Rumah mewah keluarga Wu hanya terisi oleh lima orang laki-laki sekarang.
Terlampau kosong, tapi tidak banyak yang bisa mereka keluhkan. Terlampau hampa, tapi tidak banyak yang bisa mereka lakukan. Sepi. Hari-hari berlalu bersama pembiasaan diri masing-masing penghuni. Terima tidak terima, mau tidak mau—mereka harus mandiri.
"Aku akan mengerjakan yang ringan-ringan saja, Hyung," Kyungsoo merebut kain lap dari tangan Baekhyun. "Contohnya, membersihkan meja ini,"
Cengiran Kyungsoo itu tidak bisa Baekhyun tolak. Jadi, ia biarkan saja adiknya mengelap meja ruang tengah sementara dia berlalu menuju dapur. Ada Chanyeol dan Jongin disana, sedang menata belanjaan.
"Hyung, baju-baju kita sudah di laundry, kan?" tanya Jongin, pada Chanyeol.
Chanyeol tidak sempat menoleh karena ia sibuk memilah mana sayuran mana protein, sehingga ia bisa menyalurkannya pada Jongin yang sudah siap di pintu kulkas. Tapi, tetap ada sahutan melalui suara baritonenya, "Appa sudah meminta pihak laundry mengambil baju-baju kita, kok. Ya, 'kan, Baek-a?" Chanyeol melempar umpan pada satu lagi adiknya yang baru saja datang sambil mengantongi dua tangan disaku celana.
"Yap. Tadi pagi aku lihat orang laundry sudah ambil bajunya," Baekhyun meneliti sebentar pekerjaan kakak-kakaknya, lalu berdeham, "Siapa yang akan mengepel setelah ini?"
Jongin akhirnya selesai meletakkan bahan-bahan yang tadi disalurkan Chanyeol padanya. Setelah menutup pintu kulkas, ia berkacak pada Baekhyun, "Bagaimana kalau kau saja, Wu Baekhyun?" Kemudian, senyum misteriusnya tampak menjijikkan bagi Baekhyun. "Tidak mungkin Kyungsoo, kan?"
Baekhyun memutar bola matanya, malas. Ia juga menambahkan satu embusan nafas. "Ya. Oke. Aku saja," Lantas, langkahnya berderap untuk menyiapkan peralatan mengepel lantai.
"Appa, mau kemana? Ini hari Minggu, loh,"
Chanyeol dan Jongin tidak mendekat kesana, mereka memilih untuk mencuri dengar dan mencuri lihat dari jarak sekian meter ini. Itu interaksi Kris dan Kyungsoo—yang akhir-akhir ini terlihat tegang.
Kris baru saja selesai menuruni tangga dan sedang merapikan jas sewarna biru lautnya. Necis sekali. "Ah, Appa, uh, ada pertemuan mendadak dengan klien Appa, Kyungsoo-ya."
"Di hari libur seperti ini?" Kyungsoo memicing, tampak luar biasa sanksi. "Apa sepenting itu?"
"Wae wae, Hyung?" Baekhyun tahu-tahu saja sudah terselip diantara Chanyeol dan Jongin, akhirnya mengikuti apa yang dilakukan kakak-kakaknya—mengintip. "Kenapa lagi? Ada yang aneh, ya?"
"Sshh, diam," Jongin menempelkan telunjuknya dibibir, isyarat bagi Baekhyun. "Simak dulu baik-baik, makanya,"
Jadi, fokus mereka kembali terpusat pada pembicaraan Ayah dan si anak bungsu.
Kris mengubah ekspresinya, memelas. "Appa juga tidak ingin melakukan rapat di hari libur seperti ini, Kyung-a. Tapi, ini benar-benar penting." Ia mengesah, "Lagi pula, biaya operasimu juga harus segera dilunasi. Appa sekarang sedang mencari uang sebanyak-banyaknya, termasuk untuk membayar itu, Kyung-a."
"Oh. Baiklah." Kyungsoo memutar badannya lagi, kembali menghadap pada meja ruang tengah dan berangsur mengelapnya perlahan.
