This is Home!

pinklabel
Chapter #12

Chapter Twelve

Langit cerah sewarna air laut memayungi kepala Baekhyun. Ia duduk di tribun dekat lapangan sambil memandangi teman-temannya berlarian kesana kemari, dia sendiri sama sekali tidak berniat bergabung dengan mereka.

"Kemarin tidak masuk karena adikmu sakit lagi, ya?"

Baekhyun tidak perlu menoleh pada pemilik suara yang sudah duduk menyilangkan kaki disebelahnya. Tatapan Baekhyun hanya tetap tertuju pada bola yang ditendang anak-anak sebayanya itu.

"Kalau kita menjenguknya, apa boleh?" Yuta—teman sekelas Baekhyun—yang sejak tadi diabaikan, tak menyerah untuk mendapat balasan dari lawan bicaranya. "Aku akan mengajak Jeno juga,"

Satu detik, akhirnya Baekhyun menemukan wajah berkeringat Yuta disana. "Minggu depan sudah ujian praktek." ujarnya, pendek.

Yuta menghela nafas, "Menjenguk ke Rumah Sakit tidak sampai memakan waktu seminggu, apa salahnya?"

Baekhyun sempat melirik tepukan Yuta dibahunya, lalu memalingkan wajahnya lagi pada lapangan dan orang-orang disana.

"Bagaimana perasaanmu, kalau adikmu mengalami hal yang seperti adikku alami?"

Karena pertanyaan tiba-tiba itu, Yuta jadi meringkas sebentar wajah adik perempuannya yang masih duduk dibangku SMP. Selain itu, bagaimana pun, ia harus memilih kalimat yang tepat agar temannya ini tidak tersinggung. "Uh, sebagai seorang kakak, aku pasti selalu menemani adikku berjuang tanpa menunjukkan perasaanku sebenarnya." Jeda, "Maksudku, kalau dia melihat kita sesedih ini, apa dia tidak berpikir bahwa hidupnya hanya akan membebani—mu?"

Yuta sengaja membelokkan subjek dan Baekhyun secepat itu menegakkan badan.

"Yah," Baekhyun menundukkan kepalanya, ia bermain sebentar dengan tautan jemarinya. "Itu sulit. Setiap kali aku melihatnya kesakitan, aku sungguh ingin menggantikannya detik itu juga,"

"Waktu Yeri umur delapan tahun dulu, dia pernah demam." Yuta mulai bercerita dan itu jelas menarik atensi Baekhyun. "Orangtua kami bingung bukan main, karena ini pertama kalinya badan Yeri sepanas itu. Dia menggigil hebat dengan keringat mengucur deras. Kau tahu apa yang kulakukan saat melihat itu semua?"

Baekhyun buru-buru menggeleng, "Apa?"

"Aku menangis histeris, seolah-olah Yeri akan mati saat itu juga. Padahal, orangtuaku saja tidak sampai sebegitunya. Sungguh, aku pikir Yeri sedang dicabut nyawanya," Celotehan Yuta itu disambut tawa kecil oleh Baekhyun. "Tapi, setelah aku menyaksikan Yeri minum obat penurun panas dan keningnya dikompres air dingin, ia berangsur membaik. Setelah ia bisa bicara, dia bilang," Yuta bersiap menirukan suara dan gelagat adiknya, "Reaksi Oppa itu keterlaluan sekali, aku jadi berpikir kalau aku memang benar-benar akan mati."

Baekhyun menggigit bibir bawahnya sembari mencerna baik-baik maksud Yuta menceritakan itu semua.

"Jadi," Yuta memulai lagi, "Kalau kau terus-terusan terlihat sedih didepan Kyungsoo, dia bisa saja kehilangan semangatnya untuk terus menjalani hidup ini. Dengan melihatmu seperti itu, dia pasti punya pikiran, bagaimana jika aku memang benar-benar akan mati?"

