Tok. Tok.
Kyungsoo menurunkan punggung tangannya yang baru saja ia gunakan untuk mengetuk pintu kamar Chanyeol. Tapi, setelah menunggu beberapa detik, tidak juga ada sahutan yang mempersilahkannya masuk. Maka, Kyungsoo memberanikan diri untuk mendorong pelan pintu kamar tersebut dan mengintip sebentar situasi didalam sana. Chanyeol masih terlelap rupanya. Kyungsoo akhirnya berinisiatif untuk membuka tirai jendela lebar-lebar sehingga cahaya matahari dapat mencuri celah.
"Hyung, ireona," bisik Kyungsoo, sedetik setelah ia mendudukkan diri diranjang Chanyeol.
Chanyeol menggeliat setelahnya, tapi dua matanya masih terkatup rapat. "Di musim sedingin ini, teganya kau membangunkanku,"
"Aigoo, Hyung. Ayo, sarapan. Eunha dan Sehun sudah menunggu dibawah," Kyungsoo menyelipkan tawanya disana. Ia lantas menarik selimut tebal Chanyeol dan seketika membuat tubuh tinggi kakaknya itu meringkuk kedinginan. "Memangnya Hyung tidak kasihan pada mereka? Sehun dan Eunha sudah jauh-jauh kemari untuk liburan, tapi kita malah tidak mengajaknya kemana-mana,"
Chanyeol menyerah—ia terbangun dengan wajah menahan kantuk. Kini ia sudah terduduk sambil memeluk selimutnya. "Uh, Appa sudah berangkat ke kantor?" Namun, Chanyeol tetap harus mengantisipasi peristiwa yang berpotensi terulang kembali jika ia menemukan Ayahnya.
"Baru saja," Kyungsoo hanya bisa membalas sekenanya. Ia ikut duduk diranjang Chanyeol dan keduanya kini saling menatap. "Kenapa Hyung marah-marah lagi dengan Appa?"
Chanyeol menggeleng, seadanya. Tapi ia tahu, Kyungsoo tidak akan berhenti disini. Kyungsoo pasti akan mendesaknya bersama rasa ingin tahu, sebentar lagi akan ada cecaran-cecaran tanya yang tidak dapat dibungkam.
Jadi, Chanyeol mempersiapkan diri.
"Appa memaksa Hyung melakukan apa lagi? Hyung disuruh sekolah lagi? Hyung disuruh belajar bisnis lagi? Atau—"
"—Kyungsoo-ya," Chanyeol akhirnya menyetop, "Jangan memikirkan aku. Apapun masalahku dengan Appa, kau tidak perlu memikirkannya."
Kyungsoo menundukkan kepalanya dalam-dalam, lantas mencicit lirih, "Aku hanya khawatir kalau Hyung akan melakukan hal-hal yang membahayakan,"
"Hal membahayakan seperti apa?"
Kyungsoo terkesiap, "Seperti meninggalkan kita semua, pergi dari rumah ini. Aku tidak ingin Hyung melakukan itu,"
"Tsk," Chanyeol berdecak, menganggap bahwa guyonan Kyungsoo benar-benar tak masuk akal. "Aku tidak mungkin meninggalkan adik-adikku bersama monster sejahat Appa."
"Tapi, kenapa kalian membenci Appa?"
Chanyeol menemukan iris mata Kyungsoo sedang menyiratkan geram. Entah geram karena apa, Chanyeol hanya bisa menebak kalau Kyungsoo mungkin tidak terima jika Ayah yang ia banggakan dibenci sedemikian rupa.
Namun, ada juga gelenyar aneh yang menyergap Chanyeol tepat ketika bayang Ibunya melintasi pikirannya.
"Karena Appa selalu memaksakan kehendak kita. Mungkin belum terjadi padamu atau bagusnya, tidak akan pernah terjadi padamu. Tapi, bagi aku dan Jongin, semua paksaan itu benar-benar menyulitkan kita. Apalagi, sewaktu Eomma masih hdiup—kau bahkan tahu sendiri seberapa murkanya Appa pada Eomma karena dianggap terlalu memanjakanku dan Jongin. Kau ingat, 'kan, Kyung-a?"
Chanyeol mengatakan itu dengan satu tarikan nafas.
Sehingga Kyungsoo tergelagap sendiri. Padahal ia tidak bermaksud sama sekali untuk menyulut amarah Chanyeol, padahal tidak ada niat secuilpun untuk sengaja memihak Ayahnya dibanding kakak-kakaknya. Kyungsoo hanya sekadar bertanya—murni ingin tahu.
"Aku ingat, Hyung."