Namun, Kris jadi merasa bersalah, bukankah omongannya barusan keterlaluan?
"Kyungsoo-ya, Appa tidak bermaksud seperti yang kau pikirkan sekarang," Kris hanya sedang mencari celah untuk kembali membuka hati Kyungsoo. "Ya sudah, kau tidak boleh terlalu lelah. Jangan lupa setelah makan harus minum obat. Appa berangkat, ya."
Bukan hanya Kyungsoo yang mempermasalahkan tabiat tak biasa Kris. Tapi, kesemua anak-anaknya. Sejak lama dan entah mengapa, hari ini tampak semakin ambigu.
Sepeninggal Kris, tiga kakak Kyungsoo yang baru saja bersembunyi itu berjalan menuju ruang tengah, menyusul Kyungsoo. Namun, tidak sampai semenit, Kyungsoo tiba-tiba membanting kain lapnya dan menghela nafasnya keras-keras, kini dirinya berhadapan dengan Chanyeol, Jongin, dan Baekhyun yang menguarkan aura keheranan.
"Appa kenapa, sih? Seperti akan pergi kencan saja,"
Tak pelak, pemikiran Kyungsoo itu juga turut dibenarkan kakak-kakaknya.
-ooo-
Nyatanya, Kris telah melakukan sebuah dosa. Klien yang ia maksud adalah Yoona, Im Yoona—sekretarisnya.
"Jadi, saya sudah boleh memanggil Anda dengan sebutan Kris-ssi?"
Kris menimang sebentar, lalu memberi anggukan sekilas. "Yah, hanya jika kita sedang diluar pekerjaan." Ia memutuskan hal ini karena menurutnya, sudah cukup banyak waktu yang Kris dan Yoona lalui. Jadi, mendengar perempuan ini terus memanggilnya 'Sajang-nim', itu sungguh terdengar kaku. "Aku ingin bertemu denganmu, bukan bermaksud apapun. Hanya ingin mencari udara segar saja,"
Yoona tidak yakin bahwa Kris barusan sedang meluruskan sesuatu. Menurutnya, pertemuan siang hari ini, di hari Minggu setenang ini, merupakan hal yang berarti lain. Yoona memperhatikan Kris mengusap noda kopi hitam yang tercetak di sudut bibirnya, antara terpana dan kagum—ah, itu sama saja.
"Kita disini tidak untuk membicarakan pekerjaan, kan, Kris-ssi?" Ini sudah usaha keberapa kali Yoona untuk mendekatkan dirinya dengan si bos, untuk membuka hati si bos, dan untuk memberi ketertarikan si bos—padanya. Semua harus berpusat padanya. Ia tidak punya niat buruk sama sekali. Ia bukannya ingin merebut harta kekayaan Wu Corporation yang berlimpah itu. Ia bukannya ingin mengambil alih rumah mewah di kawasan Gangnam itu. Yoona hanya ingin menyembuhkan luka di perasaan Kris. "Rutinitas kantor benar-benar membuatku lelah,"
Kris tidak mempermasalahkan Yoona dan bahasa tidak formalnya. Sekarang, semua itu tampak wajar. Sekarang, semua itu tampak lumrah. Semakin banyak hari terlalui, Kris bahkan telah menganggap Yoona sebagai temannya sendiri.
"Kalau begitu, kita bicarakan hal-hal yang menarik saja," Kris memandang orang-orang yang sedang berjalan di trotoar seberang. Sungguh, ia tidak pernah menyangka, bersantai di teras kafe seperti ini dapat menyegarkan pikirannya. "Coba ceritakan tentangmu dan keluargamu, semua hal yang tidak tercantum dalam CVmu."
Yoona tertawa sedetik, "Kenapa Kris-ssi jadi ingin tahu?"
