Jin Il segera membukakan pintu pagar begitu melihat dua lampu mobil menyala terang sekaligus mendengar nyaring klakson yang dibunyikan sekali. Ia lantas membungkuk ketika Kris membuka kaca dibangku kemudi, kemudian menderukan mesin agar berlalu melewatinya. Pria berwajah keriput itu baru saja berniat memanggil istrinya, Han Yun Mi, yang warna rambutnya juga seputih dirinya. Tapi, ternyata Yun Mi sudah berinisatif membantu Kyungsoo turun dari bangku belakang begitu mobil sudah benar-benar terparkir.
"Jin Il, tolong barang-barangnya dibagasi," Kris turun dari mobil sembari mengunci pintunya dengan menekan satu tombol. Setelah mendapat anggukan Jin Il, ia pun turut memberi senyuman. "Terima kasih,"
"Kyung-a, Imo sudah masak Jjamppong," Yun Mi menuntun Kyungsoo dengan senyum sumringah yang sama sekali tidak pupus sejak pertama kali. "Baek-a bilang, kau ingin makan ini,"
Karena kalimat itu, Chanyeol dan Jongin yang sedang berjalan mengapit Baekhyun, melirik bersamaan. Tapi, si mata sipit hanya memilih untuk menaikkan kedua bahunya sambil berdeham, sarkas.
"Gomapta, Imo. Imo harusnya tidak perlu serepot itu," balas Kyungsoo sekenanya. Ia pun terduduk disofa dan mengambil sedikit waktunya untuk memandangi rumahnya—suasananya, perabotnya, semua yang ia tinggalkan selama seminggu. "Imo dan Samcheon sudah makan?"
Yun Mi dan Jin Il—yang baru saja selesai meletakkan koper-koper dilantai—saling bertukar pandang lalu mengangguk serempak. "Tuan Muda Kyungsoo tidak perlu mengkhawatirkan kami," Jin Il memberi pengertian.
Tapi, Kyungsoo mencebik, "Sudah berulang kali kubilang kalau Samcheon bisa memanggilku, Kyungsoo atau Kyung-a saja," Ia melirik Jin Il yang kini menggaruk tengkuknya, merasa kikuk.
"Sentimen sekali," Chanyeol menyerobot paksa sambil membanting tubuhnya disebelah Kyungsoo dan merangkulnya. "Ayo, makan. Aku sudah lapar,"
"Sebelum pulang, aku sudah sarapan bubur di Rumah Sakit, tahu, Hyung,"
"Bubur saja memangnya perutmu bisa kenyang?" Jongin turut bergabung dengan duduk disisi lain Kyungsoo dan menyikut pelan rusuk adiknya itu, "Ayo, makan. Kau itu butuh nutrisi,"
Kris memperhatikan interaksi anak-anaknya dengan senyum tipis, ia memaku netranya pada Baekhyun yang berdiri agak terlalu jauh dari kakak-kakak dan adiknya. Setelah Kris mendekati Baekhyun, anak nomor tiganya itu sempat terperanjat dan seperti tertangkap basah. Karena itu, Baekhyun buru-buru mengalihkan pandangannya dari tatapan mengejar Kris.
"Waeyo? Kenapa tiba-tiba melamun?"
Baekhyun menghela nafas, jengah. "Aku tidak melamun,"
"Bohong. Appa tahu kau sedang memikirkan sesuatu. Apa memangnya?"
Baekhyun merutuk, Ayahnya ini benar-benar suka ikut campur urusan orang lain dan punya rasa penasaran yang tidak bisa dihilangkan—sebelas duabelas dengan dirinya sendiri. "Aku yang ingin makan Jjamppong. Tapi, aku memakai Kyungsoo sebagai alasan. Apa tidak apa-apa? Maksudku, bagaimana jika Chanyeol Hyung dan Jongin Hyung merasa aku sangat keterlaluan? Padahal kalau aku ingin, aku bisa mengatasnamakan nama—"
"—hei, hei. Sejak kapan Baekhyun-ie yang ini sibuk memikirkan prasangka orang lain? Sejak kapan kau jadi tipe pemikir dan perfeksionis seperti Jongin begini? Kau itu adalah Baekhyun yang hidup super santai seolah tidak punya beban apa-apa. Ya, 'kan? Masih ingat?" Kris menyetop dengan sederet kalimat penuh ambiguitas yang membuat Baekhyun berpikir dua kali tentang perasaannya sendiri. Benar—apa-apaan dia? "Lagi pula, kau bisa tanyakan ke kakak-kakakmu, apa mungkin bagi mereka untuk menjatuhkan adiknya sendiri?"
