This is Home!

pinklabel
Chapter #15

Chapter Fifteen

Kris menata ulang map-map berisi dokumen-dokumen penting di rak bukunya. Beberapa kali ia membungkuk dan kembali berdiri, sehingga sedikit banyak pinggangnya yang sudah berumur pun mulai kaku. Ia berhenti, lalu meregangkan sendi-sendinya sebentar dengan memutar tubuh ke kanan dan ke kiri. Masih sambil mencekal pinggangnya, Kris menguap lebar-lebar.

"Jam duabelas," Ia menggumam setelah melirik jam di dinding ruang kerjanya. "Belum juga selesai,"

Setelah pulang dari kantor tadi sore, Kris memang langsung menuju ruang kerjanya. Ia bahkan belum sempat makan malam dan tidak satu pun anak-anaknya berani mengganggunya. Yah, meski Kris tahu bahwa hanya Kyungsoo yang dengan baik hati mengetuk pintu itu dan mengingatkannya untuk mengisi perut.

Maka, Kris memutuskan untuk segera mematikan lampu dan keluar dari ruangan menyesakkan ini. Ia berderap menuju lantai dua, berjalan menuju ujung lorong, memeriksa kamar pertama—kamar Chanyeol, si anak sulung. Ketika Kris mendorong pelan pintu sewarna awan itu, ia tidak menemukan penghuninya. Kris terpaksa melupakan fakta bahwa ia harus menghormati privasi anak-anaknya, tapi ia terlampau penasaran.

Gitar akustik milik Chanyeol itu ada disana. Biasanya tersembunyi, biasanya tidak tampak.

Kris cemas. Bagaimana jika Chanyeol berniat kembali pada musik? Tapi, ia menggeleng kuat-kuat, segera mengusir prasangka buruknya. Kris akhirnya melangkah mundur dan berjalan pelan menuju kamar disebelah kamar Chanyeol—kamar Jongin. Ketika kenop terputar dan bahan mahoni itu terdorong sedikit, Kris bisa menemukan poster-poster band favorit Jongin menempel disetiap sudut dinding. Kris memberanikan diri mengambil beberapa langkah maju dan membawa dirinya semakin masuk kesana. Ia tak perlu terkejut kemana perginya Jongin, toh, Kris sudah kepalang tahu bahwa anaknya yang hobi keluyuran itu sebentar lagi akan pulang.

Ya, sejauh ini Jongin masih tahu batasan untuk tidak pulang dini hari atau saat subuh menjelang.

Kris berkeliling sebentar, ia mengamati buku-buku pelajaran Jongin yang tertata rapi di raknya. Penuh debu. Tanda bahwa sumber ilmu itu jarang—atau tidak pernah dibaca. Kris tahu kemampuan Jongin dalam menyerap pelajaran, sebelas-duabelas dengan Kyungsoo. Tapi, Jongin sama sekali tidak punya alasan untuk sulit belajar sementara Kyungsoo punya.

Kris memejam sebentar, dalam hitungan detik, ia malah sudah terbuai masa lalu.

"Wu Jongin! Nilai-nilaimu ini sungguh memalukan!" Kris meloloskan amarah sambil membanting kertas penuh coretan warna merah itu tepat didepan wajah Jongin. "Sampai kapan kau mau terus-terusan mempermalukan Appa, hah?!"

Jongin tertunduk, tidak berani membalas kilatan tajam mata Ayahnya.

"Jawab, Jongin! Kau ini bisa belajar tidak, sih? Coba contoh kakakmu, Chanyeol saja bisa, kenapa kau tidak?"

Baru karena kalimat ini, Jongin mendongak. "Aku memang tidak suka kuliah dijurusan ini, aku tidak pernah setuju dengan pilihanmu," Kris sempat tersentak karena Jongin tak memanggilnya dengan sebutan yang benar. "Dan lagi, aku benci—aku benci dibandingkan."

Kris mendelik, sama sekali tidak sadar bahwa Jongin sudah menguarkan aura kebencian.