"Tidak ada salahnya untuk tahu kehidupan sekretarisku," Kris menutupi salah tingkahnya dengan bergerak kikuk saat menyilangkan kaki. "Lagi pula, hubungan antara bos dan sekretaris harus berjalan baik dan tidak perlu ada yang disembunyikan,"
"Baiklah," Yoona mengesah, "Aku adalah tulang punggung keluarga dan hanya hidup bertiga dengan Ibu dan adik perempuanku yang masih kuliah." Kris memahami dengan anggukan berlanjut. Ia lantas memberi isyarat agar Yoona meneruskannya, "Ayahku meninggal dunia karena terlambat dibawa ke Rumah Sakit saat ia terlibat kecelakaan beruntun, sejak aku dan adikku masih sangat kecil,"
Kris menolak prihatin dan Yoona tidak meminta belas kasih apapun. Jadi, ini saatnya Kris memberi tanggapan atas kisah singkat Yoona barusan. "Beruntung sekali pihak HRD Wu Corporation menerima lamaranmu,"
"Itu karena aku memang sesuai kualifikasi. Omong-omong, aku memang pintar, Kris-ssi."
Kris tidak menyangkal. Ia masih ingat latar belakang Pendidikan yang dilampirkan Yoona di CVnya. Ia lulusan terbaik National University of Seoul. Dia juga mampu menguasai bahasa Inggris, bahasa Mandarin, dan bahasa Prancis. Yoona terlihat—sempurna, untuk menjadi sekretarisnya.
"Apa kau pernah menjalin hubungan dengan—"
"—Kenapa pertanyaannya jadi menyangkut hal pribadi, Kris-ssi?" Yoona menuntut penjelasan, tapi Kris malah terkekeh. "Yah, tapi, baiklah. Aku bisa menjawabnya,"
"Tentu saja kau bisa. Apa sulitnya menceritakan sedikit pengalaman berpacaran—"
"—Ya." Yoona memberengut, merasa sedikit malu. "Aku tidak pernah benar-benar menjalani hubungan yang serius dengan seorang pria. Maksudku, mereka semua sama saja, sama-sama mendekatiku karena aku—ehm, cantik." Kris terbatuk, sengaja. "Kemudian, juga karena aku berwawasan dan berintelektual. Yah, mereka pikir, akan sempurna jika mereka bisa memacari wanita sehebat aku,"
Kris mencibir, "Satu lagi fakta tentangmu yang kau lewatkan adalah—kau cukup narsis,"
"Bukan berarti aku tidak ingin menikah karena menilai pria seperti itu," Yoona menjeda sejenak dengan menyeruput jus jeruknya. "Ibuku sudah mengancam akan menjodohkanku dengan anak teman-temannya jika aku tidak segera memberinya cucu,"
Kris memajukan dirinya, lantas menyatukan semua jemarinya. "Aku juga menyarankan hal itu. Kau harus menikah sebelum proyek besar kita semakin tak terkendali,"
Keduanya menukar tawa, lalu terdiam selama beberapa saat.
Sampai akhirnya, Yoona memulai lagi, "Sekarang, ceritakan tentang Kris-ssi,"
"Tidak ada yang menarik dari hidupku," Kris tidak meminta simpati Yoona, tapi ia tetap mengungkapkan sisa keluarganya yang membuatnya berdiri tegap sampai sekarang. "Kau sudah tahu bahwa sepeninggal istriku, aku hanya tinggal berlima dengan anak-anakku,"
"Empat anak laki-laki. Aku tidak bisa membayangkan sefrustasi apa Kris-ssi setiap harinya,"
Kris memalingkan wajahnya sebentar, lalu kembali memandang wajah cemerlang Yoona. "Ya. Satu saja anak laki-laki sudah sulit, apalagi ada empat. Aku tidak bilang mereka merepotkan. Tapi, begitulah anak-anak," Senyum sederhananya ia ukir dan membuat Yoona membalas dengan senyuman juga, "Empat anak laki-laki dengan empat karakter berbeda,"
Selanjutnya, Yoona membiarkan Kris bercerita, berkeluh-kesah, mencurahkan semuanya disini, bersamanya. Kris juga tidak tahu ia bisa tiba-tiba mengalirkan hal-hal bersifat privat miliknya, hal sensitif dalam dirinya, dan keluarganya pada Yoona.
