Hari semakin larut.
Tidak satu pun lampu di rumah mewah ini menyala. Tirai-tirai jendela tertutup rapat dan selimut-selimut sudah melingkupi diri masing-masing. Sayup-sayup hanya terdengar suara burung hantu, terlalu samar. Bias-bias cahaya rembulan juga memancar sedikit, meski tampak blur. Suasana malam memang selalu sesepi ini.
Semua anggota keluarga Wu juga sudah terlelap. Hanya ada dengkur halus sebatas nafas bertempo, serta geliatan-geliatan kecil untuk menyamankan posisi tidur mereka. Namun, sejak tadi Baekhyun bergerak gelisah. Ia rasa tidak ada gunanya memejamkan mata. Kesimpulannya, ia tidak bisa tidur.
Chanyeol sudah membayar waktu terjaganya kemarin malam dengan tidur lebih awal hari ini. Jadi, Baekhyun tidak mungkin memintanya untuk menemaninya lagi. Sementara Kyungsoo—yang tertidur diranjang sebelah—mustahil sekali jika Baekhyun membangunkannya hanya untuk menemaninya.
Ya, Baekhyun jelas tidak mau mengambil resiko. Ia terang saja tak mau disalahkan jika sampai membuat Kyungsoo masuk Rumah Sakit.
Mengenai Jongin, justru kakaknya itu yang ada dipikiran Baekhyun sekarang—yang membuatnya tak bisa tertidur ini.
Bagaimana bisa Baekhyun menyukai pacar kakaknya sendiri?
"Tapi, itu bukan sepenuhnya salahku," gumamnya, segera hilang tersapu angin malam.
Setidaknya, Baekhyun memang tidak tahu kalau Krystal adalah pacar kakaknya. Setidaknya, Baekhyun hanya mengagumi Krystal lewat tatapan dan belum berniat memilikinya.
Bagaimanapun, "Oke, kau bisa menghapus rasa suka ini, Baek. Kau bisa," Ia meyakinkan diri.
Baekhyun membalik posisi tubuhnya, semula memunggungi Kyungsoo, kini telentang dan menghadap langit-langit kamar—frustasi.
Ketika Baekhyun berniat untuk beranjak dari rebah dan menuju dapur untuk mengunyah keripik kentang, pintu kamarnya malah tiba-tiba terbuka sedikit demi sedikit. Baekhyun urung melakukan rencananya, hingga ia terpaksa pura-pura tidur. Sampai saat ini, sampai orang itu berjalan mendekat menuju ranjangnya—Baekhyun tidak tahu itu siapa.
"Yah, sudah tidur, ternyata." Jongin. Pemilik suara husky ini adalah kakak nomor duanya. Ini bukan suara baritone Chanyeol maupun suara lirih Kyungsoo. Jadi, tidak salah lagi, kalau sekarang Jongin lah yang mengelus keningnya. "Kenapa kau berkeringat sekali, uh?"
Baekhyun masih mengatupkan dua matanya, enggan tertangkap basah bahwa ia sebenarnya tidak tidur dan sedang berusaha menanti apa yang selanjutnya terjadi.
Deru nafas panas Jongin bisa Baekhyun rasakan begitu dekat, sampai-sampai membuatnya bertanya-tanya, sedang apa dia?
"Sepertinya, aku bukan kakak yang baik, ya." Ranjang Baekhyun berderit karena ada tambahan beban diatasnya, Jongin duduk disana. Baekhyun memang sangat risih sekarang, apalagi tatapan Jongin itu terasa seperti akan melubangi wajahnya. "Seharusnya aku tahu dari awal kalau kau menyukai orang yang sama denganku,"
Baekhyun tercekat. Ia tak habis pikir bagaimana Jongin bisa tahu atau apa semuanya terlihat begitu jelas?
"Maafkan aku, ya, Baek,"
Setelah kalimat itu, Jongin berdiri. Ia lalu membelai sebentar rambut Baekhyun, memberi pergerakan seminimal mungkin agar tak membangunkannya.
"Kau bisa memilikinya dan biar aku yang mundur."
