This is Home!

pinklabel
Chapter #27

Chapter Twenty Seven

Satu bulan sudah berlalu. Jongin menghabiskan hari-harinya di panti rehabilitasi.

Satu bulan sudah berlalu, Baekhyun masih asik menikmati sensasi menyayat kulitnya dengan silet tajam.

Satu bulan sudah berlalu. Kyungsoo sedang sekuat tenaga menahan nyeri di jantungnya yang merupakan efek tidak mengonsumsi pil-pil Clopidogrel.

Tiga pangeran Wu yang tersisa di rumah ini—bergelut dengan ambisi masing-masing. Ya, ambisi untuk merasa bahagia. Meski Jongin akhirnya mampu sedikit demi sedikit lepas dari ketergantungannya, meski Jongin akhirnya menurut pada Kris dengan dalih ia tidak boleh menyia-nyiakan orang-orang yang telah menyayanginya, dan meski Jongin akhirnya harus mempertahankan Krystal dan adik-adiknya—ia memilih untuk sembuh.

"Kau sudah lebih baik," Kris memulai dengan intonasi rendah, "Dua hari lagi, kau bisa rawat jalan, Jongin-a."

Jongin tidak membalas, ia hanya tersenyum pada Baekhyun, Kyungsoo, dan Krystal yang berdiri berdampingan didekat Kris. "Gomawo, kalian tidak meninggalkanku,"

Kamar ini memang hanya seluas empat kali empat meter persegi, berdinding putih bersih, dan minim perabot—tapi, Jongin sudah mengaku nyaman. Kuliahnya berhenti sejenak, pihak kampus pun memaklumi hal ini meski tetap harus memberi sanksi. Bagaimanapun, pecandu narkotika tidak bisa dianggap remeh. Jongin sudah merusak citra kampus dan perusahaan Ayahnya—ya, Wu Corporation kini tidak memiliki kandidat ahli waris.

Kris terpaksa membolehkan Jongin hengkang jadi pewarisTidak banyak yang bisa ia lakukan sekarang selain memastikan Jongin baik-baik saja dan benar-benar lepas dari pengaruh obat sialan itu. Kris juga harus tetap meyakinkan diri bahwa ia tidak bisa bertingkah sembarangan lagi karena tidak boleh hal seperti ini terulang pada anak-anaknya yang lain.

"Apa saja yang Hyung lakukan disini?" tanya Baekhyun, sesekali menarik-narik ujung kain di lengan sweater abu-abunya.

"Mm. Hyung jadi pengrajin, Baek-a. Karena Hyung membuat benda-benda itu," Jongin menunjuk rak diatas meja belajarnya, disana sudah terjajar rapi miniatur-miniatur kayu yang membentuk berbagai karakter. "Bagus, kan? Yah, meski Hyung lebih banyak latihan menari, sih."

"Jinjja? Itu semua tidak mungkin Hyung yang buat," Baekhyun agak tidak percaya, tapi ia cukup senang mendapati fakta bahwa kakaknya ini masih sama seperti dulu—suka melantur dengan omongan-omongan ajaib. "Karena aku ujian minggu depan dan karena Hyung tidak bisa mengajariku hal akademik apapun—jadi, aku hanya ingin Jongin Hyung kembali seperti dulu. Ke rumah—rumah kita."

Jongin memandang Baekhyun dari tempatnya duduk di ranjang, adiknya yang ini benar-benar tak pernah melepas senyumnya. "Tunggu. Sebentar lagi. Oh, kenapa kau sering pakai baju lengan panjang sekarang?"

Baekhyun sempat hilang keseimbangan saat pertanyaan itu muncul—ya, otaknya tak lagi seimbang.

"Baekhyun Hyung bilang, dia tidak mau masuk angin, Hyung. Kan sebentar lagi ujian, jadi dia tidak mau sakit." Baekhyun patut bersyukur bahwa kalimat Kyungsoo barusan telah menolongnya mencari alasan. "Aku juga senang Hyung disini baik-baik saja. Nanti kita bisa jual hasil karya Hyung lewat online, ya."

Jongin terkikik pada Kyungsoo, lantas menepuk tempat disebelahnya dan meminta si bungsu agar mendekat padanya. "Bagaimana sekolahmu? Kalian pasti kesepian, ya, sebulan ini?"

