Incheon benar-benar penuh dengan orang.
Chanyeol dan Jongin sama-sama celingukan mencari Sehun dan Eunha, sementara Baekhyun berulang kali mencoba menelpon sepupunya itu—berharap setelah pesawat landing, ponsel mereka sudah dinyalakan. Namun, nihil, seluruh panggilannya tak terjawab. Karena Baekhyun tidak setinggi kakak-kakaknya, setidaknya itu adalah usaha terbaiknya.
"Hyung, tadi kenapa tidak pakai papan nama saja, ya?" Jongin terlambat memberi saran, sehingga Chanyeol hanya menoleh padanya sebentar. "Coba telpon Eunha saja, Baek." Setelah mendapat konfirmasi Baekhyun, Jongin kembali menajamkan matanya.
"Ya—mana ada tamu yang lebih dulu menemukan si tuan rumah?"
Chanyeol, Jongin, dan Baekhyun bersamaan menoleh menuju asal suara dibalik punggung mereka. Dua orang yang sejak tadi mereka cari, ada disana. Oh Sehun dengan tinggi hampir menyamai Jongin, sedang menyeret sebuah koper sewarna perak yang dipenuhi stiker-stiker dan adik perempuannya, Oh Eunha yang sedang melambai-lambai bersama senyum ceria berlesung pipinya.
"Astaga," Chanyeol segera memeluk kedua adik sepupunya itu. "Kalian pasti lelah, ya, berjam-jam di pesawat?"
Eunha menggeleng kuat-kuat, "Tidak, Oppa. Toh, kita hanya makan selama perjalanan," Lalu, ia terkekeh.
"Kalian masih ingat bahasa Korea, 'kan?" tanya Jongin, sedikit cemas. "Kalau sampai lupa, aku benar-benar tidak lancar berbahasa Inggris, tahu."
"Ya! Kau pikir sejak tadi kita bicara pakai bahasa apa? Otakmu tertinggal di rumah, ya?" Setelah amukan sesaat itu, Sehun segera menoyor kepala Jongin sedangkan Jongin hanya meringis. "Oi, Baekhyun-a, tinggimu sudah segini saja. Bagaimana kabarmu?" Sehun lantas merangkul Baekhyun, "Oh, bagaimana juga kabar kalian berdua? Kyungsoo dimana? Yifan Samcheon?"
"Aku baik, Hyung," balas Baekhyun, "Sepertinya mereka juga baik," Baekhyun menunjuk dua kakaknya dengan dagunya. "Kyungsoo ada di mobil, Appa bilang kalau dia akan menemui kita saat makan malam nanti."
Sehun mengangguk, tidak bertanya lebih lanjut.
"Bagaimana Singapura? Bagaimana kabar Paman dan Bibi?" Chanyeol memulai pembicaraan sambil mengajak mereka semua berjalan ke mobil. "Sekolah Eunha sudah libur memangnya?"
Jongin segera mengambil alih koper ditangan Sehun sementara Baekhyun merebut paksa ransel dipunggung Eunha.
"Singapura—yah, tidak terlalu buruk. Appa dan Eomma, seperti biasa, sibuk. Tidak beda jauh dengan Samcheon. Uh, tapi minggu lalu kita ke Universal Studio, sih. Sejauh ini, Singapura lumayan menarik. Ya, 'kan?" Sehun melirik adiknya yang berjalan sambil melompat kegirangan, semula ingin meminta pendapat, urung—karena Eunha sama sekali tidak memperhatikan orang-orang disekitarnya, ia hanya asik menikmati setiap langkah yang ia ambil. "Ah, tapi, sepertinya Eunha lebih senang disini,"
"Ah, Oppa. Pulang nanti beli oleh-oleh apa, ya?" Eunha mendongak pada Sehun, tampak begitu antusias. "Oh, ya. Sekolahku libur lama, jadi kita akan menginap disini lebih lama. Ya, 'kan, Oppa?"
"Whoa, Rubicon!" Sehun sengaja mengabaikan Eunha, ia malah segera menyusul Jongin dan Baekhyun yang sedang memasukkan barang-barang mereka dibagasi. "Hai, Kyungsoo!" Setelah mengintip, Sehun menemukan Kyungsoo disana. Ia lalu masuk dan segera memeluk sepupu paling bungsu dikeluarga Wu ini. "Ya~ Kau semakin tampan, eoh?"
Kyungsoo tersenyum lebar, "Annyeong, Hyung. Bukankah masih lebih tampan Sehun Hyung?"
