This is Home!

pinklabel
Chapter #22

Chapter Twenty Two

Kyungsoo sudah diperbolehkan pulang meski dengan banyak catatan dari Dokter Choi. Termasuk pembiasaan-pembiasaan baru seperti jadwal minum obat yang ternyata jauh lebih ketat, porsi dan jenis makanan, dan pembatasan aktivitas. Tapi, dengan fakta itu, Baekhyun akhirnya bisa mempelajari soal-soal latihan masuk Perguruan Tinggi lagi. Ia membalik lembar demi lembar bukunya hampir tanpa suara, sesekali juga mengecek Kyungsoo diranjang sana—cemas jika adiknya tiba-tiba terbangun karena berisik yang ia timbulkan.

"Sejak kapan aku tidak bisa menyelesaikan tipe soal ini?" Baekhyun menggaruk belakang kepalanya dan berlanjut mengacak rambutnya. "Sialan,"

Dua ketukan di pintu kamar membuat Baekhyun menengok cepat dan mendapati wajah Jongin menyembul disana. "Kukira sudah tidur,"

"Chanyeol Hyung belum pulang?" tanya Baekhyun, straight to the point, saat Jongin sudah berdiri disamping meja belajarnya dan memandangi sejenak apa yang sedang dilakukannya, dengan penuh rasa ingin tahu. "Belakangan ini, jiwa Chanyeol Hyung dan jiwa Hyung seperti tertukar. Chanyeol Hyung lebih sering diluar, padahal di jam-jam segini dia selalu main game di komputernya,"

Jongin mencebik sambil mengedikkan bahu, "Kau barusan menjelek-jelekkanku?" Baekhyun jadi terkikik, "Chanyeol Hyung 'kan bilang kalau dia sedang karaoke dengan teman-temannya. Biarkan, Baek-a, dia juga harus tahu rasanya bersenang-senang,"

"Baguslah," Baekhyun pun melanjutkan soal-soalnya yang sempat tertunda. "Aku muak melihatnya terus-terusan marah. Marah pada Appa terutama,"

"Kau juga harusnya tidak melulu duduk disini," Jongin lantas menutup buku tebal Baekhyun dan memicing padanya. "Ayo, beli sesuatu diluar."

Baekhyun menolak dengan satu tolehan pada Kyungsoo yang terlelap begitu damai, "Hyung lupa?"

Alihan tatap Jongin mengikuti tunjukan Baekhyun, "Oh. Aku lupa kalau Paman dan Bibi Han sudah tidak disini lagi," Jongin tampak begitu kecewa, tapi ia tetap tersenyum. "Kalau begitu, tidurlah. Jangan begadang karena soal-soal sialan ini,"

Baekhyun hanya mengangguk, asal. "Omong-omong, kenapa Hyung tidak kemana-mana malam ini?"

Jongin melipat dua tangannya didepan dada, "Tidak ada acara," Kemudian, ia mematikan lampu belajar Baekhyun. "Sana. Cepat tidur. Kau mau kubacakan dongeng?"

"Yaish—menggelikan," Tapi, Baekhyun tetap menurut. Ia berjalan menuju ranjang miliknya dan berbaring disana. Sementara Jongin menyelimuti badannya hingga sebatas bahu. "Hyung, aku bukan Kyungsoo,"

"Tidak harus jadi Kyungsoo kalau kau ingin diselimuti seperti ini, bodoh." Jongin membenahi beberapa sudut selimut yang masih menampakkan beberapa bagian tubuh Baekhyun. "Aku tahu, kok. Aku tahu kau juga ingin hal-hal remeh seperti yang selalu kau dan aku lakukan untuk Kyungsoo."

Menurut Jongin, tidak ada kata pilih kasih di kamusnya. Kedua adiknya sama-sama adiknya. Mereka semua yang di rumah ini juga memperlakukan setiap anggota keluarga Wu setara tanpa beda. Meski kelihatannya, yang paling utama mendapat perhatian khusus adalah Kyungsoo. Jelas saja, karena si bungsu itu yang paling lemah diantara mereka. Namun, itu tidak berarti bahwa Kyungsoo telah merebut semua kasih sayang orang-orang ini. Tidak.

Baekhyun mendengus pada kedipan Jongin, lalu berujar, "Gomapta, Hyung."

"Apa? Aku tidak dengar,"

"Aku tidak bilang apa-apa,"

Setelah pertukaran tawa mereka, Jongin berpindah menuju ranjang Kyungsoo. Ia meletakkan satu telapak tangannya di kening Kyungsoo, "Selamat tidur, Kyungsoo-ya." Lantas memberi adiknya sebuah usapan lembut dikepala. Sehingga tanpa sadar, Baekhyun menyuarakan decakannya. "Kau mau juga, Baek-a?"