"Lalu, kau masih membela Appa? Eomma—Eomma, Eomma juga menderita karena Appa, Kyungsoo-ya,"
"Tapi, aku bukannya sedang membela Appa, Hyung,"
Tidak ada gunanya membela diri. Kyungsoo mengalah. Ia pikir, Chanyeol memang sedang banyak pikiran. Jadi, Kyungsoo hanya berusaha memakluminya dengan sebuah anggukan berarti kalah. Namun, disisi Chanyeol, ia sedang mati-matian untuk tidak mengatakan alasan terbesar tentang mengapa ia, Jongin, dan Baekhyun membenci Kris. Yah, karena hanya mereka bertiga yang tahu seberapa bejat Ayahnya menyakiti Ibunya dimasa lalu, seberapa kurang ajarnya Ayahnya membawa-bawa wanita lain dalam kehidupan mereka, dan seberapa egoisnya Ayahnya untuk mengatur semua jalan hidup anak-anaknya.
"Lupakan," Chanyeol mengibas tangannya didepan wajah, "Ayo, sarapan."
Kyungsoo memperhatikan Chanyeol yang mulai berjalan keluar kamar, ia sama sekali belum bergairah untuk memindahkan posisinya. Saat ini, Kyungsoo hanya akan berkutat dengan pikirannya sendiri—sekejam apa Ayahnya?
Ketika banyak kemungkinan memenuhi kepala Kyungsoo, jantungnya jadi berdetak dua kali lebih cepat sehingga ia meraih dada kirinya dan meremasnya pelan.
Kyungsoo akhirnya membuyarkan itu semua. Karena sungguh, ia tidak ingin di opname lagi.
-ooo-
Kris turun lift dan segera menuju ruang kerjanya. Ketika ia selesai membalas sapaan pegawainya, Yoona menghadangnya sambil berujar pelan. "Ada seseorang yang ingin bertemu dengan Anda, Sajang-nim." Kris merasa ia tidak membuat janji dengan siapapun, jadi siapa orang ini? Setelah mengangguk sekali, Kris akhirnya melewati Yoona.
Crap.
Seseorang itu adalah kiamat dikehidupan Kris.
"Ternyata kau belum pindah kantor, kau masih jadi pengusaha sukses disini. Ternyata kau juga belum pindah negara, untuk melupakan semua kekacauan disini. Nyatanya, kau tidak hancur-hancur sekali karena berhubungan denganku."
Ocehan tak berdasar itu belum bisa menyadarkan Kris.
"Kau masih ingat aku, 'kan? Yah, tentu saja. Mana mungkin kau melupakanku. Kau pasti merindukanku," Luna—Luyi Luna. Wanita berambut panjang sewarna magenta itu kini berbalik menghadap Kris. Semula ia mengagumi interior ruang kerja ini, semula ia memandang pemandangan kota lewat jendela besar. Tapi sekarang, Kris ingin Luna enyah dari hadapannya saat ini juga. "Kau masih tidak ingin melihatku, ya?"
Kris menutup pintu dibelakangnya demi menghalau suara-suara percakapan mereka. "Kenapa kau ada disini? Kenapa kita harus bertemu lagi?" Tatapannya menajam, suaranya berubah ketus. Itu sinyalir bahwa Kris tidak suka Luna hadir disini.
"Karena sudah tidak ada penghalang yang merusak hubungan kita,"
Kris memelototi Luna, dalam batinnya Kris terus menyumpah dan mengumpat.
"Jadi, ayo, menikah saja denganku,"
Kris pikir, Luna memang punya penyakit mental. "Keluar." Kris tidak perlu berbasa-basi lagi, ia tidak mungkin membiarkan kesalahannya terulang lagi. "Kubilang, keluar. Kau tuli atau tidak mengerti bahasa manusia?" Ia enggan berdebat, ia enggan memusingkan segalanya yang berhubungan dengan wanita ini. "Lagi pula, apa urusanmu mendatangiku lagi? Kita adalah dua orang yang tidak saling mengenal,"
Lebih-lebih, Kris tidak ingin meluapkan amarahnya disini.
Namun, Luna malah berjalan mendekat pada Kris. "Oh. Kau mengusirku lagi?"
"Kau bisa cari pria lain. Kenapa harus kembali lagi kemari?"
Kemudian, jemari lentik Luna sudah membelai dada Kris. "Kenapa aku harus mencari yang lain kalau aku yakin bisa kembali padamu?" Kris buru-buru menepis tangan Luna yang mulai merambah lehernya.
"Pergi. Pergi dari sini!"
Teriakan Kris barusan memang mengejutkan Luna. Tapi, ia tetap tersenyum, licik. "Oke. Aku pergi sekarang dan aku akan datang lagi—" Luna menjeda dengan kerlingan matanya. "—nanti."
Sepeninggal Luna, Kris malah limbung.
