"Selamat ulang tahun, Kyungsoo-ya."
Kyungsoo tersenyum pada Violet—yang barusan berujar lemah dari ranjang tempatnya berbaring.
"Kau mau hadiah apa?" Violet berusaha meraih tangan Kyungsoo yang menggantung disamping badannya. "Eomma siap memberikan apapun untukmu,"
Kyungsoo menggeleng dua kali, "Aku hanya ingin Eomma sembuh. Tidak ada hal lain yang paling kuinginkan sekarang selain kesembuhan Eomma."
"Eomma 'kan besok sudah di operasi, Kyung-a," Jongin bergabung dan seenaknya mengacak rambut tebal Kyungsoo. "Ayo, tiup lilin kue ulang tahunmu dulu."
Kyungsoo membiarkan Jongin membawanya ke tengah ruangan. Disana, Kris, Chanyeol, Baekhyun sudah mengitari meja bulat dengan kue cokelat berhiaskan enambelas lilin kecil, apinya menyala-nyala sedang lelehan krim tampak begitu menggiurkan. Violet menyaksikan momen itu tersaji didepannya, ia bisa melihat suami dan keempat anaknya saling berbagi kesenangan lewat senyum yang menghias wajah mereka. Sungguh, sesuatu yang ia sedang dambakan.
Bagi Violet, ini adalah kenangan yang tak bisa digantikan.
"Tapi, aku tetap tidak boleh makan kuenya, kan?" Kyungsoo takut-takut mencuri pandang pada Ayahnya. "Boleh, ya, Appa? Ini 'kan hari ulang tahunku,"
Kris berpura-pura tidak peduli dengan menyedekapkan kedua tangannya, lalu menyahut, "Oke. Jadi, saat Jongin ulang tahun lusa, Kyung-a tidak makan kue ulang tahun Jongin Hyung, ya?"
"Eomma," Kyungsoo berbalik dan menemukan Violet sedang menertawakannya. "Eomma juga setuju dengan Appa?"
Chanyeol terkesima sesaat. Ia cukup terpukau dengan kemampuan bermain peran adik-adiknya didepan Kyungsoo dan Violet tepat setelah mereka tahu kebusukan Kris. Sejauh ini, mereka memang hanya berusaha semaksimal mungkin untuk tidak memicu permasalahan lain yang bisa menyebabkan Violet stress. Selain itu, mereka juga sedang menyembunyikan fakta kelam tersebut dari jangkauan Kyungsoo.
Jadi, apakah ia, Jongin, dan Baekhyun terlampau keterlaluan untuk membohongi dua orang yang paling mereka ingin lindungi sekarang?
Seharusnya, kepalsuan ini bisa berakibat baik.
"Tiup lilinnya sekarang, lalu segera potong kuenya, Kyung-a," Baekhyun menjadi satu-satunya yang menelan air liurnya berulang kali. Ia bahkan telah menghadapkan badan Kyungsoo pada kue dan lilin itu. "Nah, pada hitungan ketiga, kau harus menyelesaikan permohonanmu,"
Kyungsoo menurut. Ia memejam seiring merapal pintanya dalam hati. Tepat setelah hitungan Baekhyun selesai, Kyungsoo membuka mata dan menyapukan udara pada lilin-lilin diatas kuenya.
"Yay!"
Semua orang disana bersorak dan bertepuk tangan. Kyungsoo jelas merasa sangat senang. Di hari ulang tahunya ini, keluarganya masih berkumpul secara utuh. Bahkan meski pestanya sederhana—karena mereka merayakannya di kamar inap Violet—tapi, sungguh, Kyungsoo tidak mempermasalahkan itu sama sekali.
Kini, ia hanya akan menikmati pelukan hangat Kris, Chanyeol, Jongin, dan Baekhyun secara bergantian.
"Seharusnya dirayakan besok saja, setelah operasi Eomma selesai. 'Kan pestanya bisa jadi satu, ulang tahunku dan ulang tahun Jongin Hyung,"
"Ya, itu malah jadi aku ulang tahun sehari lebih cepat, Kyung-a." Jongin merangkul Kyungsoo sekejap, lalu melempar senyum sumringah pada saudara-saudaranya yang lain dan Ibunya disana. "Ayo, potong kuenya. Setelah itu, berikan potongan kue pertamanya juga,"
Kyungsoo mengangguk pada Jongin dan dengan sodoran pisau dari Chanyeol, ia akhirnya menggesekkan benda tajam tersebut agar membelah bagian tengah kuenya. Kemudian, Kyungsoo membaginya menjadi delapan bagian dan segera memindahkan potongan pertama menuju sebuah piring kecil.
