Detikan jam di dinding saling beradu, bunyinya memenuhi telinga Kris.
Ia terpejam, tapi tidak terlelap. Ia terbaring, tapi tidak tenang. Ruang kerjanya terasa pengap, bahkan Kris bisa merasakan bahwa furnitur-furnitur di ruangan ini sedang menertawakannya. Katakan ia melankolis, tapi dobrakan peristiwa beberapa jam lalu tak mau enyah dari pikirannya.
"Eomma mati karena Appa."
Selorohan Chanyeol itu masih membekas lekat-lekat. Begitu juga dengan raungan-raungan histeris ketiga anak lelakinya yang lain. Ini memori pahit yang sengaja Kris torehkan pada buah hatinya, egonya selalu menang.
"Tidak," Kris membuka mata dan duduk tegak seketika. "Aku adalah seorang Ayah yang seharusnya dihormati anak-anakku, bagaimana mungkin aku tunduk pada Chanyeol yang sudah bicara sekasar itu?" Kris hanya sedang menghibur diri.
Ia lantas mengambil ponsel yang semula tergeletak di meja kerjanya. Setelah menekan beberapa tempat dilayar, Kris kembali merebahkan diri dan mengatupkan matanya.
Kali ini, berhasil melabuhkan nyawa ke alam mimpi.
-ooo-
"Joseongeyo—kartu Anda tidak bisa melakukan transaksi ini,"
"Sial!" Chanyeol tiba-tiba memaki tepat didepan kasir minimarket hingga gadis remaja itu sedikit ketakutan. "Bahkan kartu-kartuku diblokir. Oh, oke."
Chanyeol lantas segera memacu langkah keluar, ada kecewa campur amarah diraut wajahnya. Hujan sudah reda sehingga ia bisa duduk di bumper mobilnya seraya mengeringkan tubuhnya yang basah kuyup dan memandangi sepasang sepatu kets lusuh miliknya. Ia benar-benar kalut sekarang, mau apa setelah ini.
Ponselnya berdering tak mau berhenti, sudah pasti panggilan dari orang yang sama, orang yang terus menghubunginya sejak sejam lalu. Si penelepon itu adalah Jongin dan Baekhyun, bergantian. Tapi, Chanyeol tidak mau pendiriannya goyah setelah mendengar suara adik-adiknya, ia tidak boleh berakhir malu dan kembali ke rumah itu setelah mendengar kabar Kyungsoo kenapa-kenapa—jadi, ia putuskan untuk lebih baik tidak tahu apa-apa dan mengabaikan panggilan itu.
"Jongin-a, Hyung tahu kau bisa menggantikan Hyung." Chanyeol menengadahkan kepalanya dan menemukan bintang-bintang di langit malam sana. "Eomma. Chanyeol takut. Eomma. Tolong Chanyeol."
Setetes bulir air mata itu hadir lagi.
Tapi, Chanyeol buru-buru mengusir keterpurukannya, bagaimana pun ia harus bangkit.
Setelah mengedarkan pandang ke sekeliling, Chanyeol baru sadar kalau ini adalah daerah rumah Chae Young. Park Chae Young, sahabat sedari sekolah menengahnya. Si gadis urakan berambut warna-warni itu. Ketika Chanyeol mendial nomor Chae Young—sambil terus-terusan menolak panggilan Jongin dan Baekhyun—suara merdu diseberang sana menyambutnya.
["Ya! Kau tidak lihat ini jam berapa dan bisa-bisanya kau menele—Yeol-a?"]
Karena Chanyeol tidak bisa menghentikan isak tangisnya sekarang. "A—aku di depan minimarket dekat ru—rumahmu," Karena Chanyeol butuh seseorang untuknya bersandar.
Chae Young tidak butuh hal lain lagi untuk segera melesat menuju tempat Chanyeol.
-ooo-
Baekhyun berbaring berdua di ranjang Kyungsoo. Setelah yang terjadi beberapa jam lalu, ia tentu tidak tega membiarkan adiknya menangis sendirian. Jongin telentang di ranjang Baekhyun, masih terjaga sambil berulang kali menelepon Chanyeol, meski hasilnya selalu nihil.