Ia tidak boleh goyah. Ia tidak boleh kembali pada lubang pesakitan yang sama. Luna sudah menurutinya selama dua tahun ini untuk tidak menemuinya lagi, tapi kenapa sekarang wanita penuh muslihat itu mulai mengganggunya?
-ooo-
Bar. Deretan gelas-gelas cantik dibelakang bartender terlihat bersinar. Kerlap-kerlip lampu disko memantul di lantai dansa. Sementara Jongin duduk di sofa mewah bersama Krystal sembari menyesap Martini mereka.
"Kenapa malah kau yang sering mengajakku kemari, Jongin-a?" Krystal mengisyaratkan Jongin untuk bersulang dengannya. "Oh. Kau sedang banyak pikiran, ya?"
Jongin meneguk minumannya tanpa memperhatikan Krystal, tapi samar mengangguk. "Kupikir, obat-obatan itu bisa menyembuhkanku," Krystal mengikuti arah pandang Jongin pada dua orang laki-laki yang sedang bertransaksi dengan menukar uang dan sebuah serbuk berwarna putih. "Ya, aku pasti bisa melupakan masa-masa pahit itu ketika aku selesai meminumnya,"
"Kau mau?" Krystal memelankan suaranya, "Kau mau jadi pecandu, hah?!" Kini, oktafnya meninggi. "Jangan gila,"
"Kau pernah menawariku heroine, Krystal-ah. Kenapa sekarang marah?" Jongin mengulas sebuah seringai.
Krystal memalingkan wajahnya, tapi dengan cepat menemukan wajah mabuk Jongin lagi. "Aku tidak bermaksud sejauh itu. Aku hanya ingin kau tahu dunia malam dan segala didalamnya, sebatas itu. Tidak sampai kecanduan dan—"
"—aku tidak akan sakau, Krystal-ah."
"Ceritakan," Krystal meletakkan gelasnya, lalu semakin memutus jarak bahunya dan bahu Jongin. "Ceritakan masalahmu, Jongin-a. Ini jauh lebih baik daripada kau harus terjerumus pada hal-hal menjijikkan itu,"
Namun, Jongin malah terkekeh. "Kau tidak akan mengerti," Lantas, menimang gelasnya sendiri.
"Oke." Krystal mulai jengah. "Mana uangmu? Mau kubelikan?" Ia menunjuk pengedar disudut ruangan dengan dagunya.
"Serius?"
Krystal mengangguk, pasti. Ia pikir, cara seperti ini bisa mempan memukul telak gengsi dalam diri pacarnya. "Sekalian. Kalau kau sudah kecanduan, aku bukan pacarmu lagi,"
"Hah—Hah."
Jongin sengaja memenggal tawanya.
Mana mungkin ia mengingkari janjinya pada Ibunya? Jongin tidak akan menjadi sama seperti Ayahnya. Untuk saat ini—entah nanti.
-ooo-
Makan malam baru saja usai dan Sehun menemukan Baekhyun sedang berayun di taman belakang.
"Kyungsoo sudah tidur?" tanya Sehun, sembari menyulutkan api pada ujung nikotinnya.
"Yap. Obatnya yang baru ini membuat Kyungsoo terus-terusan tidur," Baekhyun menyahut dengan tatapan hampa menuju langit malam tanpa bintang. "Awas, Hyung, bisa kena kanker paru-paru, loh," Kalimatnya mengacu pada asap rokok Sehun yang sudah mengaburkan pandangan Baekhyun.
"Nanti kalau kau sudah lulus sekolah, coba saja sebatang," Sehun menggerakkan dua kakinya maju-mundur agar gerak ayunan mengikuti ritmenya. "Oh ya, Chanyeol dan Jongin tidak merokok?"
Baekhyun malah terbahak, tidak bisa berhenti sampai dua detik. Sehun tentu heran, karena dimana letak lucunya. "Yah, kalau mereka sampai merokok, Appa bisa berubah jadi singa jantan yang sedang kelaparan, lalu menerkam mangsanya dan mencabik-cabik daging sampai tulang mereka," lanjut Baekhyun, sambil masih memegangi perutnya yang kegelian. "Setelah Chanyeol Hyung dan Jongin Hyung minum-minuman beralkohol saja, Appa sudah berkoar macam-macam sepanjang hari."
"Aku tidak pernah tahu Samcheon seketat itu," Sehun menghisap rokoknya, lantas meniupkan asapnya ke udara. "Tapi, mereka bebas pulang semalam apapun, ya?"
Baekhyun mengedikkan bahu, "Tidak sampai dini hari, sepertinya aman."
"Samcheon jarang pulang?"
Kali ini, Baekhyun melirik Sehun, sinis. "Kenapa jadi tiba-tiba menginterogasiku, Hyung?"