"Whoa, Appa kira kue pertamanya untuk Appa," Kris mengikuti kemana arah kaki Kyungsoo melangkah dan ternyata anak bungsunya itu menuju ranjang Violet.
"Kue pertama sebenarnya untuk Eomma dan Appa." Karena enggan dianggap pilih kasih, Kyungsoo akhirnya berkelit, "Jadi, kalian bisa memakannya berdua,"
"Mana bisa begitu?" Kris menyusul posisi Kyungsoo dan menyisakan Chanyeol, Jongin, dan Baekhyun sebagai penonton.
Violet tertawa sembari menerima sodoran kue Kyungsoo, "Tapi, Eomma sedang puasa. Eomma 'kan besok akan operasi, Kyungsoo-ya. Jadi, kue pertamanya untuk Appa saja. Ya?"
"Ah, benar juga." Kyungsoo merebut kembali piring tersebut dari tangan Ibunya dan mendorongnya perlahan menuju Ayahnya. "Ini Appa. Nah, kue pertama ini untuk Appa."
"Potongan kedua? Mana diantara kakak-kakakmu ini yang paling menyayangimu, Kyung-a? Itu pasti aku, 'kan?" Chanyeol membanggakan dirinya sendiri dengan berulang kali membusungkan dadanya kedepan.
Setelah Kyungsoo memastikan Kris memakan kue itu, ia bergegas untuk mengambilkan potongan kedua. Setelah berpikir cukup lama sambil menimbang sana-sini, Kyungsoo akhirnya berjalan menuju—tentu saja, Baekhyun.
"Baek-ie Hyung, karena Baekhyun Hyung yang tidur sekamar dengan—"
"—ya, kalau begitu, mulai besok, aku akan tidur sekamar denganmu,"
Baekhyun terpingkal melihat reaksi Chanyeol. Ia lantas membiarkan Kyungsoo meletakkan piring kue itu ditangannya yang tertadah sambil mencibir, "Chanyeol Hyung saja yang terlalu percaya diri. Memangnya ada alasan yang menjanjikan sampai-sampai Kyungsoo harus memilihmu?"
Chanyeol dan Baekhyun terus beradu mulut sementara Jongin tidak peduli dengan tradisi potongan pertama potongan kedua itu, asal perutnya lebih dulu kenyang. Jongin memilih untuk mengambil bagiannya sendiri dan memakan sesuap demi sesuap sambil menonton saudara-saudaranya yang hobi bercanda didepannya.
"Jongin-a," Violet memanggil dan Jongin segera memenuhinya dengan mulut penuh isi kue.
"Wae, Eomma?"
"Nanti, setelah Kyungsoo makan kuenya, tolong kau pastikan benar-benar bahwa Kyungsoo minum obatnya juga, ya." Jongin terkesiap. Ia bukannya ingin diperhatikan sama seperti Violet memperhatikan Kyungsoo. Tapi, mengapa dikondisi paling buruk Ibunya, wanita itu sempat memikirkan orang lain?Meski tak pelak, orang lain itu adalah darah dagingnya sendiri alias adik Jongin juga. "Jongin-a, makannya pelan-pelan. Noda cokelatnya kemana-mana, tahu,"
Jongin membiarkan jemari Violet menghapus noda cokelat yang tadi disebut dari sisian bibirnya. Kemudian, matanya malah bertemu dengan mata Kris diseberang sana. Jongin pikir, kenapa Ibunya tidak meminta tolong hal itu pada Ayahnya?
"—Jongin,"
"Oh," Jongin sadar karena barusan adalah suara bariton Kris. "Ya, Eomma tidak perlu sekhawatir itu." Jalur praduganya berakhir.