Bisikan itu tanpa mengandung arogansi. Baekhyun tentu tidak bisa kegirangan dengan pernyataan barusan. Gila—kakaknya ini memang sudah gila. Bagaimana bisa ia berkata demikian?
Makan malam tadi memang berakhir seperti makan malam biasanya, sewajarnya. Tapi, Baekhyun memang menghindari tatapan Jongin padanya dan sebisa mungkin tidak menunjukkan tatapan senang bukan main saat Krystal balas menatapnya. Apakah terlalu kentara?
Baekhyun tidak bisa memberi kesimpulan apa-apa.
"Andwe," Hanya sebuah batin, Baekhyun ingin menyuarakan itu lebih dari apapun. Tapi, nyatanya, ia tetap bergeming.
Pada akhirnya, Baekhyun membiarkan Jongin keluar dari kamarnya. Begitu saja.
-ooo-
"Omong-omong, pacarmu itu lumayan cantik juga," Chanyeol berargumen sambil mengelap noda ramyeon yang menempel disudut bibirnya. "Aku biasanya tidak mudah memuji wanita. Tapi, jujur, pacarmu itu memang cantik, Jong-a,"
Jongin melirik Chanyeol, jengah. "Ya! Hyung—ah," Ia menyuarakan kekesalannya.
Chanyeol lalu memiringkan badannya agar menghadap pada Jongin. "Apa pacarmu itu punya teman yang juga sama cantiknya seperti dia?" Raut wajahnya kini berubah penasaran. "Adik tingkat itu biasanya masih polos-polos, tidak seperti angkatanku."
Jongin mendengus, "Eobseoyo," balas Jongin, setengah malas setengah malu. "Hyung, suaramu itu keras, tahu. Ini kantin kampus sedang ramai-ramainya. Kau mau dikenal sebagai Wu Chanyeol yang ternyata berniat jadi mucikari, ya?"
"Sialan!" Chanyeol meninju lengan Jongin, lalu, ia kembali ke posisi semula. Kini, sambil menyantap makan siangnya, ia bisa sepuas hati mengejek adiknya ini. "Tapi, aku cukup ingin tahu, kira-kira ada berapa mantanmu sebelum pacarmu yang ini?"
"Hyung," Jongin mengesah, untuk kesekian kali. "Namanya Krystal. Coba kau ingat-ingat. Krystal. Apa aku harus mengejanya?"
Chanyeol malah menyengir, "Oke. Krystal. Jadi, ada berapa hati perempuan yang berhasil kau curi sebelum Krystal-ssi?"
"Bukan urusanmu," Jongin bersedekap, ia sempat memandang Chanyeol sebentar sebelum kembali memandang mangkuk hitam itu, sama sekali belum berniat menyentuh bibimbap didepannya. "Lagi pula, Hyung, kau itu juga—uhuk—maaf, aku terpaksa bilang ini, kau itu sebenarnya lumayan menarik, loh."
"Jinjjaaa?" Lagi-lagi reaksi berlebihan ini. Chanyeol memekik dengan mata membelalak. Jongin sudah sangat hafal. "Astaga. Aku baru saja menyadarinya. Sepertinya aku harus mengumumkan ini pada semua orang dengan begitu akan ada banyak wanita yang mendekat padaku, lalu—"
"—Hyung, berhenti." Jongin melempar tatapan tajam kali ini. "Kau mau kucekik saat ini juga?"
Chanyeol mengembuskan nafas berat, "Kau tega,"
"Makanya, jangan jadi bocah. Kau itu pewaris Wu Corp. Mana ada pewaris dengan watak kekanakan seperti ini?"
Chanyeol seketika membeku, "Aku adalah seorang musisi dimasa depan,"
Selanjutnya, ekspresi Chanyeol berubah murung dan Jongin jadi merasa bersalah. "Ah, maafkan aku, Hyung,"
"Kau tidak salah," Kini Chanyeol memandang langit biru diatas kepalanya, menautkan jari-jarinya, dan meluruskan kakinya. Ia diam.