"Tidak diangkat," Jongin mendumel lagi, "Kenapa, sih? Harusnya Chanyeol Hyung tidak segegabah ini, kan?"
Baekhyun menoleh pada Jongin, "Hyung, kalau Hyung jadi Chanyeol Hyung, apa masih bisa berkata demikian? Kita coba saja memahami perasaannya dan membiarkannya tenang. Chanyeol Hyung butuh waktu." Ia lalu beralih pada Kyungsoo lagi, "Kyung-a, sudahlah. Chanyeol Hyung pasti kembali, keadaan pasti akan kembali seperti semula. Ya?"
Meski Baekhyun sendiri tak terlalu yakin.
"Lalu, apa yang harus kita lakukan sekarang?" tanya Jongin, lebih pada dirinya sendiri. Namun, seketika itu juga Jongin sadar, pertanyaannya adalah pertanyaan terkonyol abad ini. Mana mungkin adik-adiknya bisa tahu apa jawaban dari pertanyaan itu. Maka, Jongin segera menambahkan, "Oh. Kalian tidak usah memikirkan masalah ini, biar aku saja. Kalian hanya perlu menjalani kehidupan kalian seperti biasanya, fokus pada sekolah. Fokus pada ujianmu, Baek-a dan jaga selalu kesehatanmu, Kyung-a. Sisanya, biar aku yang urus."
"Jo—Jongin Hyung mau melakukan apa?" cicitan Kyungsoo malah membuat Jongin seketika bungkam.
"Tidak ada yang bisa kita lakukan, Hyung." Baekhyun menyambung, "Kita tunggu saja sampai Chanyeol Hyung menghubungi kita."
"A—apa Cha—Chanyeol Hyung baik-baik saja?" Kali ini, Kyungsoo memperkeras suaranya supaya tidak tenggelam dalam pelukan Baekhyun lagi.
Baekhyun mengangguk sekali, "Mari kita percaya padanya."
Jongin mengesah sambil beranjak menuju tempat kedua adiknya. Ia berlutut disana. "Maaf. Kalian tidak seharusnya menghadapi hal ini. Kalian masih terlalu kecil untuk tahu—"
"—Hyung," Baekhyun melepas pelukannya di Kyungsoo seraya membangunkan Jongin. "Aku sudah kelas tiga SMA, Kyungsoo sudah kelas satu SMA. Kami tidak bisa disebut anak kecil lagi, kita sudah sama-sama dewasa dan ini masalah kita semua—untuk apa Hyung meminta maaf?"
Jongin malah tergugu, ia putuskan untuk membiarkan Baekhyun memeluk dirinya. "Pokoknya, apapun yang terjadi, aku akan selalu mengusahakan yang terbaik untuk kalian berdua."
"Jongin Hyung," Kyungsoo perlahan menuruni ranjangnya, lalu duduk bersimpuh dibawah Jongin. "Aku janji tidak akan menambah beban kalian. Aku akan rajin meminum obatku dan tidak membebani pikiranku, dengan begitu—"
"Aniya, Kyung-a." Jongin membingkai wajah Kyungsoo dengan dua tangan hangatnya. "Ka—kau bisa melakukan apapun yang kau mau."
Tapi, Baekhyun yang merasa tidak terima. Bagaimanapun, kalimat Jongin barusan bisa memicu keinginan terpendam punya Kyungsoo, bisa saja anak itu kesenangan dengan lampu hijau yang berarti ia bebas melakukan apapun. Meski Baekhyun pun tahu, Jongin tidak benar-benar bermaksud seperti itu, perkataannya tadi hanya sebuah pengalihan agar Kyungsoo tidak melulu merasa dirinya adalah beban semua orang.
"Kyungsoo-ya," lirih Baekhyun sembari mengambil tempat disebelahnya. "Kita semua pasti baik-baik saja. Kau, aku, Jongin Hyung, dan Chanyeol Hyung, kita akan baik-baik saja. Kenapa? Karena Eomma pasti sedang melindungi kita."