Eunha sempat cemberut, tapi ia berbinar tepat setelah menangkap siluet Kyungsoo didalam mobil. "Kyungsoo Oppa!" Dengan pekikan nyaring itu, ia lantas duduk disebelah Sehun. "Lama sekali kita tidak bertemu. Nanti kita nonton film, ya!"
"Annyeong, Eunha-ya," sapa Kyungsoo dengan senyum berjuta centinya. "Benar juga, berapa tahun kita tidak bertemu, ya? Arrasseo, nanti kita nonton film,"
Chanyeol dan Jongin sudah menempatkan diri dibangku paling belakang, sementara Kyungsoo, Sehun, dan Eunha ada dibangku tengah. Baekhyun tetap dibangku depan bersama Jin Il yang sudah melajukan mesin mobil disebelahnya.
Baekhyun menengok pada keadaan dibelakangnya, "Kita mau mampir minum kopi dulu?"
Karena semua orang disana menyetujui saran Baekhyun, Jin Il akhirnya membelokkan kendaraan ini menuju salah satu kafe di kawasan Myeong-dong.
-ooo-
"Sewaktu mengambil berkasmu di sekolah kemarin, Imo bertemu temanmu yang waktu itu kita jenguk di Rumah Sakit,"
Jaehyun melepas tatapannya dari layar televisi, lalu sepenuhnya berkonsentrasi pada bibinya yang duduk sambil menjulurkan kaki, melipat dua tangan didepan dada, dan memaku tatapan lurus tak terbaca ini.
"Aku lihat, kok. Kalian berdua membicarakan apa?"
"Kalau begitu, Imo akan mengundur jadwal penerbangan ke Cina dan tinggal disini sedikit lebih lama—setidaknya, Imo bisa menemani keponakan Imo yang tersayang ini,"
Luna sengaja mengalihkan pembicaraan.
Jaehyun, antara senang dan curiga. Bagaimana pun, bibinya ini punya berbagai macam ekspresi yang sulit ditebak sekaligus banyak stok tipu muslihat yang begitu ajaib. "Imo punya rencana apa? Pokoknya, jangan apa-apakan temanku itu dan jangan hancurkan keluarganya lagi," Karena Jaehyun tahu, seorang wanita berumur tigapuluhan dan berstatus lajang ini, pasti nekat melakukan suatu apapun untuk menggapai pujaan hatinya. Yah, Jaehyun juga tahu kalau Ayah Kyungsoo pernah terlibat hubungan gelap dengan bibinya ini. "Aku tidak pernah membenarkan tindakan bibi waktu itu. Jadi, jangan berulah lagi atau Appa akan memarahi bibi untuk kedua kalinya,"
"Tenang saja, Jaehyun-a. Imo tidak akan gegabah seperti waktu itu," Luna mendengus, kemudian sebelah sudut bibirnya membentuk satu seringai. "Coba bayangkan, kalau kau akan punya hubungan saudara dengan si Kyungsoo itu. Pasti menyenangkan," Sedetik setelahnya, Luna tertawa. "Sungguh, hari dimana kau meminta Imo mengantar kau dan Haechan ke Rumah Sakit itu adalah hari yang Imo nantikan selama dua tahun ini,"
Jaehyun mulai merasa bibinya ini telah melantur, "Imo bicara apa, sih? Aku tidak mengerti,"
"Jaehyun-a," Luna memandang wajah Jaehyun, lantas meraih anak-anak rambut Jaehyun yang menjuntai dipelipisnya. Ia membelai bagian itu sesaat sambil tersenyum, senyum yang penuh dengan daya tarik. "Kau tidak perlu tahu urusan orang dewasa. Kau ini masih terlalu kecil untuk tahu semuanya—apalagi untuk tahu rencana bibi,"
Setidaknya, Jaehyun harus waspada. Ia harus mengawasi sekecil apapun tindakan wanita ini. Jaehyun tahu seberbahaya apa kondisi mental bibinya dan sebisa mungkin ia harus mencegah hal-hal buruk yang mungkin akan disebabkan oleh bibinya. Bagaimana pun, Jaehyun tidak mau hari itu terulang lagi. Hari dimana Ayah Jaehyun luar biasa murka karena berita perselingkuhan Luyi Luna—putri tunggal pewaris kerajaan tambang di Cina dengan Wu Yifan—pengusaha pertambangan dan batu bara nomor satu di Korea ini menyebar di keluarga internal mereka. Meski tak sampai ke publik, tetap saja hal memalukan itu turut mencoreng nama keluarga.