Kyungsoo buru-buru menggeleng, "Hyung tidak usah khawatir. Setelah ini, Hyung hanya harus fokus pada kuliah Hyung dan jalani hidup seperti semula. Oke?"

"Ndeee, Sajang-nim." Jongin lalu mengacak rambut Kyungsoo. "Kau sudah seperti Ahjumma-Ahjumma saja,"

Kemudian, Jongin teralih sepenuhnya pada gadis berambut panjang yang kini berdiri tenang didepannya. Hubungan mereka sudah dilalui banyak lika-liku termasuk masalah yang ditimbulkan Jongin sehingga sangat menyulitkan Krystal. Ya, gadis yang baru saja mendapat atensi Jongin adalah Krystal. Sedikit banyak, tentu terselip rasa bersalah.

"Annyeong, Krystal-a." Jongin melambai pada Krystal, "Aku masih ingat kalau hari ini adalah hari ke seratus sebelas kita bersama, aku menghitungnya setiap hari." Jongin lagi-lagi menunjuk, sekarang menuju kalender yang terpajang diatas ranjangnya—ia membulati angka-angka disana dengan spidol merah. "Kau pasti terkesan,"

Krystal tersenyum, sungguh senyum nyata yang selama ini bisa Jongin lihat selain dari mimpinya.

"Jalhaesseo, Jongin-a. Jeongmal jalhaesseo,"

Krystal harus menyembunyikan air matanya. Ia tidak boleh berlarut dalam keharuan ini. Jadi, ia terus-terusan menyeka bendungan air di pelupuk mata. Sampai akhirnya Jongin terkekeh, kegelian sendiri dengan sikap kekasihnya. "Tinggal menangis saja, kenapa harus malu-malu?" Setelah ungkapan Jongin, Krystal benar-benar menangis sekarang. Persetan. Dia tidak lagi menahan dadanya yang sesak. Krystal menumpahkan kerinduannya pada Jongin. "Terima kasih masih mau bersamaku sekalipun aku sudah berubah jadi bajingan, Krystal-a."

"Jangan bil—hiks—ang begitu,"

Baekhyun menukar pandangan dengan Kyungsoo. Keduanya juga jadi terhanyut dalam sedu-sedan yang saling bersahutan ini. Sementara itu, Kris menjauhkan diri. Ia juga tidak bisa mendapati momen semenyakitkan itu tersaji didepan matanya, apalagi jika perlu mengingat semua ini terjadi karena dirinya yang kelewat egois.

"Chanyeol-a, seharusnya Appa bisa melihatmu bergabung dengan mereka juga,"

-ooo-

"O—oppa, kenapa bisa ada disini?"

Seorang pria yang barusan menekan bel itu tidak memedulikan si penyapa, ia malah sudah melewatinya dan merebahkan diri di sofa sana, lalu menyambung, "Ini kan apartemen anakku. Kenapa Ayahnya tidak boleh mampir kemari?"

"Appa!" Jaehyun—yang baru saja selesai mandi—segera memeluk Ayahnya dan duduk bersanding disana. Sementara Luna—si penyapa tadi—masih terpaku di pintu masuk. "Imo, kenapa diam disitu? Sini,"

Luna pikir ini akan gawat. "Oppa akan menginap?" Karena ia bisa melihat satu koper besar yang ditenteng kakak tirinya ini. "Ada janji temu dengan klien atau—"

"Yap. Aku akan menginap sekalian mengawasi belajar Jaehyun-a," Jung Han Su—Ayah Jaehyun ini akhirnya menyilangkan kaki sambil terus-terusan melempar senyum pada anaknya. "Karena kuyakin, kau sebagai bibinya, tidak akan benar-benar mengawasi belajar Jaehyun, nanti anak ini jadi kesenangan." Lantas, Hansu menyentil hidung Jaehyun.

"Ah, Appa. Aku selalu belajar, kok, tanya saja Imo."

"Kalian bisa saja saling kerja sama membohongi Appa." Hansu mencebik, "Oh, dan bukan untuk klien. Aku kesini memang hanya ingin mengawasi belajar Jaehyun dan—dirimu, Luna-ya."

Alis Luna menyatu, "Ah, wae?" Ia akhirnya berjalan mendekat dengan langkah menghentak. Kemudian turut mendudukkan diri di sofa sambil bersedekap, "Aku dan Jaehyun baik-baik saja. Kami kan bisa mengabari Oppa lewat telepon."