-ooo-
"Kau yakin hanya mengemas ini saja?" Baekhyun mengintip isi tas Kyungsoo. "Sweater rajut yang warna cokelat tidak dibawa?"
Kyungsoo menoleh pada Baekhyun yang duduk dilantai tepat didepan lemarinya, "Ya, Hyung. Aku disana 'kan hanya pakai baju Rumah Sakit,"
"Benar juga," Baekhyun akhirnya menutup zipper tas sewarna neon tersebut, "Kau sudah siap memangnya?"
Kyungsoo mengangguk, sekilas. Ia berhadapan dengan Baekhyun sekarang. "Ayolah, Hyung. Seminggu ini aku sudah mendengarmu, Chanyeol Hyung, Jongin Hyung, dan Appa bilang hal yang sama sampai-sampai aku hafal,"
"Itu artinya kami khawatir kau memikirkan hal yang tidak-tidak," Baekhyun memegangi kedua bahu Kyungsoo, lantas memandang mata bulatnya lekat-lekat. "Aku bilang sekali lagi. Pokoknya, kau jangan takut. Kau pasti bisa melalui ini, kau pasti bisa sehat senormal kita. Juga, jangan beranggapan bahwa tidak ada orang yang menemanimu—ada aku, ada kami semua untukmu, Kyung-a,"
"Arra, arra, Hyung." Kyungsoo tersenyum, senyum yang malah membuat Baekhyun merasakan gelenyar haru. "Ayo, kita berangkat sekarang saja,"
Baekhyun pun tidak berceloteh lagi. Ia segera merebut tas besar yang nekat dibawa Kyungsoo, lalu mengikuti adiknya keluar kamar dan turun tangga. "Ya, Kyung-a, seandainya aku boleh melihat operasimu, pasti aku akan jadi mahasiswa terpintar saat kuliah nanti,"
"Kalau Hyung bilang pada Dokter Choi, pasti boleh," timpal Kyungsoo, asal.
Mereka sudah menyusul Kris diluar rumah. Sore ini, Kris dan Baekhyun mengantar Kyungsoo tanpa Chanyeol dan Jongin. Karena dua anak tertua Wu itu sudah lebih dulu menuju kesana untuk mengurus kamar dan tetek-bengek lainnya.
"Sudah siap semua?" tanya Kris, seusai menutup bagasi mobil dan menemukan anak-anaknya berdiri di teras. "Kalau tidak ada yang tertinggal, Appa kunci sekarang pintu rumahnya."
"Aman," Kyungsoo berujar seadanya sambil menarik Baekhyun agar masuk mobil.
Begitu Baekhyun dan Kyungsoo mendudukkan diri di kursi belakang—Baekhyun memutuskan untuk menemani Kyungsoo dan merelakan kursi depan kosong—Kris segera mengunci pintu rumah dan duduk di bangku kemudi. Setelah mengeluarkan mobil dari garasi, Kris turun kembali untuk menutu pagar, dan berhadapan lagi dengan setirnya.
Tanpa Jin Il dan Yun Mi, membuatnya terlibat pada hal-hal kecil semacam ini.
"Appa," Panggilan Kyungsoo membuat Kris memandang kaca spion diatasnya, "Apa biaya operasiku benar-benar mahal?"
Karena Kyungsoo teringat dengan ujaran Kris tempo hari lalu. Ia rasa, ia bertanggung jawab atas kesibukan Ayahnya yang melebihi siapapun ini.
"Aniya, Kyung-a. Kau tidak perlu memikirkannya. Appa punya banyak uang, jangankan untuk biaya operasimu, biaya membeli Rumah Sakit pun ada," Kris mengakhirinya dengan tawa kering.
Baekhyun—yang hanya jadi pemerhati—mulai was-was. Ia tahu Kyungsoo sedang memikirkan sesuatu yang tidak perlu ia pikirkan. Jadi, Baekhyun melingkarkan sebelah lengannya dileher Kyungsoo, seolah sedang mencegah pikiran-pikiran negatif bersarang dikepala adiknya.