Sejujurnya, Baekhyun tak mengerti mengapa malah kalimat dramatis itu yang keluar dari bibirnya. Lebih-lebih, ia juga tidak tahu mengapa ia bisa setenang ini menghadapi masalah yang seharusnya membuatnya panik dan lepas kontrol, yang seharusnya membuatnya menangis begitu lama. Tapi, lihat, Baekhyun sudah dewasa, seperti katanya sendiri—ia bisa mengatasi ini sebaik Chanyeol menjaga saudara-saudaranya.
Baekhyun cepat belajar.
-ooo-
"Bagus, kan?"
Chanyeol mengitari ruangan seluas kamar mandi di rumahnya dulu ini. Lalu, beralih pada Chae Young yang sedang mati-matian menahan kantuknya. "Kau tidak tanya kenapa aku—"
"Untuk apa?"
Chae Young akhirnya mendudukkan diri di ranjang sana tanpa peduli lagi tentang apa yang dilakukan sahabatnya dengan mematung di tengah ruangan. Namun, dalam batin Chanyeol hanya tersirat sebuah kelegaan luar biasa—setidaknya, ia tidak perlu menjabarkan alasan mengapa ia bisa sampai seperti ini, seperti menghubungi Chae Young dini hari dan meminta bantuannya untuk mencarikan flat super murah.
"Setelah ini, kau harus menemaniku dua kali duapuluh empat jam," Chanyeol duduk di sofa berdebu itu sambil memandangi wajah lelah Chae Young yang telah memejamkan matanya.
"Kau harusnya bilang terima kasih dulu, bodoh." Chae Young merebahkan diri, sengaja membiarkan Chanyeol tidak bisa menikmati ranjang barunya. "Beruntung sekali nenekku belum terlalu pikun. Kalau iya, sudah kupastikan kau tidak dapat tempat tinggal malam ini."
Chae Young memang tidak mempertanyakan mengapa Chanyeol bisa berbuat senekat ini—kabur dari rumah dan keluarganya. Tapi, ia sudah lebih-lebih mengenal Chanyeol, ia tahu seluk-beluk Chanyeol. Maka, Chae Young tak perlu penasaran lagi, ini pasti masalah Chanyeol dan Ayahnya, entah perkara apa, yang jelas masalah ini benar-benar menyakiti hati sahabat bebalnya itu.
"Aku tahu aku berhutang padamu. Aku juga berhutang pada pemilik flat ini. Aku juga berhutang pada nenekmu yang belum pikun." Kemudian, untuk pertama kalinya dalam hari ini, Chanyeol tertawa, pada ucapannya sendiri. "Kalau pemilik flat ini bukan kenalan nenekmu, mungkin aku akan tidur di mobilku."
Chae Young terbangun dari rebahnya, lalu menemukan wajah Chanyeol tertunduk lesu. "Aku tidak biasa mendengarmu berterima kasih, jadi lupakan saja." Ia lantas berdeham, "Mau apa kau memintaku menemanimu dua kali duapuluh empat jam?"
Chanyeol cepat-cepat mendongak, "Kau masih ingat caranya bernyanyi, kan? Kau dulu itu vokalis, loh. Waktu SMA, kau ikut band sekolah, kan?"
"Hah?" Chae Young memicingkan matanya, "Kau mau mengajakku mencari uang dari bermain musik, ya? Kau main gitar dan aku yang menyanyi?"
"Bravo!" Chanyeol menjentikkan jemarinya, antusias. "Tumben kau pintar sedikit,"
Chae Young mendengus, "Aku sibuk."
"Oh, ayolah, Chae Young-a." Chanyeol mengubah mimiknya sesendu mungkin, sedikit banyak memohon belas kasih sahabatnya. "Kau tahu sendiri sesulit apa keadaanku sekarang. Aku sedang memutar otak untuk mencari uang, tahu."