Kalimat itu telak menghantam ulu hati Baekhyun.

-ooo-

"Aaa,"

Kyungsoo membuka mulutnya ketika suapan Jongin meminta akses. Setelah ia mengunyah makanan hambar itu, tenggorokannya yang kering malah kepayahan menelan. "Hyung, mau minum,"

"Oh, sebentar,"

Jongin buru-buru meraih segelas air hangat di nakas dan segera mengangsurkannya pada Kyungsoo. Sembari menunggu Kyungsoo menandaskan isi gelasnya, Jongin mengaduk isi mangkuk ditangannya.

"Hyung," Kyungsoo memberengut, "Kenapa dicampur? Aku 'kan sudah bilang tidak mau pakai sayurannya,"

Jongin terkikik, "Yah, ketahuan." Ia lantas mengambil alih gelas ditangan Kyungsoo dan mengembalikannya ke tempat semula. "Tapi, pihak Rumah Sakit sudah menyediakan makanan ini, berarti tidak boleh ada satu pun yang kau lewatkan, Kyung-a."

"Kenyang," Kyungsoo mengembangkan senyum, tapi Jongin malah menatapnya dengan tatapan menyelidik. "Aku serius, Hyung,"

"Baiklah," Jongin menyerah, ia lalu membereskan semua peralatan makan Kyungsoo sehingga adiknya itu bisa kembali tidur nyenyak. "Nanti siang aku ada kelas, kelas Chanyeol Hyung mungkin sudah selesai, jadi—"

"—Chanyeol Hyung yang akan menggantikan Hyung menjagaku? Uh, misal kelas Chanyeol Hyung belum selesai dan kelas Jongin Hyung sudah akan dimulai, aku tidak apa-apa sendirian. Appa juga katanya pulang sore, ada Baekhyun Hyung juga jam empat nanti. Ya, 'kan?"

Jongin mengerutkan kening sambil bersedekap, "Ya, seperti itu. Tapi, benar tidak apa-apa sendirian? Sebentar lagi tes ECG, 'kan?"

"Tidak apa-apa, Hyung. Tombol hitam juga dekat dengan posisiku, aku bisa memencetnya kapan saja." Kyungsoo menunjuk letak bundaran gelap disebelah kepalanya sambil menyandarkan punggung dikepala ranjang. "Ji Eun Nuna belum menjemput. Ayo, jalan-jalan sebentar, Hyung."

"Apa?" Jongin bukan sedang tiba-tiba tuli, ia hanya tak percaya Kyungsoo masih saja keras kepala. "Aniya,"

Kyungsoo memelas, wajah pucatnya meminta belas kasih. "Ayolah, Hyung. Pinjam kursi roda saja supaya aku tidak perlu jalan. Boleh, ya?"

Jongin menggeleng, tegas. "Tes ECG dulu, setelah itu kita jalan-jalan. Oh, tapi, minta ijin dulu boleh atau tidaknya,"

Kyungsoo urung memamerkan deretan gigi putihnya, ia meruncingkan bibir. "Kalau tidak boleh?"

"Ya, tidak boleh." Jongin memicingkan matanya, suara huskynya berubah lantang. "Kalau kau terus memaksa, bisa kujamin kau akan makin lama terkurung disini, Kyung-a."

Tidak ada pilihan lain selain menurut. Bagaimana pun, Kyungsoo enggan hari-harinya berakhir di ruangan penuh bau obat ini. Kyungsoo lantas beralih pada ponselnya, ada pesan dari Jaehyun disana. Setelah ia membacanya beberapa saat, Kyungsoo menemukan tatapan penuh penasaran dari Jongin.

"Pacarmu, ya?"

Kyungsoo menepis anggapan itu dengan senyum mengejek, "Jaehyun bilang, dia dan Haechan akan kesini sepulang sekolah, Hyung."

"Yah, aku sedang ada kelas,"

Kyungsoo menyatukan alis, "Memang ada hubungannya dengan Hyung?"