Sadisnya, pihak yang mengkomplain tentang hubungan gelap itu adalah—Kakek Kyungsoo.
Jaehyun harus super bersyukur bahwa Kyungsoo tidak tahu-menahu dengan konflik itu sehingga persahabatannya bisa baik-baik saja sampai sekarang. Jaehyun tahu kakak-kakak Kyungsoo juga tidak tahu detail tentang polemik yang menyangkut keharmonisan orangtua mereka, Jaehyun bisa menyimpulkan itu karena Kyungsoo hanya menceritakan kebencian kakak-kakaknya pada Ayahnya semenjak Ibunya meninggal tanpa tahu apa masalahnya. Ya, seperti yang Jaehyun tebak, mereka hanya sebatas menaruh dendam pada Ayah mereka karena Ayahnya pernah menduakan Ibunya. Itu wajar.
Luna memang hanya seorang adik tiri Ayahnya, tapi Jaehyun benar-benar menyayangi bibinya ini. Di satu sisi, ia tidak mungkin mendukung rencana—yang-jelas-buruk—yang sedang disusun bibinya. Di sisi lain, ia juga tidak tega terus-menerus menyaksikan kesedihan yang ditanggung bibinya setelah hubungan gelap itu berakhir, setelah cintanya kandas, dan bibinya terlihat sangat terpuruk.
"Jangan bawa-bawa namaku. Imo tidak boleh membawa-bawa namaku lebih dari memperkenalkan dirimu sebagai bibiku,"
-ooo-
"Aboeji,"
"Sudah berapa lama? Sudah berapa lama kau menyimpan kebusukan suamimu?" Hwang Yoo Seok berkacak pinggang, menanti jawaban Violet yang mengguratkan segaris lelah diwajah pucatnya. "Ceraikan saja. Buat apa mempertahankan rumah tangga yang sudah retak? Kau ini sudah disakiti sedemikian rupa, kau ini sudah tidak dianggap satu-satunya wanita dihidupnya—dia sudah berpaling, Hwang Violetta!"
Suara pria beruban itu mengeras. Kilatan matanya memerah.
Violet masih menunduk, ia tidak berani sedetikpun memandang wajah Ayahnya, selain mencicit dengan lirih. "Aku adalah seorang Ibu. Aku harus tampak kuat didepan anak-anakku, Aboeji. Aku tidak bisa membiarkan mereka hidup tanpa Ayah. Aku tidak mungkin tega membiarkan mereka berpisah satu sama lain."
Yoo Seok tentu tidak bisa menahan airmatanya. Disela kemurkaannya, disela kekesalannya, ia berlutut didepan Violet, lalu dua tangannya membingkai wajah itu. "Anakku, putriku. Si Wu sialan itu bisa-bisanya mengkhianati hati putri kecilku, bisa-bisanya dia merendahkan anak kesayanganku, bisa-bisanya!" Amarahnya membuncah lagi. "Aku harus memukul wajahnya, setidaknya sekali,"
"Aboeji," Violet mencegah Yoo Seok yang sudah siap berdiri dan meraih kunci mobil dimeja dengan pegangan erat ditangan. "Tetap disini saja, temani aku."
Yoo Seok terpaksa meredakan buncahan emosinya, lalu beralih memeluk Violet. "Aku akan melakukan sesuatu. Aku akan mengembalikan semua milikmu, Violet."
-ooo-
Kris menyadari perbedaan di rumahnya. Ada lebih banyak suara saling bersahutan, ada banyak tawa telah mengisi ruang tengah. Ia lantas melepas sepatunya dan segera bergabung dengan empat anaknya dan dua keponakannya disana.
"Sehun-a, Eunha-ya," sapa Kris, sambil melepas kancing teratas kemejanya. "Kalian sampai jam berapa tadi? Maaf, Samcheon tidak bisa ikut menjemput kalian."
"Tidak apa-apa, Samcheon. Kami sampai tadi siang, Samcheon." Sehun membalas dengan senyum ramah. "Justru kami yang merepotkan kalian,"
"Ne, Samcheon. Apalagi Sehun Oppa suka makan, dia pasti akan menghabiskan stok makanan disini," Ejekan Eunha itu hanya mendapat tatapan jengkel dari Sehun. "Gomapta, Samcheon,"
"Aigoo, repot apanya? Kyungsoo jadi punya teman mengobrol selain kakak-kakaknya yang kadang sibuk diluar rumah." Kris tentu tidak menyadari tiga pasang mata yang menatapnya pongah. "Kyung-a, sudah minum obat?"
Kyungsoo menoleh pada Kris, "Baru saja, Appa. Appa sudah makan?"