Chae Young—lagi-lagi—mendengus, "Aku dapat apa?"
Tapi, bukannya menjawab, Chanyeol malah mengedipkan sebelah matanya. Selang beberapa detik, lelaki jangkung itu akhirnya bersuara, "Tentu saja dapat waktu bersamaku!" Lantas, ia terpingkal sendiri. Chae Young jadi berpikir bahwa mental Chanyeol ternyata sudah seterganggu itu. "Ya! Tentu saja kita akan bagi dua hasilnya. Kau dapat uang, bodoh."
Chae Young menimang sebentar, ia merasa ada kejanggalan. "Aku tetap harus mengajukan syarat. Mana kontraknya?"
"Astaga." Chanyeol mencebik, "Kau setidak percaya itu pada sahabatmu sendiri?"
"Pokoknya, aku tidak bisa meninggalkan nenekku sendiri di rumah terlalu lama."
"Check!"
"Pokoknya, aku harus menyanyi lagu-lagu pilihanku alias lagu kesukaanku."
"Check!"
"Pokoknya, aku mau kita tampil di tempat yang jauh dari kampus."
"Check!"
Chae Young tidak bisa tidak tertawa melihat ekspresi Chanyeol—yang perlahan mulai kembali seperti Chanyeol yang ia kenal. Karena saat pertama kali menemuinya tadi, Chanyeol benar-benar berantakan, tampak hancur lebur, tanpa tumpuan. Begitu Chae Young memeluk Chanyeol, sahabatnya itu malah membasahi bahunya dengan air matanya.
"Satu lagi," Chae Young berbisik tepat ditelinga Chanyeol, "Kau tidak boleh menangis seperti tadi. Hahahaha! Harusnya kurekam saja tadi, wajahmu benar-benar memuakkan."
Chanyeol enggan membalas ejekan Chae Young, bagaimanapun, ia hanya perlu mensyukuri satu hal—masih ada orang yang peduli dengannya di dunia ini selain adik-adiknya.
-ooo-
Kris terbangun dengan sekujur tubuh yang terasa kaku. Ia tidur di sofa ruang kerjanya dan membiarkan kedua kakinya tergantung. Ketika ia keluar ruangan, suasana rumah seluas ini tiba-tiba memberinya kesan perih. Ia ingat seberapa besar pesakitan yang ia sebabkan di ruang tengah sini, ia ingat telah menyaksikan anak-anaknya menderita karena ulahnya.
Pagi ini, Kris tidak menemukan siapa-siapa di ruang makan.
Hatinya mencelos—ia tentu rindu derai tawa Chanyeol, Jongin, Baekhyun, dan Kyungsoo yang selalu bersahutan ramai-ramai setiap hari, selalu memenuhi setiap sudut. Ada pula saat-saat dimana Paman dan Bibi Han masih setia membantu keluarganya, terlebih ketika semuanya masih lengkap, ketika semua anggota keluarganya berkumpul dan baik-baik saja—masih ada Violetta Hwang sebagai istri dan ibu dari anak-anaknya.
Kris berjalan pelan menuju dapur, ia menghampiri mesin kopi dan meletakkan cangkirnya dibawah sana. Sembari menunggu, Kris bisa mendengar derap-derap langkah tak serantan di lantai dua dan kini berhambur menuju pintu keluar. Pemilik langkah-langkah itu ternyata adalah anak-anak tengahnya.
Jongin dan Baekhyun tidak menyapa Kris. Meski tatapan mereka sempat bertemu.
"Kita cari mulai dari mana, Hyung?" Samar-samar, Kris mendengar suara serak Baekhyun yang menghentikan kesibukan Jongin mencari kunci mobilnya. "Kita tidak bisa meninggalkan Kyungsoo lama-lama,"
"Arra, Baek-a." Jongin menemukan apa yang ia cari, lalu mengukir senyum menenangkan untuk Baekhyun. "Jangan khawatir. Kita coba cari di tempat-tempat yang Chanyeol Hyung sering kunjungi dulu. Ayo,"