"Aniyo,"

Tapi, ketika Jongin kembali lagi ke ranjang Baekhyun dan mengusap pelan-pelan puncak kepala itu—Baekhyun membiarkan, Baekhyun menikmati, Jongin telah menenangkan pukulan-pukulan mengerikan dipikirannya.

-ooo-

Chanyeol sudah kehabisan suaranya. Ia juga lelah berteriak sejak dua jam lalu. Teman-temannya bahkan sudah menggelepar di sofa saking mabuknya. Jadi, Chanyeol memutuskan untuk—menyulut rokoknya. Yah, sudah sekian lama ia tak menyesap batang nikotin yang mati-matian Kris larang.

Alasan paling kuat mengapa akhirnya Chanyeol melakukan ini—meski usianya sudah sangat mencukupi—adalah karena Kris. Baru saja Chanyeol siap menggugurkan semua rasa bencinya terhadap Kris, terlebih karena Ayahnya itu sudah menunjukkan betapa besar perubahannya belakangan ini. Kris sudah mengurangi jam kerjanya demi Kyungsoo, ia juga ikut campur dengan urusan rumah, dan semua hal baik lainnya.

Itikad itu patut Chanyeol acungi jempol, jika tidak hari ini laki-laki itu berulah lagi.

"Sialan," Chanyeol merontokkan abu rokoknya di asbak sambil memandangi layar yang masih menampilkan lagu pilihan mereka. "Kenapa harus aku, sih?"

Bayang gitar, piano, drum, seketika berkelebat dibenaknya, sayangnya harus dibarengi dengan tanggung jawabnya mengasuh Wu Corporation—yang kata Kris adalah bekal hidup keluarga Wu. Chanyeol juga masih ingat, siang tadi, Ayahnya menekankan kembali tentang hal itu, hingga kalimatnya terus terngiang sampai saat ini.

Kris bilang, "Lusa. Pertemuan dengan kolega Wu Corporation untuk mengenalkanmu sebagai pewaris Appa." Ya, dan Chanyeol amat sangat membencinya.

Chanyeol memutuskan untuk keluar ruangan setelah mematikan batang nikotinnya yang masih panjang separuh. Ia menutup pintu dan mulai berjalan menuju toilet. Tapi, iris mata Chanyeol menajam seketika saat siluet orang yang meracuni pikirannya ini malah tampak disana. Di ujung lorong dan sedang berbicara begitu—intim, dengan seorang wanita. Itu Kris, Ayahnya, sedang berdua saja dengan—siapa? Si sekretaris?

"Mereka sudah tidur, Kris-ssi, benar-benar tidak pandai minum," Yoona tertawa, meremehkan. Lantas menyandarkan punggungnya di dinding sembari memberi tatapan tak terdefinisi pada Kris—dalam tatapan itu, ada maksud lain. "Kau harus pulang sekarang,"

Chanyeol tidak menyesal harus menguping pembicaraan itu dari himpitan dinding berjarak semeter dari si target ini.

"Lalu, apa kau akan pulang dengan Jongdae dan yang lain, yang sedang mabuk itu?"

Yoona menggeleng, "Aku akan memesankan mereka jasa supir dulu. Aku bisa naik taksi,"

"Tidak bisa begitu. Seorang wanita pulang sendirian di malam selarut ini, tentu berbahaya."

Chanyeol mengamati Kris—lebih-lebih mengamati ekspresi wajahnya. Sudah lama ia tidak melihat wajah berahang keras Ayahnya menjadi begitu lunak, melembut, benar-benar tampak berbeda. Wajah Kris kali ini seperti wajah berserinya ketika dulu menatap wajah Ibunya, Violet. Chanyeol tanpa sadar sudah mengepalkan tangannya, tidak ada yang menahannya sekarang. Chanyeol juga tidak tahu bahwa matanya telah berkilat, siratkan ketidaksukaan.

Tidak seharusnya tatapan itu dirasakan wanita lain. Tidak, tidak—hanya tidak sekarang. Chanyeol dan mungkin adik-adiknya belum siap.

Kekehan Yoona turut mengundang senyum Kris. "Aku tidak bisa meninggalkan rekan-rekan kerjaku begitu saja, Kris-ssi," ujarnya, sambil mengintip keadaan dalam bilik sana, yang tampak begitu kacau. "Kau yang harus pulang sekarang. Aku tidak mau anak-anak berpikir yang aneh-aneh. Nanti bisa menimbulkan kesalahpahaman,"

Kris mematut tatapannya pada arloji miliknya, memang benar. Ini sudah jam duabelas lewat. Meski ia seratus persen yakin kalau anak-anaknya tidak ada yang menanti kepulangannya. Tapi, Kris tidak bisa melalaikan itu. Karena rumahnya sekarang sudah memiliki atmosfer yang jauh berbeda. Kris tidak bisa membiarkan dua remaja dibawah umur berdua saja di rumah sebesar itu, bukan sebuah jaminan jika Jongin dan Chanyeol di rumah juga.