"Ya! Mana sopan santunmu terhadap Ayahmu?!"

Jongin mendengus, "Sopan—santun?" Ia sengaja memenggal kalimatnya. "Untuk apa?" Ia membangkang, tekanan ditanya itu semakin membuat Kris geram bukan main.

Kris berkacak pinggang, merasa jengkel. Hatinya dongkol luar biasa. Tabiat Jongin benar-benar diluar nalar dan itu membuatnya terus naik pitam. "Jadi, kau mau apa? Katakan, apa maumu?!" Kris membentak, untuk kesekian kali.

Jongin bukannya enggan menjawab pertanyaan itu, tapi pegangan tangan Ibunya dibelakang sana terus menahan tubuhnya agar tidak terus maju. Padahal Jongin siap-siap saja jika disuruh melawan lelaki bengis didepan matanya ini.

"Kris! Hentikan!" Violet akhirnya berdiri—ditengah mereka berdua. "Baekhyun bisa mendengar kalian."

Violet bukan sedang mengarang alasan. Tapi, itu adalah salah satu dari sekian alasan yang dapat ia utarakan. Baekhyun ada dikamarnya, mungkin sedang menguping pertengkaran ini. Jadi, terang saja Violet tidak ingin psikis anaknya yang masih belia itu terganggu. Selebihnya, Violet harus bersyukur ketika Chanyeol mengajak Kyungsoo ke rumah sepupu mereka. Setidaknya, intensitas beban yang dipikulnya untuk melindungi mereka terasa lebih ringan.

"Ini akibatnya kalau kau terus memanjakan anak-anakmu! Mereka jadi tidak tahu diri dan selalu menyalahi perintah orangtua!"

Jongin tidak tahan lagi. Ia membawa Violet agar mundur dan tersembunyi dibalik punggungnya.

"Kalau aku yang salah, kenapa harus memarahi Eomma?!"

Violet hanya cukup berdoa semoga jantungnya tidak kambuh setelah ini. "Hentikan! Kubilang hentikan!" Ia menarik nafas, tersengal, lalu melanjutkan dengan suara setengah berbisik, "Kris, kumohon. Jongin ini anakmu, Jongin ini anak kita. Kau tidak bisa semena-mena mendoktrin mereka dengan kehidupan yang kau mau! Itu hidupmu, itu hidup yang dulu kau inginkan—dan karena kau tidak bisa mencapainya, jangan timpakan ekspektasimu pada anak-anakmu juga!"

Violet merosot dilantai diikuti Jongin yang memeluk tubuhnya sambil menatap nyalang posisi Kris dari bawah sini.

"Mereka—mereka berbeda denganmu,"

Violet tidak gentar sama sekali menghadapi suaminya—atau terasa seperti bukan suaminya.

"Eomma!" Baekhyun menyusul dari lantai dua, ia turut memeluk Violet dan memberi tatapan heran pada Jongin dan Kris. "Kenapa? Masalah sepele apalagi yang dibesar-besarkan?!" Ia sadar, teriakannya barusan tentu mengejutkan mereka bertiga. Kali ini, mata sipitnya menatap intens Kris dan Jongin, bergantian.

"Sssh, Baekkie, kembali ke kamar saja, ya—"

"—Andwe," Baekhyun akhirnya berdiri dan menghadapi Kris secara langsung. "Appa tidak kasihan dengan Eomma? Dengan Chanyeol Hyung dan Jongin Hyung? Mereka itu—mereka itu hidup dibawah kuasa Appa sekarang." Air matanya luruh seketika. "Kenapa, sih?! Appa itu kenapa?!"

"Baek-a," Jongin meredam emosinya sendiri demi menyurutkan emosi adiknya, ia pun menarik Baekhyun agar mundur. "Tenang dulu. Kau belum tahu masalah—"

"—Masalahnya jelas, Hyung!" Baekhyun masih berapi-api, tersulut kekesalan. "Masalahnya, karena orang yang mengaku Ayah didepan kita ini tahu-tahu saja berubah jadi monster!"

