Tepuk tangan seluruh penghuni aula Wu Corporation meriuh rendah. Beberapa pria tua berjas mahal pun saling melempar senyum dan menukar obrolan singkat penuh arti terhadap pemuda diatas podium sana. Ya, si pusat perhatian barusan adalah Wu Jongin, pewaris sah setelah Wu Yifan pensiun. Jongin hampir-hampir menguap, matanya luar biasa lengket dan ingin dipejamkan saat ini juga—mungkin pengaruh obat-obatan yang semalam disuntikkan dilengannya. Tapi, sekarang ia malah harus melakukan pencitraan didepan orang-orang beruban yang tak henti menatapnya dan Ayahnya ini.
"Kerja bagus, Jongin-a."
Jongin tidak tuli untuk mendengar suara Kris yang serupa bisikan. Kris lantas menepuk-nepuk bahu Jongin dan mengajaknya turun panggung demi menyapa satu-persatu tamu yang hadir pagi ini. Kemudian, mereka sampai disalah satu meja. Meja itu dipenuhi dua pria dan dua wanita—yang kali ini tidak setua mayoritas orang-orang disini. Mereka bersamaan berdiri ketika Kris dan Jongin datang. Jongin pikir, ini menakjubkan. Semua orang menghormati dirinya adalah hal menakjubkan itu.
"Selamat, Wu Yifan-ssi." Salah satu pria disana segera menyalami Kris. "Jongin sepertinya kandidat yang tepat untuk menjadi ahli waris perusahaan ini."
Jongin mendengus diam-diam.
"Yah, terima kasih." Jabat tangan mereka pun terlepas. "Tahun depan Jongin akan menyelesaikan kuliahnya. Setelah itu, dia bisa fokus mengerjakan beberapa proyek tambang yang baru."
Seketika itu, Jongin menoleh cepat pada Ayahnya. "Aku harus ambil S2 dulu. Appa lupa?"
Kris berusaha untuk tetap tenang, lalu ia merangkul Jongin—seakrab mungkin. "Oh, ya. Kau bisa meneruskan S2 sambil belajar sedikit-sedikit tentang pengelolaan perusahaan, kan?"
Namun, ada persitegangan yang mati-matian disembunyikan Kris disana.
"Wah, Jongin-ssi ternyata benar-benar mementingkan Pendidikan diatas semuanya. Itu bagus, loh, Yifan-ssi." Jongin memang muak dengan pertemuan ini, tapi omongan pria barusan sedikit menambah rasa percaya dirinya. "Tidak apa-apa. Toh, Yifan-ssi masih muda, jadi Jongin-ssi tidak perlu terburu-buru menggantikan Anda, kan?"
Mendadak saja, raut wajah Kris malah berubah tidak suka, ia merasa terganggu.
"Geurae? Menurut saya, mempelajari sesuatu sedini mungkin jauh lebih baik dari pada menundanya sampai batas waktu. Ya, kan? Tidak ada salahnya—"
"—Aku harus ke toilet. Permisi,"
Jongin segera melesat dari aula dan orang-orang ini, termasuk Ayahnya. Ia melarikan diri dari sempitnya pikiran Kris dan sesaknya jubelan orang-orang haus takhta disana. Jongin lantas mendobrak paksa pintu toilet, mencari-cari bilik kosong, dan duduk di klosetnya. Ia benci dirinya sendiri—mengapa semudah itu menuruti kata-kata Kris jika akhirnya ia akan dikhianati?
Apakah kuliah dijurusan impiannya benar-benar akan berakhir jadi mimpi saja?
-ooo-
"Eomma!"
Kyungsoo baru saja berteriak saat membuka pintu kamar inap Violet dan menemukan wanita itu masih terbaring di ranjangnya.
"Baekhyun Hyung ada kerja kelompok."
"Lalu, kau kemari dengan siapa?" tanya Violet sembari mengamati si bungsu yang melempar ranselnya dan melonggarkan kancing seragamnya. Kyungsoo lantas mendudukkan diri didekat ranjang Ibunya. "Kan Eomma sudah bilang, kalau pulang sekolah langsung pulang ke rumah saja."
Kyungsoo buru-buru menggeleng, "Nanti Eomma sendirian. Appa kan pulangnya malam. Imo juga sibuk mengurus rumah. Chanyeol Hyung dan Jongin Hyung masih kuliah. Hanya Baekhyun Hyung dan aku yang punya waktu luang untuk Eomma." Kemudian, tangan kirinya yang berkeringat meraih tangan Violet yang diinfus. "Tadi Samcheon yang mengantarku."
Ada beberapa menit mereka habiskan untuk saling memandang. Sementara Violet mati-matian menahan tangisnya, Kyungsoo malah dengan senang hati terus menyunggingkan senyumnya.
"Eomma sudah makan?"
Violet mengangguk, ia lantas melepas genggaman tangan Kyungsoo dan membawa tangannya sendiri agar membelai sisian wajah pucat putra bungsunya ini. "Kyung-a sudah makan? Sudah minum obat?"