"Ahni," Jongin menyentuh tengkuknya, gamang. "Aku 'kan mau tanya, selama di sekolah, kau dekat dengan perempuan mana saja."

Kyungsoo memejam sebentar, lalu memutar bola matanya malas setelah itu. "Masih lama, aku tidak berniat pacaran, tahu. Pacaran itu pasti memakan biaya, beli ini beli itu, traktir ini traktir itu, apa serunya?"

Jongin tergelak sampai-sampai tak menyadari Ji Eun sudah bergabung dengan mereka.

"Kenapa dia sesenang ini?" Ji Eun menunjuk Jongin dengan dagunya.

Kyungsoo mengedikkan bahu, tapi Jongin segera menyambar, "Kyungsoo barusan bilang kalau pacaran itu tidak ada untungnya, Nuna. Hei, Kyung-a, itu hanya alasanmu karena tidak ada yang mau denganmu, 'kan?"

"Sembarangan," Kyungsoo memalingkan wajah, "Hyung berisik,"

Ji Eun ikut tertawa, tapi tatapannya terhenti pada pil-pil Kyungsoo di nakas. "Jongin-a, kau lupa meminumkan obat Kyungsoo, ya? Wah, pantas saja dia juga kesenangan,"

"Oh, benar." Jongin menepuk jidatnya sendiri, "Obat datang padamu, Kyung-a, kasihan obatnya masih utuh."

Kyungsoo tidak berkomentar lagi, ia menerima sodoran Jongin dan segera melempar tiga pil putih itu ke mulutnya, lalu mendorong mereka menggunakan segelas air, terakhir, menelannya dengan satu teguk.

"Aaa, aku tidak menyembunyikan obatnya, Nuna," Kyungsoo membuka mulutnya, mengangkat lidahnya, dan menyisir gigi-giginya sambil menunjukkan itu semua pada Ji Eun. "Ayo, tes ECG. Daripada disini, Jongin Hyung menyebalkan,"

Ji Eun pun mengangguk sekali, "Semangat sekali, Kyung-a,"

"Setelah tes, boleh jalan-jalan?"

Jongin mendengus, "Masih saja keras kepala,"

"Boleh, ya, Nuna?"

Karena Jongin merasa tidak akan dihiraukan, ia hanya akan menyaksikan respon Ji Eun.

"Tapi, tidak boleh sendirian dan jangan jauh-jauh dari kamar,"

Jongin mendelik ketika Kyungsoo memekik girang, "Ha! Apa kubilang, Hyung? Ji Eun Nuna saja membolehkan, tapi Hyung seenaknya melarang. Toh, aku bukan penderita kanker."

"Ya sudah, ayo, kita tes dulu sebentar, ya."

Ji Eun lantas membantu Kyungsoo duduk dan keduanya berjalan memunggungi Jongin sampai diluar kamar.

"Aku tidak perlu ikut?" tanya Jongin.

"Tesnya tidak lama, Jongin-a," Ji Eun menerangkan, "Setelah tes, kau bisa temani Kyungsoo jalan-jalan,"

"Arasseo, Nuna." balas Jongin.

Sebelum Jongin menutup pintu kamar, Kyungsoo segera menahannya dengan satu tangan dan satu senyum penuh arti. "Hyung, jangan lupa nanti temani aku jalan-jalan, jangan kemana-mana, ya." Jongin tahu, nada Kyungsoo barusan telak menyindirnya. Sehingga ia hanya mampu menanggapinya dengan satu anggukan lemah, kalah. "Oke. Aku pergi, ya. Dah!"

Jongin lantas mengantar kepergian Ji Eun dan Kyungsoo sampai dua orang itu tak terlihat lagi dijarak pandangnya. Kemudian, ada sisipan rinai air mata yang tak Jongin sadari ketika melihat punggung sempit Kyungsoo bergerak makin jauh dan jauh dari jangkauannya.