"Hyung, aku bisa membantumu supaya tidak menjadi hal yang tidak kau sukai itu,"
Pembicaraan mereka berubah serius, tapi, Chanyeol tak menyahut apapun.
"Hyung, sungguh, kau tidak harus melakukannya, kau bisa lari dari jeratan itu."
Chanyeol—menyeringai, "Ya, 'kan? Aku bisa?" Tapi, ia menggeleng pelan tanpa semangat setelahnya. "Tidak ada jalan keluar. Aku terjebak, Jongin. Jadi, tidak ada pilihan lain selain menerimanya. Ya, 'kan?"
Aura Chanyeol yang seperti ini adalah aura kakaknya yang sangat jarang Jongin temui. Putus asa, penuh ambiguitas, kehilangan hipokrit diri—ia hancur, hanya selama ini, ia menutupinya dengan tingkah konyol dan tawa kurang ajar yang tampak normal. Jongin hanya setahu itu, ia tahu seberapa besar beban sebagai anak sulung yang menjadi nahkoda kapal bagi adik-adiknya yang mana menjadi penumpang dikapal itu.
Miris.
"Mimpimu itu jangan dibiarkan saja, Hyung. Ayo, kutemani berlatih lagi. Ya?"
"Untuk apa?" Chanyeol melengos sedetik, "Untuk semakin membuatku terpuruk?"
"Ya, Hyung, jangan katakan hal bodoh semacam itu. Kau ini apa-apaan, sih,"
Jongin mencoba tertawa, sangat-sangat berharap bahwa Chanyeol akan mengikutinya. Tapi, nihil. Jongin rasa ia benar-benar sudah menghancurkan suasana, termasuk suasana hati kakaknya yang super-super ceria ini.
"Tapi, setidaknya," Chanyeol bersuara lagi, "Kau dan yang lain tidak perlu mengalami ini. Cukup aku saja yang harus menanggungnya." Jongin terkesiap, ia akan membuka mulut untuk menyanggah itu semua, tapi, Chanyeol sudah menduluinya. "Kau Jongin, setelah lulus dari sini, kau harus melanjutkan studimu ke jurusan seni—yang ada menarinya. Kau masih suka dance, 'kan?"
Jongin tidak bisa tidak mengangguk.
"Ya, benar. Kejar mimpimu itu sampai benar-benar ada digenggamanmu. Jangan biarkan itu lepas, jangan biarkan itu direbut orang lain. Itu milikmu,"
Baru kali ini, Jongin menemukan sisi positif Chanyeol.
"Ahahaha!" Jongin terpingkal, ia sedang berusaha mencairkan suasana sekarang. "Kau tidak pantas bersikap sebijak itu, Hyung. Serius,"
Chanyeol bukan tipe orang yang berlarut-larut terhadap sebuah masalah, jadi, ia cepat melupakan apapun konteksnya dan kini menyusul tawa Jongin.
"Aku akan debut jadi motivator," Chanyeol mengedip, "Tunggu, kau tunggu aku muncul di TV, ya."
Lalu, mereka tak bisa berhenti tertawa—tak peduli dengan tatapan aneh orang-orang.
-ooo-
"PR apa, Kyungsoo?"
Kris pulang dan hanya mendapati Kyungsoo sedang berkutat dengan buku-buku tebal dimeja belajarnya. Ia lalu mendekat dan berdiri disampingnya, berusaha membaca beberapa tulisan kecil disana, tapi itu termasuk sulit dilihat bagi mata senjanya.
"Baekhyun belum pulang?"
Kyungsoo mengangkat kepalanya dan ia langsung menemukan Ayahnya sedang melonggarkan dasi dengan tidak serantan—seakan benda itu telah mencekik Kris seharian ini.
"PR Kimia, Appa." Kyungsoo membalas senyum Kris, tulus. "Hari ini jadwal Baekhyun Hyung les di akademi. Dia akan pulang jam sembilan."
