"Kyungsoo hari ini ulang tahun, Imo."
"Jinjjayo?" Luna membolakan mata tepat setelah Jaehyun menyelesaikan kalimatnya. "Ayo, kita harus ke rumahnya dan membawakannya hadiah."
Jaehyun memutar bola matanya, malas. Ia memandangi Luna yang tiba-tiba membelokkan setir menuju sebuah toko kue. "A-Aniyo, Imo. Kyungsoo tidak boleh makan makanan manis."
"Oh. Kau benar, Imo lupa." Luna tidak jadi memarkirkan mobilnya, kembali menyetir dengan serius dan—senang. Ia akhirnya punya kesempatan untuk menemui Kris lagi. "Kalau begitu, kita beli apa?"
"Apa, ya? Kyungsoo tidak pernah cerita hal-hal yang dia suk—oh! Bagaimana kalau kita beli buku resep atau alat-alat masak? Kyungsoo suka masak,"
Luna mengangguk sekali sambil menjelikan matanya pada bangunan-bangunan yang ia lewati.
Kemudian, "Oke. Disini." Tahu-tahu saja, Luna menghentikan mobilnya di tempat yang berhubungan dengan 'masakan' seperti yang Jaehyun sarankan. "Toko ini jual alat-alat masak. Karena kau tidak tahu apa-apa, biar Imo yang pilihkan hadiahnya."
Jaehyun hanya menurut dan membiarkan Luna masuk ke toko itu sendirian. Ia tetap di mobil sembari mendengarkan lantunan musik-musik hardcore kesukaannya. Sedangkan Luna, ia telah mengitari seisi toko dan menyerah. Terlalu banyak barang bagus disini sehingga ia putuskan untuk membiarkan si penjaga toko yang memilihkannya. Tidak sampai tigapuluh menit, Luna kembali ke mobil dengan sebuah paper bag besar dan segera meletakkannya dibelakang. Jadi, Jaehyun pun melepas headphonenya dan mengakui totalitas Luna sekarang.
"Itu pakai uang Imo berarti, ya?"
Luna selesai memasang sabuk pengaman, baru menoleh pada keponakannya. "Ne, ini berarti hadiah dari Imo. Bukan hadiah darimu. Sahabat macam apa yang—"
"—Imo!" Jaehyun memberengut, "Bilang saja, itu hadiah dari kita berdua. Ya?"
Luna tertawa, lantas mengacak rambut Jaehyun yang sudah tertata rapi itu. "Arrasseo." Ia menjalankan mesin mobilnya, kali ini dengan kecepatan yang lumayan. Jadi, mereka pun tiba di rumah mewah keluarga Wu dalam sepersekian menit. "Nah. Ayo, turun. Oh ya, bawakan hadiahnya."
Jaehyun mengambil bingkisan dibelakang sana dan lebih dulu turun dari mobil. Ketika Luna menyusulnya, ia menyenggol lengan wanita itu dengan sengaja. "Memangnya Imo yakin, Ayah Kyungsoo ada di rumah?"
Luna mengangkat kedua bahunya, "Entahlah. Si gila kerja itu memang tidak pasti ada di rumah di jam segini. Tidak masalah. Tujuan kita 'kan bertemu Kyung—astaga. Apa kakak-kakak Kyungsoo juga ada di rumah, ya?"
Karena bagaimana pun, tiga anak tertua keluarga Wu sudah cukup tahu seperti apa rupa wanita yang telah berselingkuh dengan Ayah mereka. Anak-anak jaman sekarang memang pintar bermain teknologi, termasuk menyelidiki seseorang lewat media sosial—tentu tidak sulit. Luna bahkan masih ingat seberapa kasar cacian maki yang anak-anak itu layangkan padanya, yang membuat ponselnya terus bergetar tak mau diam. Semua itu dari mereka. Satu-satunya yang tak mengerti masalah tersebut adalah Kyungsoo.