Sejauh ini Jongin hanya percaya bahwa nasib buruk pada keluarganya tidak akan terulang dua kali.

-ooo-

Chanyeol segera memacu langkah melewati segerumbulan mahasiswa yang menghalangi jalannya. Lorong kampus seusai kelas bubar memang saat-saat ramai yang sangat sulit dibiak. Sedangkan, Jongin sudah mengiriminya pesan bahwa setengah jam lagi kelasnya akan dimulai, jadi Chanyeol tidak bisa mengulur waktu dan membuat adiknya terlambat.

"Ya, Chanyeol,"

Sialnya, Chanyeol malah berpapasan dengan Chae Young.

"Aku sedang terburu-buru, sepenting apapun urusanmu—"

"—Aku ikut," Chae Young malah memegangi lengan Chanyeol, "Kau mau ke Rumah Sakit, 'kan? Ya, aku ini sahabatmu, Yeol-a. Aku juga ingin menjenguk adik sahabatku, tahu. Tidak menerima penolakan," Ia bersedekap sambil membalik badan.

Chanyeol hanya tak ingin ambil pusing, tahu-tahu saja langkah gadis berambut panjang didepannya malah lebih cepat ketimbang langkahnya sendiri.

"Kyungsoo suka apa?"

"Ha?" Chanyeol—yang sedang mencari-cari letak mobilnya dihalaman parkir pun—menyuarakan keterkejutannya. "Tidak ada waktu untuk beli macam-macam, Jongin sebentar lagi ada kelas dan aku tidak bisa membiarkan Kyungsoo sendirian."

Chae Young menunjuk mobil perak Chanyeol, "Kau yang lambat, menemukan mobilmu saja lama sekali."

Setelah Chanyeol dan Chae Young sudah duduk berdampingan, mobil Audi itu akhirnya keluar dari pelataran kampus. Sementara Chanyeol serius menyetir, Chae Young sibuk memasang sabuk pengaman yang tidak juga terpasang-pasang.

Klik.

Chanyeol memasangkan itu untuknya. "Kau yang lambat, memasang sabuk pengaman saja tidak bisa."

"Ya, kau mengutip kata-kataku, dalam pembuatan jurnal itu harusnya diberi nama siapa yang mengata—"

"—Kalau masih cerewet, kau kuturunkan disini,"

Chae Young tidak jadi melanjutkan kalimatnya. Ia memilih memandangi jalanan Seoul yang dilalui berbagai macam kendaraan dalam diam.

"Kyungsoo tidak boleh makanan terlalu manis, jadi makanan lainnya aman," Tapi, Chanyeol memecah keheningan dengan menyambung topik Chae Young tadi. "Jadi, mau beli apa?"

Chae Young tersenyum penuh kemenangan, "Uhm, kalau buah dia pasti sudah bosan, ya?" Ia berpikir sambil memijit pelan pelipisnya. "Kau ada saran?"

"Kue kacang?"

"Ide bagus!"

Chanyeol melirik Chae Young dengan ekspresi super cerianya itu. Ia lantas berdeham, "Padahal yang punya ide beli sesuatu 'kan bukan aku,"

"Tapi, yang beli tetap aku." Chae Young mendengus, "Pakai uangku,"

Entah mengapa, kehadiran Chae Young disebelahnya saat ini, sedikit-banyak memberi Chanyeol kekuatan. Ia cukup senang mendapati kenyataan bahwa Chae Young disini adalah sebagai sahabat yang selalu ada untuknya. Chanyeol sendiri tidak terlalu memusingkan seberapa kurang ajarnya perangai gadis urakan ini.

Toh, mereka sudah bersahabat sejak sekolah menengah.

"Itu disitu," Chae Young antusias menunjuk sebuah toko dipinggir jalan. "Yah, kenapa dilewati?"

Lihat selengkapnya