Baekhyun akhirnya mengalah dengan anggukan lemah. Tepatnya, ia benci berdebat dengan orang ini.
"Kkajja! Ya, Baek-a!" Suara berat Chanyeol memanggil Baekhyun agar menghampirinya dijarak semeter itu. "Ayo, makan Jjamppong. Kau yang harus paling menikmatinya,"
Jongin menyusul Baekhyun dan menarik tubuh adiknya dengan satu rangkulan—menjauh dari posisi Kris. "Jjamppong buatan Imo, siapa yang bisa menolaknya, eoh?"
Kyungsoo sudah menyambut ketiganya di meja makan sedang mata bulatnya tak henti menatap makanan yang sudah dihidangkan Bibi Han dua menit lalu. "Whoa, berapa lama, ya, kita tidak makan ini, Hyung?" Ia meminta jawaban dari ketiga kakaknya yang sudah melingkari meja. Tapi, mereka sama-sama mengedikkan bahu, tidak tahu menahu atau enggan berargumen.
Baekhyun tidak gusar lagi. Ia harus menikmati ini sebelum dua kakaknya yang hobi makan menandaskan semuanya. Kyungsoo belum berniat mengambil seporsi pun karena hanya dengan melihat kakak-kakaknya makan dengan lahap begini sudah membuatnya kenyang. Ia lantas sadar akan satu hal. Ayahnya tidak disini. Kyungsoo celingukan sebentar, ia baru saja akan beranjak dari duduknya dan menjemput Kris ketika laki-laki yang hampir seumuran Jin Il itu malah sudah muncul disini.
"Appa tidak makan sekalian?" Kyungsoo mengikuti kemana Kris akan menghentikan langkah dan ternyata ia berhenti diujung meja sana. "Appa mau ke kantor?"
Kris mengangguk—ada sedikit rasa bersalah ketika Kris terpaksa harus membiarkan Kyungsoo menelan pil kekecewaannya. "Appa akan makan di kantor, Kyung-a, setelah ini istirahat, ya. Turuti apa yang dibilang kakak-kakakmu, jangan membantah mereka. Appa akan usahakan untuk pulang cepat. Ya?"
Kyungsoo melirik ketiga kakaknya yang sama sekali tidak peduli dengan kehadiran Kris, jadi ia segera menyunggingkan senyum super cerianya. "Tidak apa, Appa. Aku bisa menjaga diriku sendiri, kok," Ia menopang dagu dengan dua tangannya sambil masih memandangi Kris. "Appa hati-hati, ya."
Kris juga ikut mengedarkan pandang, sejenak memandangi Chanyeol, Jongin, dan Baekhyun yang seolah-olah sibuk dengan dunia mereka sendiri.
Ini akan sulit.
-ooo-
Chanyeol terpekur sejenak setelah dihadapkan dengan buku-buku tesis tentang bisnis yang berhamburan diranjangnya—hal yang memuakkan. Ia telungkup, meletakkan kepalanya diatas bantal empuk sewarna monokrom itu. Tesis ini benar-benar membuatnya gila. Namun, bagaimana pun, ia harus menyelesaikannya supaya bisa segera lulus dan melanjutkan studi ke Universitas Seni.
Yah. Itu mimpinya. Ia tidak boleh terus terbelenggu dalam angan-angan Kris—itu semu.
Chanyeol teringat sesuatu. Ia bangkit dari rebahnya dan mengintip sebentar menuju bagian bawah tempat tidurnya. Sisi gelap itu menutup keseluruhan benda usang yang bertahun-tahun Chanyeol simpan disana.
Gitar akustiknya.
Ia meraih benda itu, meniup berkali-kali debu yang menyelimutinya. Chanyeol mengelus senar-senar yang masih tampak indah dimatanya, menggiurkan. Tidak sampai lima menit ia mengaguminya, sekelebat memori menyakitkan itu malah mengambil alih pikirannya.