"Tentu saja, Imo. Ini 'kan sedang liburan. Mereka pasti di ru—"
"—Anda sedang cari siapa?"
Yun Mi muncul di depan pagar. Setelah ia mengecek intercom, dua orang ini tampak mencurigakan jika dibilang datang sebagai tamu.
"Oh, Jaehyun-a." Tapi, wanita senja ini masih ingat bahwa Jaehyun—yang barusan membungkuk—itu adalah teman anak majikannya, Kyungsoo. "Kau cari Kyungsoo, ya? Kebetulan Kyungsoo ikut Tuan Kris ke kantor, jadi, dia tidak di rumah."
"Kalau begitu, sampaikan hadiah ini saja untuk Kyungsoo, Imo. Tolong bilang padanya kalau ini dari Jaehyun dan bibinya, ya, Imo." Jaehyun mengambil alih kebisuan Luna disana. "Kami pamit, ya, Imo."
Yun Mi menerima pemberian Jaehyun itu sambil mengangguk-angguk dengan senyuman ramah. Ia beralih pada Luna juga dan memberi satu bungkukan badan, sopan. "Aigoo, terima kasih banyak, Jaehyun-a dan bibinya."
Luna terpaksa menggagalkan rencananya bertemu Kyungsoo. Ah, bukan terpaksa menggagalkan, tapi memang kenyataannya adalah gagal. Sehingga ia putuskan untuk segera pergi dari sini, resikonya terlalu besar. Bisa saja kakak-kakak Kyungsoo melihatnya disini dan menghajarnya habis-habisan.
Setelah memastikan mobil Jaehyun dan Luna tidak lagi disana, Yun Mi masuk ke rumah sambil tak berhenti mengulas senyum bahagia—bagaimana pun, ia cukup senang, Kyungsoo memiliki teman seperhatian Jaehyun. Namun, tepat setelah selesai menutup pintu, Yun Mi malah menemukan tubuh jangkung Chanyeol sedang bersedekap. Wajahnya terlihat begitu—marah? Chanyeol berdiam seperti itu sambil memandangi layar intercom.
"Waeyo, Chanyeol-a?"
"Buang hadiah itu, Imo. Jangan berikan pada Kyungsoo." Desisannya tajam. Matanya tak berpindah. "Jangan tanya alasannya,"
"Ta—tapi, ini dari Jae—"
"Kubilang, buang hadiah itu sekarang juga!"
Yun Mi tidak punya pilihan lain. Chanyeol tidak pernah terlihat semarah ini.
-ooo-
Tigabelas Januari.
Duableas Januari berlangsung biasa-biasa saja. Kyungsoo tidak mau semua orang mengasihaninya di hari ulang tahunnya. Jadi, ia menyibukkan diri dengan mengikuti Kris ke kantor lagi kemarin—sekaligus untuk mengawasi apa saja yang sekretaris itu lakukan. Empatbelas Januari masih abu-abu. Jongin tidak memberitahu Krystal bahwa besok adalah hari ulang tahunnya. Ia juga tidak ingin ada pesta, kue dan lilin, atau apapun itu yang mengindikasikan hari ulang tahunnya harus meriah. Jongin persetan dengan hal itu, jika tahun lalu saja, ulang tahunnya dirayakan di rumah duka.
Hari ini—hari peringatan kematian Ibu mereka.
Chanyeol masih berkutat dengan pikirannya sendiri sejak kemarin. Mengapa wanita gila itu berani memunculkan diri didepan rumahnya? Chanyeol tak habis pikir. Ia juga tidak mungkin menceritakan itu pada Jongin dan Baekhyun—mereka bisa lebih geram dari pada dirinya. Baekhyun hanya menjalani hari ini seperti biasa. Meski ia sedang mati-matian menahan tangisannya sekarang. Ia tidak mengerti mengapa Chanyeol terus-terusan memasang wajah super murung sejak kemarin. Mereka semua juga mengira, Chanyeol begitu karena hari ini mereka ada disini.