Kris tertohok. Matanya merekam situasi dimana istri dan dua anaknya mengecam bertubi-tubi. Pikirannya terpusat pada pemandangan menyeramkan yang tersuguh nyata ini. Apa benar dia telah menyakiti mereka sedemikian rupa—karena cintanya pada Luna telah mengambil alih dunianya?

Benar. Kris adalah monsternya.

"Kenapa disini?"

Kris buru-buru menyadarkan diri dari kekalutan sesaatnya. Jongin sudah sampai rupanya.

"Aku mau tidur,"

"Chanyeol tidak pergi denganmu?" Kris akhirnya membuka topik.

Jongin hanya meliriknya sekilas sebelum mengedikkan bahu, acuh. Ia segera membanting tubuhnya di ranjang dan mulai memejamkan mata, sama sekali tidak peduli dengan kehadiran Kris.

"Jongin, kau harus mandi dulu sebelum tidur. Seharian ini kau sudah diluar rumah dan—"

"—Kenapa tiba-tiba peduli?" Jongin membuka matanya dan nada skeptis itu telah menghujamkan panah ke jantung Kris. "Sejak kapan Appa peduli tentangku?"

"Jongin, kau bisa berhenti marah-marah seperti itu dan—"

"—dan apa? Dan mencoba menerimamu sebagai Ayah? Begitu?" Jongin kini memunggungi Kris, ia kembali menyamankan posisi tidurnya. "Keluar. Aku harus tidur supaya besok tidak terlambat,"

Kris harus berpuas diri. Ia lagi-lagi gagal mengambil hati Jongin. Meski kala itu Jongin pernah tersenyum padanya, bukan berarti anak nomor duanya ini telah luluh. Meski kala itu ada masa-masa singkat yang cukup indah, bukan berarti si kulit tan ini telah menyerah. Ya, perjuangan ini memang tidak mudah dan Kris perlu mengakuinya.

Kris akhirnya menutup pintu kamar Jongin dan seketika itu bertemu Chanyeol yang baru saja selesai menaiki tangga. Mereka sempat saling tatap, sebelum akhirnya Chanyeol mengalihkan diri lebih dulu.

"Tidak biasanya kau pulang jam segini,"

Chanyeol tentu masih ingat apa alasan yang membuatnya mencari udara segar diluar rumah sampai selarut ini. Memori kelam yang tanpa permisi meracuni otaknya. "Kenapa juga Appa repot-repot berjalan-jalan dilantai dua? Kamar Appa dilantai bawah. Oh, atau Appa mau jadi sipir penjara, kamar-kamar ini bagai sel-sel tahanan. Ya, 'kan?"

Bagi Kris, sindiran itu terasa telak.

"Chanyeol-a," panggil Kris, berharap ada simpati yang tersemat dihati putra sulungnya. "Kau tidak berminat untuk bermain musik seaktif dulu, 'kan? Maksud Appa, kau boleh memainkannya sebagai hobi, tapi kau tidak perlu terlalu fokus pada itu. Kau mengerti maksud Appa, 'kan?"

Chanyeol melengos. Ia enggan menghabiskan tenaganya untuk berdebat. Ia lelah, benar-benar lelah. Jadi, Chanyeol melenggang pergi, melalui Kris sambil memberi satu seringai, lalu berseru keras-keras.

"Apanya yang mau berubah? Ini saja masih sibuk mengatur hidup orang lain."

Chanyeol sudah menghapus jejaknya dengan masuk ke kamar bersama satu bantingan pintu yang menggema ke seluruh penjuru lorong.

Sekali lagi, Kris serasa ditenggelamkan hidup-hidup—dan ia urung mengecek satu kamar tersisa.