"Kalau begitu, kau pesankan sekarang. Aku akan membangunkan mereka. Setelah supirnya datang, aku akan mengantarmu pulang. Tidak menerima penolakan," Kris baru saja membuka kenop pintu bilik, tapi tahanan dari tangan Yoona mencegahnya. "Waeyo?"

Yoona menggeleng pelan ditambah seulas senyum manis. "Kau tidak perlu melakukan itu. Kau adalah seorang bos, masa tidak punya wibawa sampai-sampai membangunkan karyawannya sendiri?"

Hening menyergap keduanya. Aduan tatap itu semakin menggetarkan hati Chanyeol, tapi Yoona bisa merasakan jantungnya malah berdebar karena Kris seolah mengambil alih oksigen di paru-parunya. Tapi, Kris ternyata melihat ke arah lain—bibir ranum Yoona, tepatnya. Chanyeol juga sejeli itu untuk tahu bahwa Ayahnya sempat hilang kendali.

Jadi, Chanyeol putuskan untuk menghampiri mereka dengan langkah menghentak.

"Kukira, Appa bekerja semalaman suntuk di kantor, ternyata bisa juga bekerja di tempat seperti ini," Chanyeol sengaja memenggal perkata menggunakan nada skeptis. Ia bersedekap angkuh, seolah senang mendapati reaksi dua orang didepannya tampak begitu terkejut. "Oh ya, kalian juga tampak serasi."

"Chanyeol-a," Kris menjauh dari Yoona dan kini menghadap langsung putra sulungnya. "Kami tidak berdua saja disini. Lihat, didalam sana ada tiga orang lain yang—"

"—Oke, aku lihat." Chanyeol selesai celingukan dan membenarkan omongan Kris. "Aku 'kan tidak marah-marah,"

Kris tahu hanya dengan sekali lihat bahwa hembusan nafas Chanyeol barusan mendukung pernyataan sebalik dari kalimatnya. "Kenapa kau ada disini?" Akhirnya, Kris malah mengutuk dirinya—kenapa harus bertanya hal bodoh macam itu?

"Seriously, Appa?" Kali ini, Chanyeol menyeringai, tak terima. "Appa bisa bersenang-senang dengan wanita ini dan yah, mereka bertiga itu. Lalu, kenapa jika aku disini? Apa tempat ini melarang Wu Chanyeol untuk datang dan—bersenang-senang juga?"

Kris menggeleng, cepat. "Kau jangan asal menyimpulkan. Bukankah seharusnya saat ini kau menyiapkan materi untuk dibicarakan dengan kolega Appa lusa nanti?"

Chanyeol mendengus, benar-benar dengusan penuh kesal. "Aku tidak habis pikir. Hampir saja aku membuka pintu hatiku untuk menerima Appa kembali, tapi—" Jeda. Chanyeol pakai jeda itu untuk melirik Yoona yang kelimpungan membawa diri. "—tega-teganya Appa malah balik menyalahkanku ketika Appa tertangkap basah sedang memadu kasih dengan—"

"—Chanyeol!" Kris sadar-sadar saja bahwa suaranya barusan agak terlalu keras. "Appa bilang bahwa kau jangan salah paham. Appa bukannya berdua saja dengannya, Appa berempat disini dengan karyawan yang lain. Kau ini kenapa, sih?!"

"Appa yang kenapa?!" Karena Chanyeol paling benci dibentak. Jika seseorang membentaknya karena kesalahan yang tak ia lakukan—dia pikir, ini memang wajib dilawan, sekalipun pria jangkung didepannya adalah Ayahnya sendiri. "Kyungsoo baru pulang dari Rumah Sakit kemarin, tapi sekarang Appa sudah bermain sesuka hati disini dan memaksaku untuk berurusan dengan perusahaan yang sama sekali tidak pernah kusukai! Satu lagi, Appa juga perlu mengurusi perempuan jalang lainnya, wanita iblis dari Cina itu, berani-beraninya datang ke rumah!"

Chanyeol hanya tiba-tiba teringat pada semua kemarahan Kris yang selalu dilontarkan pada Violet, dulu sekali dan setiap malam, tepat sebelum Ibunya tahu kebusukan Ayahnya yang telah mendua. Begitu Chanyeol menyelesaikan kalimat terakhir, Kris malah setengah menegang setengah menyangkal. Luna, sudah pasti yang dimaksud Chanyeol adalah Luna.