Tempat abu Ibunya disimpan.
Kris menempelkan sebuket bunga berukuran kecil di kaca sana. Lantas, memandangi foto-foto yang berada didekat guci abu istrinya. Foto Violet dengannya, berdua saja. Foto Violet dengan keempat anaknya. Foto Violet dengan Kris dan anak-anaknya, sekeluarga, utuh.
"Annyeong, Violetta Hwang," lirih Kris, telah disapu udara.
Setelah beberapa lama memanjatkan doa, lima tundukan kepala itu akhirnya mendongak—masing-masing telah menyeka air mata mereka.
"Aku dan anak-anak akan pulang, Yeobo,"
Chanyeol, Jongin, Baekhyun, dan Kyungsoo mengikuti langkah kaki Kris, meski sengaja menciptakan jarak yang cukup jauh disana. Mereka keluar dari gedung ini dengan sesak di dada, dengan sakit di hati, dengan kepala berdenyut, dan dengan sekujur tubuh merinding. Ingatan-ingatan masa lalu hadir lagi—tentang kepergian Ibunya tepat di tanggal ini tahun lalu, benar-benar menyisakan trauma yang mendalam, benar-benar dalam sampai membuat mereka sulit menarik nafas.
Setelah keluarga Wu meninggalkan gedung ini dan telah menuju pelataran parkir—Hwang Yoo Seok keluar dari himpitan dinding dan berjalan mendekat pada abu anak bungsunya.
"Violetta, anakku sayang. Ini Appa, Nak. Ini—Appa."
Kemudian, tangisannya menggugu disana.
-ooo-
"Saengilchukkae, Jongin-a!"
Setelah Jongin membukakan pintu rumahnya, Krystal disana dengan kue tiramisu berlilin-lilin kecil diatas tangannya. Senyumnya tak pudar, wajahnya berseri bukan main.
"Ya! Sampai kapan kau akan memandangiku terus? Setidaknya, tiup dulu lilinnya, lalu biarkan aku meletakkan kue ini—ah, astaga, pegal juga,"
Tapi, Jongin bergeming. Ia tidak suka. Ia benci hal ini. Tiga hari ini—ia tak berhenti mengurut dadanya sendiri ketika memori kelam itu merasukinya. Tiga hari ini—ia terpaksa harus membenamkan diri dalam pesakitan-pesakitan lama. Tiga hari ini—adalah tiga hari dalam setahun yang paling berat baginya.
Jongin benci hari ulang tahun Kyungsoo. Jongin benci hari peringatan kematian Ibunya. Jongin benci hari ulang tahunnya sendiri.
"Siapa, Hyung?" Kyungsoo heran mengapa Jongin malah tertegun. "Whoa, ada Krystal Nuna!"
Kyungsoo tahu Jongin tidak mungkin meniup lilin itu apalagi memakan kue tiramisunya. Jadi, ia mengisyaratkan Krystal untuk duduk di ruang tamu dan mengesampingkan kue serta lilin-lilinnya agar jauh dari pandangan Jongin.
"Uh, kau tidak suka aku kemari, ya, Jongin-a?"
Jongin berbalik dan mendapati Krystal sedang bersandar pada sofanya dengan raut kesal. "Bu—bukan begitu. Aku tidak pernah bilang padamu bahwa hari ini aku ulang tahun, tapi—"
"—ah, Jongin Hyung hanya terlalu senang, Nuna." Kyungsoo harus segera menyetop terusan kalimat Jongin sebelum laki-laki itu melukai perasaan pacarnya. "Tadi malam saja, sewaktu kita semua mengucapkan selamat ulang tahun tepat jam duabelas malam, Jongin Hyung tidak berhenti senyum-senyum seperti orang gila saking senangnya,"
Krystal tersenyum pada Kyungsoo, lantas memandang tatapan Jongin yang kosong. "Apa aku salah memberimu kejutan seperti ini? Apa aku tidak boleh tahu kapan kau ulang tahun?" Krystal kembali pada topik awal, pengalihan Kyungsoo tidak seratus persen berhasil.