"Obat lagi yang ditanyakan," Mata bulatnya sayu. Violet tahu Kyungsoo tidak pernah mahir menyembunyikan rasa sakitnya. "Aku tidak apa-apa, Eomma, sungguh."
"Masih sesak, ya?" Kali ini, mata berkaca Violet beralih pada dada kiri Kyungsoo. "Masih sering nyeri tiba-tiba?"
"Hentikan, Eomma, aku tidak mau membahas itu." Kyungsoo akhirnya kembali menggenggam tangan Violet yang tadi tersampir di pipi kanannya. "Eomma khawatirkan diri Eomma saja dulu. Aku sudah enambelas tahun, aku sudah dewasa, Eomma."
"Cih," dengus Violet, disusul tawa meremehkan. "Dewasa apanya?"
"Kalau Eomma nanti pergi dan aku menangis selamanya—aku masih dianggap dewasa, kan?"
Violet tertegun berkat kalimat ambigu Kyungsoo barusan. "Tentu saja tidak. Hanya anak kecil yang menangisi kepergian Ibunya."
"Memang Eomma benar-benar akan pergi?"
Tidak ada—Violet tidak ada balasan.
"Eomma, jawab aku. Apa Eomma sudah menyerah?"
Kyungsoo hanya sedang mencoba—ia menjajal apapun untuk meyakinkan Violet, ia mengusahakan apapun supaya Violet tidak seputus asa ini.
"Kenapa kau bilang begitu?"
"Karena," Kyungsoo menahan suara seraknya sekaligus bahu bergetarnya, "Karena Eomma seolah memberiku firasat. Aku tidak tahu. Tapi, hanya dengan melihat wajah Eomma, rasanya aku ingin menangis terus. Makanya, aku tidak mau menyia-nyiakan waktu yang kupunya dan—"
"Cukup, Kyung-a." Violet pun mendekap kepala Kyungsoo dan membawa sebagian diri anak terakhirnya berada dalam pelukan seorang Ibu. "Eomma disini, bersamamu, bersama kalian, bersama semuanya. Eomma baik-baik saja, Kyung-a."
Ya, memang baik-baik saja. Tapi, untuk masalah pergi atau tidak pergi, Violet tidak berani menyinggungnya.
-ooo-
Baekhyun meneliti isi tulisan dalam artikel yang ia lihat melalui layar komputernya ini. Ia membacanya berulang-ulang, scroll atas scroll bawah. Mata sipitnya jeli menyerap informasi di laman tersebut, konsentrasinya enggan terbuyarkan sebelum ia dapat apa yang ia cari.
Mereka menganggap dengan menyiksa diri atau menyakiti diri sendiri bisa mengingatkan dirinya bahwa ia masih hidup dan merasakan sesuatu layaknya orang lain.
Kalimat itu adalah kalimat yang membuka sudut tak terjamah pikiran Baekhyun. Kalimat itu adalah kalimat yang menggedor relung hati paling dalam milik Baekhyun. Ya, selama beberapa hari terakhir ini, Baekhyun kehilangan asa, ia hancur berkeping. Chanyeol—kakak tempatnya bernaung mendadak mengalihkan diri. Jongin—kakak tempatnya berkeluh kesah sudah berubah menjadi orang lain. Ayah—apakah ia punya seorang Ayah di rumah ini?
Rumahnya sepi. Orang-orang tidak tahu mencari apa diluar sana. Baekhyun disini hanya disibukkan dengan soal-soal persiapan ujian—otaknya ingin meledak, hatinya tergores sebilah belati.
"Eomma." Baekhyun memandang dedaunan musim semi melalui jendela kamarnya. "Aku jadi ingin menyusul Eomma—oh, tapi, Kyungsoo tidak bisa kutinggalkan sendirian."
Baekhyun teringat sesuatu, ia lantas membuka laci meja belajarnya. Silet itu ada disana, berkilat menyilaukan, begitu tangannya meraihnya perlahan, pintu kamarnya malah terbuka. Niatnya urung sehingga ia pun tergesa mendorong lacinya kembali.
"Hyung!" Pekikan Kyungsoo. "Sedang apa?"
Baekhyun buru-buru menutup laman artikel tersebut. "Ah, mm—tadi barusan cari bahan materi."
"Sudah selesai?" Baekhyun mengangguk pada pertanyaan Kyungsoo. "Uh, aku ada PR Matematika, Hyung, tentang sin cos tan itu, loh." Kyungsoo menggaruk belakang kepalanya yang sama sekali tidak terasa gagal, ia sedang merayu kakaknya lagi sekarang.
"Itu kan gampang," Baekhyun lantas berdiri dan mendudukkan Kyungsoo dikursinya barusan.