Violet tersenyum pada Jongin, lantas menukar tatapan pada Kris. "Yeobo, tanggal empatbelas nanti, jangan lupa belikan kue tiramisu untuk kue ulang tahun Jongin,"
Kris mendekatkan dirinya pada Violet sembari merengkuh badan setengah duduk istrinya itu. Ada kalut yang menyergap, ada gusar yang menerpa—Kris merasa acak dengan pikiran dan perasaannya sendiri. Ia memikirkan banyak hal mengenai Violet, ia juga menaruh perasaan begitu dalam pada Violet. Kris lebih-lebih takut, ia takut sesuatu yang buruk akan terjadi.
"Ten—Tentu, Yeobo. Aku pasti membelikan kue kesukaan Jongin," Kris memindah tatapannya pada Jongin. Tapi, anak nomor duanya itu memilih untuk menundukkan kepala. "Kau masih suka tiramisu, 'kan, Jongin-a?"
Ketika Jongin menggerakkan kepalanya, yang terpikir dalam benaknya hanya satu.
Mengapa Ibunya mengatakan hal seperih ini? Meski mengingat hari ulang tahun dan kue kesukaannya sangatlah wajar bagi seorang Ibu—tapi, di waktu-waktu seperti ini, kalimat itu bagai badai di batin Jongin.
-ooo-
Musim dingin hampir berakhir. Salju-salju tidak turun sederas di bulan Desember.
Hari demi hari berlalu dan Jin Il masih berunding dengan Yun Mi tentang permintaan Kris, tanpa menemukan solusi. Hari demi hari berlalu dan Chanyeol sudah hampir menyelesaikan tesisnya, ia bisa lulus tahun ini juga. Hari demi hari berlalu, Jongin sibuk dengan klub dancenya dan Krystal tentu saja. Hari demi hari berlalu, Baekhyun masih setia menjadi kutu buku demi mempersiapkan ujian akhir kelulusannya.
Tapi, Kyungsoo tidak punya hal lain untuk dilakukan selama liburan ini.
"Appa, aku boleh ikut Appa ke kantor?"
Kris melirik sebentar pada kepala Kyungsoo yang menyembul di pintu kamarnya. "Lalu, kau mau apa disana, Kyung-a? Justru di kantor Appa, kau akan merasa lebih bosan. Lagi pula, diluar rumah sangat dingin." Lantas, ia mematut diri didepan cermin sembari membenahi letak dasinya.
Kyungsoo akhirnya melangkah masuk dan duduk diranjang tidur seukuran King itu. "Yah, ayolah, Appa. Aku sudah mandi, loh,"
Kris bisa menemukan wajah memelas Kyungsoo lewat pantulan cermin, sehingga Kris akhirnya berbalik dan terpaksa tidak bisa menghiraukan si bungsu ini, "Bawa obat dan makan siang sekalian. Jangan lupa pakai mantel,"
"Yay!" Kyungsoo memekik sekaligus melesat keluar kamar.
Setelah lampu hijau dari Kris dinyalakan, Kyungsoo segera mengganti bajunya, meminta Bibi Han untuk membungkus makan siangnya, dan menyiapkan obatnya sendiri.
Kris menggeleng demi memaklumi tingkah Kyungsoo. "Dasar, bocah."
Saat ia keluar kamar, Chanyeol sedang melekatkan tatapannya pada layar laptop. "Chanyeol-a, istirahat dulu. Kau bisa pergi main dengan teman-temanmu, ini masih liburan." tegurnya.
"Aku harus lulus tahun ini," Chanyeol tidak membalas tatapan Kris. "Aku harus wisuda tahun ini,"
Kris menghela nafas, "Tapi, jangan terlalu memaksakan diri seperti itu. Kau bisa sakit,"
Chanyeol mendengus, ada seringai yang tertangkap oleh mata Kris. "Masa bodoh dengan sakit, yang penting aku bisa memberi Appa gelar yang Appa mau,"
"Appa, ayo!"
Kris mengatupkan kembali mulutnya, tidak jadi menyangkal kalimat Chanyeol, karena Kyungsoo sudah berada ditengah mereka.
"Hyung, nanti kalau Jongin Hyung dan Baekhyun Hyung bangun, suruh cicipi Chocolate Mousse yang aku buat, ya. Itu aku buat agak terlalu manis. Sesuai dengan selera kalian,"
Kali ini, Chanyeol mengesampingkan laptopnya demi menemukan mata bulat Kyungsoo yang berbinar. "Memangnya, kau kurang percaya kalau hanya aku yang berpendapat? Menurutku, sudah enak, loh,"
Kyungsoo menggeleng, "Semua orang harus mencobanya," Kemudian, ia beralih pada Kris yang termangu disebelahnya. "Ayo, Appa nanti terlambat." Lantas, Kris mengikuti arah tarikan Kyungsoo sambil masih memikirkan omongan Chanyeol tadi. "Oh, semangat mengerjakan tesis, Hyung!" Kyungsoo berbalik sebentar dan melambai pada Chanyeol.