"Mm," Hansu menganggukkan kepalanya, "Masih sulit dipercaya,"

Luna mengesah seraya memperhatikan Hansu merogoh saku celana untuk menemukan ponselnya. Setelah menekan disana sini, Ayah Jaehyun itu segera menunjukkan layarnya pada Luna. "Otte? Tampan, kan? Dia punya lesung pipi, loh. Berkharisma, elegan. Ya ampun, demi apapun, di usiamu yang sudah kepala tiga ini, kau pasti tidak akan menolaknya."

"Apa?" Luna memicing, mengerutkan keningnya. "Apa maksud Oppa?"

"Lupakan Wu Yifan dan berhenti mengganggu keluarganya, Luna-ya." Hansu menghela nafas, ponselnya sudah ia simpan kembali. "Besok malam, akan Oppa kenalkan padanya. Zhang Yixing, psikiater ternama di Korea. Apalagi dia orang Chi—"

"—Oppa mau menjodohkanku dengan laki-laki yang sama sekali tidak aku kenal itu?!"

Hansu berdeham, "Yah, Oppa bilang kan mengenalkan, bukan menjodohkan. Lagi pula, apa salahnya mengenal orang baru dari pada berkutat terus dengan masa lalu yang tidak bisa kau kembalikan seperti maumu?"

"Shireo! Oppa saja yang bertemu dengannya sendiri." Namun, alihan mata Luna tertumbuk pada mata keponakannya—Jaehyun tidak berani membalas tatapannya. "Jaehyun-a, apa saja yang kau bilang pada Ayahmu sampai-sampai dia bersikeras mengenalkan Imo dengan orang asing?"

Crap. Jaehyun kelabakan dan ia tidak tahu harus berkilah apa sekarang.

"Jangan libatkan Jaehyun. Fungsi kalian kuperbolehkan tinggal disatu tempat ini kan memang untuk saling mengawasi,"

Hansu baru saja mendeklarasikan kemenangannya lewat ungkapan barusan dan mendapati air muka Luna berubah geram sekarang.

-ooo-

Keluarga Wu berpisah dengan Krystal di halte depan panti rehabilitasi Jongin.

Kris sedang fokus menyetir sekarang, ia hanya akan memperhatikan jalanan sambil menginjak gas dan rem secara bergantian. Namun, kedua anak lelakinya dibelakang sana tidak menukar obrolan apapun, mereka memang sedang sibuk dengan pikiran masing-masing sehingga Kris akhirnya menyimpulkan sendiri.

"Jongin kan sebentar lagi kembali ke rumah. Kenapa kalian berdua murung begitu?" ujar Kris seraya melirik sedetik pada spion demi menemukan Baekhyun dan Kyungsoo yang sama-sama memalingkan wajah pada jendela masing-masing. "Kenapa lagi?"

"Appa tidak mau mencari Chanyeol Hyung dan mengajaknya kembali ke rumah juga?"

Kris terdiam beberapa saat sampai akhirnya Baekhyun tidak peduli lagi apakah Ayahnya akan menjawab pertanyaan itu atau tidak. Ketika Kris sudah menemukan balasan tercocok—menurutnya—mobil mereka malah sudah sampai di depan rumah. Sehingga Baekhyun buru-buru turun, membuka pagar sekaligus pintu dengan kunci yang ia bawa, lalu secepat kilat memacu langkah menuju kamarnya, bahkan sebelum Kris sempat menyetop semua itu.

"Ky—Kyungsoo-ya." Kyungsoo memang mengikuti Baekhyun setelahnya, dan seusai panggilan Kris barusan, ia menoleh sebentar. "Bilang pada Baekhyun, Appa akan segera menemukan Chanyeol."

Kris pikir, ia memang telah berhasil menemukan Chanyeol waktu itu. Jadi, ia hanya tinggal kesana dan menunggu anak sulungnya tampil disana. Tapi, apakah semudah itu membujuk Chanyeol untuk pulang? Kris tidak yakin sama sekali. Hari itu, sore itu, tepat ketika kedua mata mereka bersirobok—Kris malah enggan terbingkai dalam pikiran Chanyeol lama-lama, jadi ia memutuskan untuk pergi begitu saja, tanpa sempat bertukar sapa apalagi membicarakan kabar. Ya, Kris tidak melakukan apa-apa.