"Gampang kan menurut Hyung," Kyungsoo hanya mencebik, baru setelah itu menelisik deretan buku yang ia tumpuk didekat komputer demi menemukan buku Matematika yang tadi dimaksud dan membuat Baekhyun mencondongkan tubuhnya agar tulisan disana terbaca matanya yang minus empat. "Nah. Coba lihat ini,"
"Sini. Hyung saja yang kerjakan,"
"A—Andwe," Kyungsoo menahan tangan Baekhyun yang hendak merebut bukunya. "Ajari. Bukan kerjakan,"
"Hyung kerjakan dulu, nanti Hyung jelaskan padamu, ya." Senyuman Baekhyun tak disambut Kyungsoo.
"Huh." Kyungsoo mengesah, "Pasti Hyung pikir mengajariku akan menghabiskan waktu karena aku tidak juga paham. Ya, kan?"
Baekhyun jadi mengangkat alisnya, heran. "Bukan."
"Terus?"
"Yah," Pada akhirnya, Baekhyun mengangguk. "Kalau langsung mengajarimu, akan susah. Kan kau belum terlalu familiar dengan soal-soalnya. Jadi, selama Hyung kerjakan ini, kau bisa melihatnya dan coba tebak sendiri bagaimana caranya, Kyung-a." Alihan. Padahal Baekhyun setuju-setuju saja dengan prasangka Kyungsoo tadi.
"Ya sudah." Kyungsoo lalu berderap menuju ranjangnya. "Dari pada melihat Hyung mengerjakan PR-ku tanpa melakukan apa-apa, mending aku tidur saja."
Adik Baekhyun itu akhir-akhir ini memang temperamental. Kyungsoo juga terkena dampak kerusuhan ini, betapa semua masalah seolah saling tumpang-tindih. Baekhyun tidak menyalahkan perubahan sikap orang-orang di rumah ini, termasuk Jongin dan Kyungsoo. Bagaimanapun, dirinya sendiri juga berubah.
"Baiklah," Baekhyun harus mengalah, apapun sebabnya. "Ayo, sini. Hyung ajari rumus-rumusnya."
-ooo-
Langit sore hari ini terlihat mendung.
Pun dengan perasaan Chanyeol yang terduduk sendiri di taman kampus—dia sedang was-was menunggu Jongin. Bagaimanapun, ini pertama kalinya mereka akan bertemu setelah lebih dari seminggu. Bagaimanapun, ia harus menyiapkan diri jika saja adiknya itu akan mengamuk disini.
"Hyung!"
Chanyeol segera menoleh dan menemukan Jongin berdiri dibelakangnya. Tidak perlu waktu lama bagi Jongin untuk segera memeluk Chanyeol—dan menangis, sekencang-kencangnya.
"Kenapa?" Jongin bergumam disela isakannya, "Kenapa Hyung setega ini meninggalkan kita di rumah sebesar itu bersama monster sekejam Appa?"
Chanyeol memeluk Jongin, enggan melepasnya. Mereka menautkan tubuh untuk waktu yang lama, mereka benar-benar sedang melepas rindu—tak peduli dengan tatapan orang-orang yang berlalu lalang.
Jongin tiba-tiba histeris, "Hyung. Kemarin, aku menjadi penggantimu. Kemarin, aku sudah mengambil alih tempatmu." Adunya. "Jadi, jadi. Kumohon, pulanglah."
Ya, Chanyeol tahu. Rasa bersalah terbesarnya terletak pada Jongin.
"Maafkan aku. Maafkan Hyung, Jongin-a." Chanyeol bersuara pelan dari atas pundak Jongin, air matanya menetes disana. "Aku tidak bisa pulang—untuk sekarang."
Karena kalimat itu, Jongin buru-buru menjauhkan dirinya dari pelukan Chanyeol.
"Kalau Chae Young Nuna tidak memberitahuku Hyung disini—"
"—Aku yang menyuruhnya memberitahumu, Jongin-a. Aku juga yang menyuruhnya merahasiakan keberadaanku dari yang lain selain dirimu."
Jongin terperangah. "Wae? Hyung benar-benar tidak akan kembali ke rumah? Hyung benar-benar tidak akan menemui kita lagi?" Sedikit banyak, Jongin juga sedang meyakinkan dirinya sendiri, batinnya mencelos.
Namun, Chanyeol malah menundukkan kepalanya dalam-dalam, enggan menemukan tatapan mengiba dari sorot mata Jongin. Kemudian, ia melirih, "Sebenarnya, Hyung ingin minta bantuanmu, Jongin-a."
"Kalau ada maunya, Hyung baru mau bicara padaku?" dengus Jongin, "Bahkan Hyung belum bertanya tentang Baekhyun dan Kyungsoo. Mereka adik-adik kita juga, Hyung."
Chanyeol cepat-cepat menggeleng seakan sedang menampik anggapan Jongin. "Aku bukannya tidak peduli pada kalian—aku hanya takut. Aku takut jika tahu bagaimana keadaan mereka, aku akan goyah." Kali ini, Chanyeol yang mengejar tatapan Jongin. "Hyung mohon, mengertilah. Ya?"