Punggung Kris dan Kyungsoo pun bergerak semakin menjauhi jarak pandang Chanyeol, lama-kelamaan menghilang dibalik pintu utama. Tersisa Chanyeol di ruang tengah seluas ini, bersama layar laptop yang menyala dan pikirannya yang buntu.
Chanyeol sadar, kalimat yang ia tujukan untuk Ayahnya itu—apa sudah melewati batas?
-ooo-
Seharusnya di tanggal ini, mereka merayakan ulang tahun Jongin. Seharusnya di tanggal ini, ada kue tiramisu kesukaannya dan duapuluh lilin kecil diatasnya. Seharusnya, mereka tidak berada di tempat ini. Seharusnya, hari ini tidak berbeda dengan tanggal duabelas kemarin, tanggal dimana Kyungsoo yang berulang tahun.
Sekarang, mereka berlima malah berdiri sejajar menyambut para pelayat.
Sekarang, setelan tuksedo hitam putih yang mereka kenakan.
Sekarang, mereka malah berkabung.
Violet tidak disini lagi. Ibu Jongin itu tidak merayakan hari ulang tahunnya.
Jongin gerah. Ia memacu langkah keluar ruangan dan sampai di balkon rumah duka. Ia tidak peduli dengan panggilan Kris atau pun Chanyeol, yang Jongin pedulikan saat ini adalah penyembuhan untuk rasa sakit dihatinya. Ketika ingatannya melayang pada hari kemarin, Jongin tidak bisa menahan tangisannya.
Ia masih ingat ketika Violet membisikkan sesuatu ditelinganya, tepat sebelum perjalanan menuju ruang operasi, tepat sebelum para perawat memasangkan oxygen mask ke hidung Violet, tepat setelah Jongin selesai menciumi pipi Ibunya—untuk yang terakhir kali.
Violet masih sempat menggumamkan, "Saengilchukkae, Jongin-a, Eomma bangga sekali padamu. Kau telah melakukan yang terbaik. Tetap berjuang, ya. Selamanya, Eomma selalu menyayangimu, Jongin-a." Ibunya berkata demikian dengan nafas terputus-putus.
Jongin diam.
"Maaf, Eomma mengucapkannya sekarang. Anggap saja Eomma adalah orang pertama yang mengucapkannya,"
Jongin membiarkan tangisnya tak teredam. Ia masih berusaha menerima takdir yang sama sekali tidak adil ini. Bagaimana bisa wanita itu meninggalkan keluarganya disaat-saat mereka paling membutuhkan dirinya? Bagaimana bisa wanita itu memilih pergi disaat harapan Jongin mulai tumbuh pesat?
Ini jelas hari ulang tahun terburuk Jongin.
"Jongin-a, sshh, ada Appa disini," Jongin membiarkan tangan Kris terkalung di lehernya. Ia tidak tahu sejak kapan Ayahnya itu ada disini. Jongin sama sekali tidak punya tenaga untuk menepis elusan lembut Kris di lengannya. "Kau harus kuat, kau pasti bisa melalui ini, Jongin-a. Kita berjuang bersama-sama, ya?"
Jongin semakin meloloskan tangisannya, "WAE?!" Ia sengaja berteriak. "Wae—Waeyo?!" Ia mulai histeris, kemudian memerosotkan badan dan bersandar pada besi balkon. "Geundae Wae, Appa?!"
Kris tentu merasakan hal yang sama seperti Jongin. Ia tidak membayangkan bagaimana menjadi Jongin. Di hari yang seharusnya bahagia ini, di hari yang seharusnya penuh tawa ini, malah berakhir tragis dan pilu. Kris tidak bisa mengobati siapa-siapa, pun dirinya sendiri. Ia memeluk Jongin, membawa anak nomor duanya berada dalam dekapan eratnya. Kris bahkan tak peduli lagi seberapa banyak tetes air mata yang kini membasahi kepala Jongin.