"Aku tahu sekarang! Aku tahu alasan Appa terus meluapkan emosi Appa padaku, Jongin, dan Baekhyun, juga Eomma! Itu semua karena Appa sedang jatuh cinta! Ya, kan?! Jawab aku, Appa pasti begi—"

Plak!

Tamparan Kris—entah yang keberapa kali—di pipi Chanyeol, membuat Yoona memekik.

"Sa—Sajang-nim," Yoona segera menjauhkan Kris dari Chanyeol. Ini kedua kalinya ia melihat pertengkaran mereka setelah yang pertama terjadi di kantor saat itu. "A—anda tidak boleh melakukan itu,"

"Mulutmu memang sudah keterlaluan, Wu Chanyeol! Apa kau pantas bicara seperti itu dengan menyandang nama Wu? Hah?!"

Kris terengah, mengatur nafasnya yang naik turun. Sedangkan Chanyeol hanya mengangkat alisnya, membiarkan rasa perih menjalari sisian wajahnya yang memanas. Kemudian, ia berbalik. Tanpa sepatah kata pun meninggalkan Kris mematung disana. Bagi Kris, dunianya yang hampir terdongkrak, kini kembali hancur—lebur. Akan sangat sulit mengembalikan suasana ini.

Chanyeol sudah jelas menambah kebenciannya pada Kris.

-ooo-

Brak!

Chanyeol baru saja pulang dan membanting pintu kamarnya. Jongin sempat melihat jarum panjang sudah menunjuk angka duabelas dan jarum pendek mengikuti di angka satu. Ia jelas buru-buru keluar kamar dan menyusul Chanyeol di kamarnya, tapi ruangan itu malah terkunci.

"Hy—Hyung, ada apa?" Beberapa kali punggung tangan Jongin mengetuk pintu kamar Chanyeol, tapi tak berbalas. "Hyung, ayolah, bicara denganku."

"Pergi!" Sahutan itu sama sekali tidak pernah Jongin dengar dari Chanyeol seumur hidupnya.

"Hy—Hyung, kumohon," Tapi, belum saatnya Jongin menyerah. Ia tahu ada sesuatu yang buruk barusan terjadi. "Aku janji tidak akan mengatakannya pada siapa-siapa,"

Didalam sana, Chanyeol membungkus dirinya dengan selimut dan membekap mulutnya dengan bantal—agar tangisannya tak terdengar sampai telinga Jongin. Demi apapun, Chanyeol tidak pernah menyangka akan berdebat dengan Kris ditempat umum seperti itu. Terlebih dengan disaksikan wanita asing yang sama sekali tidak tahu menahu tentang apapun dalam hidup mereka. Chanyeol jelas jengkel. Tamparan yang kesekian kali Kris torehkan benar-benar telah mematikan fungsi indera perasanya.

Ini dampak yang mengerikan. Chanyeol bisa mendengar suara-suara keras saling bersahutan dikepalanya. Mereka menuntutnya untuk berbuat hal lain—entah apa. Suara-suara itu memekakan telinganya, suara-suara itu semakin menjatuhkan jati dirinya.

"Gila! Aku bisa gila!"

"Hyung!"

Ternyata Jongin masih ada disana. Jongin terang saja panik, Chanyeol tidak pernah mengunci diri dan berteriak sembarangan di kamar seperti ini, apalagi berani mengusirnya. Jongin bahkan sampai menggedor-gedor pintu itu, merasa sangat frustasi. Namun, yang terbuka malah pintu kamar lain, Baekhyun sedang berjalan gontai menuju arah Jongin.

"Kenapa, Hyung?"

Jongin hanya mengedikkan bahu. Ia sama sekali tidak tahu apa yang telah dialami Chanyeol sejam lalu. "Tidak biasanya Chanyeol Hyung menunjukkan kemarahannya—seberlebihan ini,"

"Berlebihan bagaimana?"

Baekhyun menggantikan Jongin, tapi suara mesin mobil Kris menyela.

"Appa pulang. Apa biarkan Appa saja yang bicara dengan—" Jongin mengatupkan mulut tepat saat dua tangan Baekhyun membekapnya. "Mmh—mmhh,"

"Hyung, jangan sebut-sebut Appa disini," Baekhyun akhirnya melepas bekapan itu dan membiarkan Jongin mengambil udara. "Masa Hyung tidak berpikir kalau ini bisa jadi karena Appa?"

Jongin memiringkan kepala, tidak menduga bahwa analisis Baekhyun ada benarnya. "Ya. Mana ada hal lain yang membuatnya menjadi seperti ini jika bukan Appa,"

Lihat selengkapnya