"Aku suka,"
Namun, hanya sebatas itu, Jongin tidak melanjutkan kalimatnya sehingga Krystal berkesimpulan sendiri—bahwa ia memang telah salah langkah.
"Aw! Kue tiramisu!" Baekhyun menyusul dengan lompatan-lompatan girang. Ia bahkan tidak butuh ijin siapapun untuk menyapukan telunjuknya pada kue itu, lantas menjilatinya. "Uhm, enak sekali, Krystal Nuna,"
"Potong saja kuenya, Baek-a. Sepertinya kakakmu tidak mau,"
Itu sindiran telak. Karena pernyataan Jongin tidak sesuai dengan realitanya. Jongin bilang dia suka, tapi lihat, reaksinya saja seperti enggan terlibat.
Baekhyun dan Kyungsoo sama-sama menukar pandangan. Ketegangan ini benar-benar mengerikan.
"Ya, Jongin-a! Kaus baseballku apa sudah sele—oh, hai, Krystal." Chanyeol segera menurunkan oktaf suaranya dan tiba disebelah Jongin. Ia tahu adiknya ini sedang bergelut dengan traumanya sendiri, Krystal mungkin belum mengerti. Jadi, Chanyeol buru-buru menyikut rusuk Jongin sambil berbisik, "Sssh, Krsytal tidak tahu apa-apa, kau tidak berhak semarah ini,"
Jongin merasakan remasan tangan Chanyeol dibahunya sedikit mengusir egonya sendiri.
"Chanyeol Hyung, silahkan tiup lilinnya,"
"Aku yang ulang tahun, kenapa Chanyeol Hyung yang tiup lilin?" Jongin memandang sebal pada Krystal yang barusan bersuara. Lantas, ia melebarkan senyum sambil menggaruk tengkuknya. Krystal jadi tidak bisa tidak balas tersenyum, ia lega sekarang. "Tunggu, aku buat permohonan. Kalian harus siap bertepuk tangan setelah ini,"
"Saengilchukka Hamnida, Saengilchukka Hamnida, Saranghaneun Uri Jongin, Saengilchukka Hamnida!"
Nyanyian Chanyeol, Baekhyun, Kyungsoo, dan Krystal pun memenuhi ruang tamu sampai akhirnya Jongin menyelesaikan permohonannya dan meniup lilin-lilin tersebut.
"Yay!"
Semua orang bertepuk tangan dan bersorak gembira. Jongin tidak tahu ternyata melupakan sejenak traumanya—cukup menyenangkan.
"Nuna, kemarin lusa aku ulang tahun, loh." Kyungsoo mengedip pada Krystal.
"Aigoo, kau ingin diucapkan selamat ulang tahun atau ingin hadiah, Kyungsoo-ya?" Krystal pun menyentil pelan hidung Kyungsoo. "Bilang apa saja, nanti Nuna kabulkan."
"Apa, ya? Terserah Nuna saja," Kyungsoo mengedikkan bahunya sekilas.
Krystal lalu terbahak dan segera menyambung, "Saengil Chukkae, Kyungsoo-ya. Maafkan Nuna terlambat mengucapkannya, ya?" Kyungsoo jelas membalasnya dengan anggukan dan senyuman memaklumi.
Ketika semua orang disini menikmati kue ulang tahun Jongin, Kyungsoo tidak mungkin membiarkan dirinya tergiur. Jadi, saat pesan dari Jaehyun masuk, Kyungsoo membacanya dengan seksama.
"Hyung, apa kemarin lusa, ada hadiah dari Jaehyun?"
Kontan saja, pertanyaan Kyungsoo barusan mendapat delikan dari Chanyeol yang tak mampu menjawab apapun.
"Tidak ada," Baekhyun menyambar sambil meminta opini lain dari Jongin, "Ya, 'kan, Hyung?"