Apa itu fatal? Tidak. Kris hanya sudah melakukan kesalahan fatal tepat saat ia berhubungan dengan Luna dua tahun lalu. Hanya itu kesalahannya—yang memiliki ekor masalah bercabang.

"Aku akan menyiapkan makan siang."

Kyungsoo jelas ikut berubah—ini juga salah satu hal yang disesali Kris. Kyungsoo—anak yang mati-matian ia jaga hati dan pikirannya agar buta dan tuli tentang fakta yang mereka sembunyikan—telah tahu hal bejat apa yang menjadikan keluarga Wu berantakan. Senaif itu Kris meyakinkan diri bahwa semuanya baik-baik saja, semunafik itu Kris mematenkan harga mati pada kondisi Kyungsoo yang tidak mungkin terpengaruh dengan ini semua.

Salah besar. Karena Kyungsoo benar-benar kehilangan rasa percaya diri. Ia tidak lagi percaya siapapun setelah tahu orang yang paling ia nomorsatukan ternyata berani berkhianat sedemikian rupa—lebih-lebih orang itu adalah Ayahnya sendiri. Kris bisa melihat perubahan sikap Kyungsoo sesignifikan itu, pun dengan perubahan fisiknya. Kyungsoo jauh lebih pucat sekarang, matanya sayu, dan ada sesuatu yang sedang ia tahan dengan amat-sangat.

"Kyung-a," Kris memanggil lagi dan membuat Kyungsoo tidak jadi menutup pintu mobil, "Kau masih rutin minum obatmu, kan?"

Lama—Kyungsoo tercenung disana selama beberapa detik.

Brak.

Kyungsoo putuskan untuk membanting pintu mobil dan berlari menuju kamar—menyusul Baekhyun. Lambat laun, Kyungsoo malah lupa kalau seharusnya ia menuju dapur dan menyiapkan makan siang mereka, ia lupa karena fokusnya terbagi antara harus kabur dari Ayahnya secepat mungkin atau memastikan kakaknya baik-baik saja.

-ooo-

Kamar dengan sepasang ranjang, sepasang lemari, dan satu meja belajar ini selalu menjadi tempat ternyaman bagi Baekhyun maupun Kyungsoo untuk mengurung diri—terdekam pilu. Kadang mereka saling menyembunyikan kesedihan satu sama lain, meski terang saja itu sangat sulit. Tentu sulit karena keduanya selalu dipertemukan didalam ruangan ini, mereka selalu beradu tatap, bertukar senyum, dan berbagi obrolan. Tidak ada yang bisa disembunyikan.

Mereka memang baru saja pulang dari menjenguk Jongin di panti rehabilitasi. Jadi, tidak banyak yang bisa dilakukan selain menyibukkan diri. Kali ini Baekhyun memilih untuk duduk di meja belajarnya. Sebelah tangannya menyingkap sweaternya, lalu buru-buru menggulung kain tebal itu hingga sebatas sikunya.

Luka-luka kemerahan memenuhi sepanjang lengannya. Bukan hanya disatu sisi lengan, lengan sebelah pun tak beda jauh. Beberapa luka tampak masih segar, beberapa lainnya sudah mongering—yang jelas, sayatan-sayatan itu beragam. Ada yang panjang, ada yang pendek. Ada pula yang dalam, ada pula yang tidak. Memang selama ini—selama sebulan ini—Baekhyun hanya menggoreskan siletnya dengan perasaan ragu. Jadi, semua luka ini tampak tak mengerikan—dimatanya.

Tidak ada yang tahu sampai saat ini. Ayahnya dan adiknya sama-sama tidak tahu alasan apa yang membuat Baekhyun betah memakai baju-baju lengan panjang sepanjang hari.

Baekhyun tersenyum, senyumnya terarah pada pigura berisi foto Ibunya.

"Hyung, sedang apa?" Kyungsoo bertanya saat melihat Baekhyun malah melamun dengan menopang dagunya. Barusan Kyungsoo bersuara dari ambang pintu, kini ia mulai mendekat pada Baekhyun yang bahkan tak menolehkan kepalanya. "Hyung? Ada apa?"

Lihat selengkapnya