-ooo-

Jam pelajaran olahraga, semua teman-teman sekelas Kyungsoo sudah meninggalkan kelas dan berlalu menuju lapangan. Kyungsoo memandang jendela disebelahnya, ia bisa melihat Jaehyun dan Haechan saling berebut bola dipayungi sinar matahari yang luar biasa terik. Meski salju sudah turun, tapi masih ada sisa-sisa hangat dari matahari yang meringkuk bersama mendung. Ini akan jadi pelajaran olahraga terakhir mereka sebelum lapangan tertutup gundukan salju sepenuhnya.

Karena itu, Kyungsoo jadi ingin kesana.

Kyungsoo pergi menyusul teman-temannya, ia lebih memilih duduk di tribun sini daripada mati kebosanan sendirian di kelas. Kemudian, pikirannya melayang pada sebuah asa. Seandainya, ia terlahir normal tanpa cacat jantung ini, ia pasti sudah bergabung dengan mereka. Seandainya, jantungnya baik-baik saja, ia pasti bisa menguasai semua bidang olahraga atau bahkan jadi atlit professional. Yah, seumur hidupnya, Kyungsoo tidak pernah berlari—apalagi bermain sepak bola.

"Oi, Kyungsoo-ya!" Jaehyun melambai padanya dan Kyungsoo bisa melihat keringat bercucuran dari pelipisnya. "Awas, disitu panas!"

Teriakan Jaehyun membuat Kyungsoo beringsut. Ia menggeser dirinya dan menemukan tempat yang ternaungi rimbun dedaunan dari sebuah pohon. Namun, setelah Jaehyun kembali bermain dengan teman-temannya, intuisi Kyungsoo tiba-tiba terinterupsi. Ada seseorang yang terus memandanginya dari ujung lapangan sana.

Seorang wanita bertudung hitam. Sosok misterius yang tiba-tiba muncul diselasar sekolah itu meniti langkah satu demi satu hingga sepatu hak tingginya yang bersinggungan dengan tanah memantulkan gema. Anehnya, ia mendekati Kyungsoo dan dalam hitungan detik, mereka sudah duduk sejajar.

"Apa kau Kyungsoo?"

Kyungsoo cepat-cepat menoleh, atensinya tidak tertarik lagi pada penjelasan panjang lebar guru olahraganya, tapi pada wanita yang menjuruskan tatapan mengintimidasi padanya ini. "Si—siapa? Apa aku mengenalmu? Bagaimana kau bisa masuk ke sekolahku?"

"Mereka memperbolehkanku masuk kemari karena aku adalah wali murid disini," Kyungsoo malah tidak bisa mengalihkan pandangannya dari lawan bicaranya. "Nah, dia keponakanku,"

Kyungsoo mengikuti arah telunjuk wanita itu—dan menemukan Jaehyun.

"Dia teman sekelasmu dan kau bersahabat baik dengannya. Ya, 'kan?"

Entah mengapa, Kyungsoo jadi bergidik ngeri. Ia bukannya tidak menghargai bahwa orang disebelahnya ini lebih tua dan bernotabene sebagai keluarga sahabatnya—tapi, serius, Kyungsoo rasa, wanita ini punya aura memikat yang mematikan.

"Kau be—belum menjawab pertanyaanku," Kyungsoo malah terbata.

Tapi, wanita ini terbahak. "Yah, tidak sepenuhnya mengenalmu. Aku hanya tahu siapa dirimu dari Jaehyun,"

Tidak masalah juga jika Jaehyun menceritakan sahabatnya pada bibinya. Toh, itu sangat wajar dilakukan. Namun, tetap saja, Kyungsoo merasa ada yang tidak beres. Tatapan wanita ini, omongan wanita ini, semuanya terkesan lantur dan berbahaya. Kyungsoo bisa mengindikasikan bahwa ada maksud lain dari kehadiran tiba-tiba orang asing disampingnya.

"Jadi, kenapa kita tidak berkenalan saja?"

Tawaran itu semakin membuat Kyungsoo menciutkan nyali. Terlebih ketika sebelah tangan berjari-jari lentik terulur padanya, meminta sambutan.

"Aku—" Jeda, "—Luyi Luna, bibi Jaehyun dari China."

Lihat selengkapnya