yuqi malah melenggang pergi menuju pintu kelas dan meninggalkan Kyungsoo dalam kebingungan.

Biasanya Kyungsoo akan meminjam catatan Jaehyun atau Haechan—jika sudah terdesak, Kyungsoo akan menyerahkan semua pelajarannya pada Baekhyun. Tidak ada satu pun yang secara ajaib meminjamkan catatan mereka seperti yang dilakukan Yuqi barusan. Sama sekali. Kecuali jika Kyungsoo memang meminta.

Masalahnya, Kyungsoo masih tidak bisa berpikir jernih sekarang. Mana mungkin sesorang tiba-tiba berbuat tanpa diminta—pasti ada inginnya, kan?

Tidak, bukan. Kyungsoo menggeleng sambil mengusir pikiran jahatnya.

Acara makan siangnya sudah selesai dan kini ia harus meminum pil-pil pahit itu untuk kesekian kali.

Entah sampai kapan.

Mereka pikir, obat-obatan ini bisa menyembuhkannya. Namun, pada kenyataannya, obat ini terasa seperti belati panas yang membunuhnya secara perlahan.

Obat ini hanya mengundur waktu matinya.

Kyungsoo pikir, itu cara kerja obat ini.

-ooo-

"Ini dokumen yang meminta persetujuan Anda, Sajang-nim."

Kris menghentikan pandangannya dilayar komputer dan menerima sodoran dokumen dari sekretaris mudanya, Yoona. Setelah ia membaca sebentar, Kris menandatangani satu persatu dokumen tersebut dan mengembalikannya pada Yoona.

"Oh ya, malam nanti, kita harus membahas proyek baru bersama klien, mereka yang dari bursa saham juga akan hadir. Jadi, tolong siapkan semuanya."

Yoona mematuhi perintah Kris dengan satu anggukan, lalu pamit undur diri dari ruangan direkturnya ini.

Kris sempat terpekur sejenak. Lagi-lagi ia mengadakan meeting larut malam. Tapi, sungguh, ia tidak bisa menghindarinya. Lagi-lagi ia mengingkari janjinya pada anak-anaknya, bahwa ia akan berubah dan mengurangi intensitas kesibukannya. Tapi, nihil.

Ya, Kris memang gila kerja. Salah satu kesalahan yang membuat Kris dibenci anak-anaknya hingga mereka bertindak kurang ajar adalah itu. Namun, ada beberapa alasan lain mengapa Kris tidak bisa tidak fokus pada pekerjaannya, bahkan sampai melupakan semua urusan keluarga dan rumahnya. Alasan yang paling mendominasi adalah ini sebagai bentuk tebusan atas apa yang pernah ia lakukan, ia hanya ingin anak-anaknya nanti hidup bahagia tanpa kekurangan materi sedikitpun, juga karena ia—enggan teringat dan terlarut dalam sedih itu, sedih yang memusatkan dirinya pada mendiang sang istri.

Meski ia tahu betul, bahwa caranya membahagiakan mereka berempat ini salah. Sangat salah.

Kris memang tidak bisa berbuat banyak, empat lawan satu. Keempat anaknya membangkang, meski Kyungsoo terkadang hanya mengikuti ombak kakak-kakaknya saja. Pada dasarnya, Kyungsoo selalu menganggapnya sebagai seorang Ayah, tapi, ketika ombak itu seketika memercik api dibatin Kyungsoo, anak itu bisa tiba-tiba merasa marah—seperti kekesalan yang ia luapkan saat di kafe, terakhir kali mereka berbicara berdua.

Tapi, tetap, Kris tahu mata bulat anak bungsunya itu tak bisa bohong. Ada segurat dilemma jauh di lubuk hatinya sana. Kris yakin, Kyungsoo-lah yang paling-paling menyayanginya.

Bukan. Ia bukan mengunggulkan Kyungsoo diantara anak-anaknya yang lain dan bukan berarti bahwa tiga anaknya yang lain tidak menyayanginya. Terlepas dari lemahnya fisik Kyungsoo, Kris hanya bisa berharap banyak pada kebesaran hati si bungsu yang menurun dari Violet, istrinya.

Kris berusaha adil dan memang empat remaja laki-lakinya itu sangat unik. Tidak bisa dipungkiri, Kris memang harus lebih sabar dalam menghadapi hari-hari berat selanjutnya.

Kris terlonjak ketika ponselnya berdering. Objek dalam pikirannya berumur panjang rupanya.

"Ya, Kyungsoo?"

["Appa, nanti pulang jam berapa?"]

Hanya Kyungsoo yang selalu menanyakan ini.

"Ah, maafkan Appa sekali lagi, ya. Appa ada rapat penting malam ini."

Kyungsoo mengesah kecewa dan itu benar-benar membuat Kris terjebak dalam pergolakan batin.

["Baiklah, Appa. Appa jangan terlalu keras bekerja, nanti Appa bisa sakit."] Karena suara-suara ramai dilator belakang sambungan mereka, Kris jadi tidak seberapa jelas mendengar Kyungsoo. Jadi, Kyungsoo masih di sekolah. ["Appa ingat, 'kan? Kalau besok ulang tahun Chanyeol Hyung?"]

Kris menepuk jidatnya, ia belum menyiapkan apa-apa—dan untungnya, Kyungsoo mengingatkan akan hal itu.

"Tentu saja Appa tidak lupa. Besok malam, kita makan di restoran, ya." Kris berharap pada dirinya sendiri, semoga tidak ada hal yang menghalanginya memupuk usahanya sebagai seorang Ayah yang baik. "Appa janji,"

Kris merutuki dirinya. Ia sendiri tak yakin bisa memenuhi janji itu atau tidak, tapi, mulut tidak tahu dirinya malah mengatakan kata terlarang yang paling dibenci anak-anaknya jika teringkari olehnya tersebut.

["Appa,"] Kyungsoo memanggil, Kris tidak menyahut sampai Kyungsoo kembali melanjutkan, ["Kami tidak terlalu membutuhkan uang-uang Appa. Toh, kami bisa mencari uang-uang itu sendiri saat kami dewasa nanti. Waktu itu jauh lebih berharga, Appa. Tidak. Aku tidak melarang Appa bekerja sekeras ini, itu semua memang demi kita. Tapi, saat Eomma masih hidup dan sampai kini sudah tiada—apa Appa akan tetap seperti ini? Bagaimana kalau nanti Appa lupa pada keluarga Appa?"]

Kris tercekat. Ia hanya tak menyangka Kyungsoo membicarakan hal semenohok ini lewat telepon.

Lihat selengkapnya