"Kenapa kalau Chanyeol mau masuk jurusan seni? Apa itu sebuah kejahatan?"
"Tidak bisa," Kris memunggungi Violet, merasa amat kesal dengan pembelaan berlebih Violet pada anak sulung mereka. "Sampai kapan kau mau terus menuruti keinginannya? Kau sudah terlalu lama memanjakannya, Violetta."
"Ini soal mimpinya. Ini soal hidupnya. Kau—kau yang mau sampai kapan terus mengatur hidup anak-anakmu?"
Kris berbalik, mendapati sosok rapuh Violet yang terbalut mantel rajut sedang berdiri sekokoh-kokohnya. "Dia anak pertama keluarga Wu. Sebagai anak sulung, ia harus mengemban tanggung jawab sebagai pewaris Wu Corp."
Violet terus menggeleng, "Kau tahu dia benci itu. Lagi pula, dia bisa menjadi pewarismu tanpa harus masuk jurusan bisnis."
"Tahu apa kau, hah?!" Kris tahu-tahu saja membentak—suaranya menggelegar dan memenuhi ruang kerja ini. Ia bahkan memelototi Violet karena amarahnya sudah diubun-ubun. "Selama ini kau tidak membantu apa-apa tentang pekerjaanku, aku berjuang sendiri untuk menghidupi kalian—dan sekarang, aku hanya minta Chanyeol kuliah di jurusan bisnis—kau menolaknya? Hah?!"
Violet tidak percaya kalimat itu baru saja meluncur bebas dari mulut suaminya sendiri.
"Aku selalu berusaha yang terbaik untuk selalu mendukungmu. Aku ada disana ketika bisnismu gagal total, ketika sahammu anjlok, ketika kau tidak menang tender—aku menyarankan berbagai hal. Waktu itu kau menyanggupi semuanya, sekarang kau bisa bilang begini? Apa yang mengubahmu?" Violet menarik nafasnya, kepayahan. "Apa karena aku sudah sangat lemah dan akan segera mati? Apa karena kau tahu operasi jantungku tidak akan berhasil?"
Kris mengacak rambutnya, kasar. Ia berjalan melewati Violet dan duduk dikursinya. "Terserah. Aku hanya ingin Chanyeol mengerti tentang bagaimana cara menjalankan perusahaan, jadi, apapun yang terjadi, dia harus berada di jurusan bisnis."
Violet mengelak dengan gelengan kepalanya yang berulang. "Aku yakin—kau bukan suamiku lagi. Aku yakin—kau bukan Ayah dari anak-anakku lagi," Ia tidak butuh tanggapan Kris—karena hatinya sudah terlampau sakit dan jantungnya enggan berdetak normal. Violet membanting pintu ruang kerja Kris dan seketika itu menemukan Chanyeol tertegun.
Chanyeol menguping pertengkaran mereka—pertengkaran yang pertama kali ditemui anaknya.
"Sialan,"
Makian itu jelas tak berdampak apa-apa.
Chanyeol ingat betul, setelah Ibunya menemukan dirinya didepan pintu ruang kerja Ayahnya, ia mengatakan, "Aku akan masuk jurusan bisnis. Aku akan melupakan musik dan seni. Dengan begitu, Appa tidak akan membuat Eomma sedih," kalimat yang ia sesali seumur hidup, karena dengan janji itu pun, Violet tetap tak hidup, karena dengan alasan itu pun, Violet tetap tak ada disini bersamanya.
Brak!
Chanyeol membanting gitar akustik itu—gitar yang susah payah ia beli dengan tabungannya sendiri saat masih berusia sepuluh tahun. Mimpinya hancur, melebur jadi satu dengan kepergian Ibunya.
"Hy—Hyung,"
Baekhyun datang sesaat setelah ia mensinyalir suara keras itu asalnya dari kamar Chanyeol. Baekhyun ada diambang pintu, mendapati gitar kesayangan kakaknya bertahun-tahun silam tergeletak dilantai. Ia tahu ada yang tidak beres. Ia tahu ada sesuatu yang menghinggapi pikiran kakaknya. Jadi, ia melangkah perlahan, berlutut didepan Chanyeol yang menutup seluruh wajahnya dengan tangan, lantas memeluknya tanpa gamang.