Chanyeol, Jongin, dan Baekhyun sama-sama menukar tatapan tidak suka. Mereka tidak mau peduli dengan interaksi Kris dan Kyungsoo, jadi ketiganya mengajak Sehun dan Eunha fokus lagi pada layar televisi dan melanjutkan film yang sempat terpause tadi.
Kris mengangguk bersama senyum sumringah, "Appa akan makan setelah mandi, Kyung-a."
Tapi, Kyungsoo malah terburu berdiri setelah berpamitan sebentar pada kakak-kakaknya dan sepupu-sepupunya. Lantas ia menghampiri Ayahnya. "Biar aku siapkan karena Imo sudah tidur. Jadi, Appa harus makan dulu, baru setelah itu mandi. Ya?" Ia akhirnya menyeret Kris menuju ruang makan dan mendudukkan Ayahnya disalah satu kursi. "Tunggu, aku panaskan supnya."
"Kyung-a, Appa bisa melakukannya sendiri," Kris memperhatikan anak bungsungnya itu sedang menyalakan kompor, meletakkan alat makan didepan Kris, dan kembali mengecek sup dipanci tersebut. Masih dengan tidak menghiraukan omongan Ayahnya. "Sekolah libur sampai kapan, Kyungsoo-ya?"
"Uh," Kyungsoo menggumam saat meletakkan semangkuk sup untuk Kris, lalu melanjutkan dengan sebuah kalimat. "Aku lupa. Nanti tanya Baekhyun Hyung saja, Appa." Kemudian, Kyungsoo terkikik sendiri. "Mumpung masih hangat, dimakan dulu, Appa."
Kris menyendok kuah sup itu lalu memandang wajah Kyungsoo yang duduk didepannya, "Kau baik-baik saja hari ini? Jantungnya tidak nyeri? Tidak sesak? Tadi pergi ke bandara pakai mantel, kan?"
"Aku baik-baik saja, Appa." Kyungsoo menopang dagu dengan dua tangannya sembari mengamati cara makan Ayahnya. "Hari ini aku senang sekali sampai-sampai tidak merasakan nyeri atau sesak sedikitpun, sungguh."
Kris tersenyum tipis, "Sekolah bagaimana? Kau tidak ngeyel ikut kelas olahraga, kan?"
"Aniya, Appa. Aku masih ingin hidup," Kyungsoo mencebik, "Oh ya, aku baru tahu kalau Jaehyun punya bibi dari Cina,"
Karena kalimat itu, Kris jadi menghentikan acara makannya, "Jaehyun cerita tentang bibinya padamu?"
"Aku bertemu dengannya kemarin," Kyungsoo menerawang sebentar, mengais ingatannya menuju hari itu. "Waktu ada kelas olahraga, bibi Jaehyun mengajakku berkenalan."
Kris sempat sanksi. "Di sekolah? Bagaimana bisa?"
"Katanya dia mengurus berkas-berkas Jaehyun, tidak tahu apa. Lalu, mampir sebentar untuk melihat Jaehyun, dan akhirnya bertemu denganku di tribun." tambah Kyungsoo, "Kalau tidak salah, namanya Luyi Luna. Orangnya cantik, tapi agak miste—"
"—uhuk!" Kris tersedak air putihnya. "Siapa? Siapa namanya?"
"Luyi Luna. Appa kenal?"
Kyungsoo menelisik mata Ayahnya yang bergerak-gerak liar memandang arah lain, Kyungsoo juga meneliti wajah Ayahnya yang rahangnya mulai mengeras.
"Appa kenapa? Appa sakit?"
"A—ah, tidak, Kyung-a." Kris berulang kali menggelengkan kepalanya. "Sana, main lagi,"
Kris tidak bermaksud mengusir Kyungsoo, tapi sungguh, pikirannya sedang berkecamuk sekarang. Kyungsoo tidak mempermasalahkan suruhan itu sehingga dia dengan senang hati memberi ruang untuk Ayahnya. Yah, meski ada setitik ragu soal keterkejutan Kris ketika ia menyebut nama bibi Jaehyun.
Sepeninggal Kyungsoo, Kris benar-benar lengah dengan dirinya sendiri. Bagaimana bisa wanita itu masuk lagi ke kehidupannya? Bagaimana bisa wanita itu datang tepat ketika Kris sedang menata ulang hidupnya? Bagaimana bisa wanita itu hadir ketika Kris sedang mati-matian membangun hubungan baik dengan anak-anaknya?
Mustahil. Ini harus dihentikan.