Informasi itu benar-benar asing ditelinga Kris. Ia amat sangat buta dengan semua kegiatan anak-anaknya. Bukan hanya untuk hari ini, tapi, untuk hari-hari yang sudah berlalu juga. Masa-masa kelam, masa-masa tenang, Kris tidak bisa menikmati itu bersama keluarganya. Dulu atau sekarang, sama saja.
Kyungsoo. Tahun depan ia sudah tujuhbelas tahun. Wajah lugu dan netra cokelat gelapnya, membuat Kris selalu teringat dengan Violetta. Kyungsoo bagai jelmaan istrinya dengan wujud seorang laki-laki.
Kris mendadak ingat dengan mimpinya. Mimpi tentang pesan tersirat Violet bahwa Kyungsoo adalah kunci harta karunnya.
"Kau bisa mengerjakannya? Mau Appa bantu?" Kris memperhatikan Kyungsoo kembali melanjutkan pekerjaannya, tapi, anak itu tidak semerta-merta mengabaikannya. Jadi, ia berpaling sejenak dan menjawab dengan satu gelengan. "Kenapa? Begini ini, Appa dulu pernah juara Olimpiade Sains, loh. Kimia itu termasuk Sains, 'kan?"
Kyungsoo mengerjap sebentar pada Kris sambil meletakkan pensilnya, "Appa benar-benar sejago itu?"
"Tentu saja!" Kris cukup senang, akhirnya ia berhasil menarik atensi Kyungsoo. "Sini, biar Appa lihat soal-soalnya,"
Kyungsoo terburu menyerahkan bukunya dan membiarkan Kris mencermati isinya. "Appa benar-benar bisa menyelesaikannya?"
Ketika Kyungsoo mempertanyakan kesombongannya barusan, Kris malah kepayahan dan meragu.
"Ini," Kris meneliti satu persatu sambil berdeham berkali-kali, "Soal jaman dulu dan jaman sekarang bedanya jauh sekali, ya. Di jaman Appa dulu, soal-soalnya tidak semengerikan ini, Kyungsoo-ya, di jaman Appa dulu, soal-soalnya juga bisa dikerjakan dengan sekali lihat."
"Makanya, Appa bisa menang Olimpiade Sains itu," Kyungsoo tidak kecewa, tapi ia malah tertawa pelan. "Coba kalau Appa ikut Olimpiade Sains ditahun ini,"
"Kau barusan mengejek Appa, ya? Whoa, ternyata diam-diam begini, sudah pintar meremehkan orangtua, hm?" Kris pura-pura tidak terima, lalu memeluk Kyungsoo sekilas sambil mengacak rambutnya. Ya, memang hanya dengan Kyungsoo, ia bisa merasa seperti seorang Ayah—seutuhnya. "Tapi, serius, ini soal Kimia untuk pelajar kelas satu SMA?"
Kyungsoo mengangguk, "Yap. Baekhyun Hyung bisa mengerjakan itu hanya dengan sekali lihat seperti yang Appa bilang tadi. Kalau sudah begitu, aku hanya akan melihatnya menghitung rumus dalam dua menit, dan voila, jawabannya sudah ketemu." Ia bercerita, penuh semangat. Segala cerita tentang kakak-kakaknya memang selalu Kyungsoo banggakan. "Tapi, aku tetap saja tidak mengerti apa-apa," Seketika itu, wajahnya mengeruh.
"Hei, hei," Kris memijit pelan bahu Kyungsoo, lalu memutar tubuh mungil si bungsu ini agar menghadap padanya. Ia mengangkat kepala yang tertunduk itu dengan tangannya, membiarkan tatapan mereka saling bertemu. "Lihat, Appa. Dengar, Appa. Semua anak itu punya kelebihan dan kekurangan masing-masing, Kyungsoo-ya. Coba kau perhatikan, Baekhyun memang pintar dibidang akademik, tapi, apa dia bisa memasak makanan seenak masakanmu?"
Kyungsoo menggembungkan pipinya, "Tapi, Kyungsoo juga ingin seperti Baekhyun Hyung, Appa. Di sekolah, Baekhyun selalu dikenal sebagai siswa populer karena sering juara kelas, tidak ada yang tidak kenal,"
"Jadi, kau mulai iri?"