"Gwaenchana, Hyung, Gwaenchana."
-ooo-
Ini hari Minggu. Tepat di hari ini Kyungsoo juga diperbolehkan pulang dari Rumah Sakit. Tapi, Kris memang selalu punya acara di kantornya, tidak peduli di hari apapun dan di jam berapapun—ia harus mengawasi setiap detail perusahaannya. Kris tahu ia telah menghabiskan seluruh hidupnya ditempat ini, ia tahu pekerjaan ini menyita masa-masa dihidupnya.
Entah. Bekerja adalah prioritasnya. Bagi Kris, ia melakukan ini demi anak-anaknya, demi kelangsungan hidup yang lebih baik dan sekali lagi, ia bersikeras bahwa keluarga Wu harus dipandang terhormat. Kris ingat betapa masa kecilnya masih terlalu pahit untuk dijadikan memori. Ia ingat betapa sulitnya mendapatkan semangkuk nasi hingga ia dan keluarganya harus bertahan dengan makan mi instan berminggu-minggu. Ia ingat mereka harus berpindah tempat setiap bulannya karena tak mampu membayar sewa hingga pernah tertidur disebuah penampungan orang-orang jalanan. Semiris itu.
Sesal Kris juga membekas pada kenyataan bahwa ia belum sempat membahagiakan kedua orangtuanya dengan hidup sebegini nyaman seperti sekarang. Mereka tidak tahu keempat cucu Wu adalah anak-anak berbakat yang wajib dibanggakan. Mereka tidak tahu anak sematawayang Wu ini akhirnya sukses besar.
Yah. Kris melalui banyak terjal sebelum mencapai posisi ini.
Jadi, ia tidak mungkin ingin hal-hal sulit yang dulu ia alami juga dialami anak-anaknya. Apalagi dengan kondisi Kyungsoo, apalagi dengan keinginan Baekhyun untuk jadi Dokter—semuanya butuh biaya besar.
Kris—bekerja, demi hidup berkualitas keluarga Wu. Jika sudah dititik ini, ia harus mempertahankannya.
"Sajang-nim, kami baru saja memesan ayam goreng dan soju. Anda mau bergabung?"
Setelah menemukan sekretarisnya—Yoona—di ambang pintu, Kris jadi merasa bersalah. Ia juga turut menyita waktu berharga para karyawannya di hari libur seperti ini.
"Kenapa kalian yang pesan? Seharusnya biarkan aku yang membayarnya,"
"Ini hari lembur kami, jadi, juga masih termasuk jam kerja kami, Sajang-nim."
Kris akhirnya setuju dan menyusul Yoona menuju meja panjang dengan kursi-kursi yang mengelilinginya. Diatas sana sudah terdapat makanan dan minuman yang tadi dibahas sekretarisnya serta empat karyawan laki-laki lainnya yang ternyata sedang menunggu Kris dan menyambut kedatangannya dengan seulas senyum bergurat lelah.
"Aigoo, kalian bisa lebih dulu menikmatinya," Kris mengambil tempat dan seketika itu salah satu laki-laki disana menuangkan soju digelasnya. "Mari bersulang untuk proyek terbaru kita."
Kris meneguk gelas pertamanya, ia tidak sadar sudah ingin menuang lagi untuk gelas keduanya. Sudah sangat lama ia tidak mabuk, sudah sangat lama ia tidak terbuai. Yoona dan rekan-rekannya hanya membiarkan bos mereka terus menenggak bergelas-gelas soju, berbotol-botol soju—kesemuanya hampir habis oleh Kris sendiri.
"Ya, setelah ini kau harus pesankan supir untuk mengantar Sajang-nim pulang,"
"Aku tahu nomor supir pribadinya, nanti kuhubungi,"
Yoona memeriksa sebentar kontak diponselnya, ia bisa lega karena menemukan nomor Han Jin Il, seperti janjinya ia akan menghubungi supir pribadi Kris. Namun, ketika cemerlang mata Yoona menangkap sosok Kris yang sudah mulai hangover, ia malah urung.
"Aku belum minum sedikit pun," Yoona pikir, supir pribadi bosnya itu pasti harus menempuh jalanan malam dulu baru sampai kemari. Itu akan lama. "Aku saja yang mengantar Sajang-nim."