This is Home!

pinklabel
Chapter #28

Chapter Twenty Eight

Yoo Seok sudah berlari memacu kaki-kaki rentanya demi menerobos orang-orang yang memenuhi koridor Rumah Sakit ini. Sesekali ia celingukan, berusaha mencari-cari nomor kamar inap cucunya yang sudah dipindahkan dari UGD. Demi Tuhan, tidak terbersit sama sekali dikepalanya bahwa Baekhyun—yang super ceria dan selalu memamerkan tawa—itu mampu melakukan hal senekat bunuh diri dengan menyayat pergelangan tangannya sendiri. Saat Sehun menyampaikan berita malang tersebut pun, Yoo Seok bahkan bisa saja limbung jika bukan karena pelayannya yang sigap menangkap tubuh tuanya.

"Ba—Baekhyun-a, Ha—Haraboeji disini,"

Yoo Seok tak sadar telah menggumam disepanjang jalan hingga akhirnya ia bertemu tatap dengan—Kris, yang baru saja menutup pintu kamar. Kris tentu terkejut, setengah tak menyangka setengah senang bukan main. Bagaimanapun, Yoo Seok adalah sesosok kakek yang dirindukan anak-anaknya selama ini. Bagaimanapun, Yoo Seok adalah Ayah mertua Kris, Ayah kandung mendiang istrinya. Jadi, Kris membungkuk dalam-dalam sampai ia bisa menegak lagi setelah Yoo Seok berdeham.

"Aboeji," Kris bermaksud menyapa, tapi Yoo Seok hanya mengangguk sekilas. "Sudah sangat lama kita—uh, anak-anak tidak bertemu denganmu. Bagaimana kabar Aboe—"

"—bagaimana bisa Baekhyun memutus nadinya sendiri?"

Sinis. Angkuh. Yoo Seok hanya tak suka interaksi ini.

"—bagaimana bisa Baekhyun punya pikiran semacam itu jika bukan karenamu?"

Lagi. Kris merasa dirinya telah dikecam ribuan batu tajam yang sengaja dilemparkan acak padanya. Ini terulang lagi. Kris belum sempat membalas tuduhan itu karena Yoo Seok sudah berjalan cepat melewatinya dan masuk ke kamar sana. Kris mengusap wajahnya sekali, kemudian terduduk dilantai. Kedua matanya terpejam, paru-parunya kembang-kempis—ia ragu bisa melanjutkan nafasnya setelah ini.

Sementara didalam sana, Yoo Seok sudah membiarkan dirinya dipandangi Chanyeol dan Kyungsoo.

"Haraboeji!"

Keduanya serempak bersorak dan menghambur pada pelukan Yoo Seok yang terentang lebar. Tidak ada yang bisa mengungkapkan sesuatu karena hanya ada isak tangis ketika Yoo Seok akhirnya mampu melihat, menyentuh, dan merasakan cucu-cucu kesayangannya yang tak ia temui setahun ini. Memang keputusannya yang salah, memang pilihannya yang keliru, seharusnya ia tak berhak meninggalkan cucu-cucunya hanya karena ia membenci menantunya.

"Ka—kalian baik-baik saja selama ini?" Meski Yoo Seok tergagap, Chanyeol dan Kyungsoo tak perlu tahu bahwa bibirnya bergetar saat menanyakan itu. "Kalian—kalian harus baik-baik saja,"

Yoo Seok pun bisa merasakan kedua kepala dalam dekapannya itu bersamaan mengangguk. Masih dalam posisi seperti ini, mata rabunnya mendadak penuh air mata karena pandangannya menangkap sebujur tubuh Baekhyun yang tergolek tak sadarkan diri dengan infus tersampir di sisi kirinya.

Biasanya Kyungsoo yang ada di tempat Baekhyun saat ini. Biasanya Baekhyun yang menangis setiap waktu ketika Kyungsoo tak kunjung bangun. Tapi kini—semuanya berbalik.

"Baek—Baekhyun belum sadar?"

Chanyeol lebih dulu melepas pelukannya dan menunduk sedih sambil melirih, "Saat aku sampai disini, Baekhyun sudah dapat transfusi darah dari Appa," Kali ini, Chanyeol harus menguatkan hatinya untuk kembali memanggil pria itu dengan sebutan Ayah.

Setidaknya, kakeknya tidak perlu tahu sehancur apa adik-adiknya setelah ia pergi. Ya, kakeknya tidak perlu tahu bahwa karena ia kabur dari rumah malam itu, Jongin bisa berubah menjadi seorang pecandu narkotika dan Baekhyun bisa berubah menjadi seorang pengidap self-injury.

Semua itu karenanya, kan?

Jika Chanyeol tak menangkap adanya bekas-bekas sayatan dilengan Baekhyun, ia tidak berani menyimpulkan ini. Tapi, menurut Kyungsoo pun, Baekhyun memang menunjukkan gejala-gejala yang merujuk kearah sana.

"Kenapa Ba—Baekhyun Hyung belum sadar juga?" Kyungsoo menjauhkan diri dari Yoo Seok dan buru-buru menghapus airmatanya yang berlinang—meski jaket Yoo Seok juga terkena imbas dari air mata cucu bungsunya itu. "Kapan dia akan bangun, Hyung?" Ia segera menoleh pada Chanyeol dan mendapati kekosongan semata.

Yoo Seok akhirnya berjalan perlahan menuju ranjang Baekhyun. "Baek-a," Ia memanggil, lalu mencondongkan badan agar dapat memeluk Baekhyun, tak begitu erat tak begitu hangat, hanya sekadarnya karena Yoo Seok takut menyenggol selang infus ini. "Sadarlah sekarang, Baek-a, Haraboeji disini. Ma—maafkan Haraboeji, ne?" Lantas, tangisnya kembali tergugu dibahu Baekhyun sana.

Setelah dirasa cukup, Yoo Seok kini memandangi wajah pucat Baekhyun dan mengelus sisian pipinya lembut. Chanyeol dan Kyungsoo juga sudah bergabung dengan Yoo Seok disekeliling ranjang Baekhyun. Baru setelah Yoo Seok lekat-lekat menghitung jumlah cucunya yang seharusnya ada empat, ia sadar ia telah lengah.

"Jongin-a dimana? Jo—Jongin-a baik-baik saja, kan?"

Chanyeol dan Kyungsoo sama-sama tergelagap, bingung mencari alasan. Tapi, Chanyeol tahu ia tidak bisa menyembunyikan ini dari kakeknya. Jadi, ia berusaha mengabaikan cekalan tangan Kyungsoo diujung bajunya dan memulai dengan hati-hati, "Jongin-a baik-baik saja, Haraboeji, Jongin sedang—uh, uhm, Jongin—sedang ada di panti rehabilitasi. Ya, kan, Kyung-a?"

Kyungsoo—takut-takut—mengangguk.

"Di—mana? Panti rehabilitasi? Apa maksudmu Jongin baru saja menjadi seorang pecan—"

"—tapi, Haraboeji tidak usah khawatir. Jongin Hyung lusa sudah boleh pulang," cicit Kyungsoo sembari bermain dengan tautan jemarinya sebagai refleksi meragu. "Jongin Hyung su—sudah sembuh, kok,"

Yoo Seok menghela nafasnya, tatap matanya beralih dari Chanyeol dan Kyungsoo yang kini tertunduk lesu menuju wajah pucat Baekhyun—lagi. "Jadi, Haraboeji tahu sekarang apa sebab Baekhyun bisa melakukan ini," Tangan keriputnya lantas mengelus lengan Baekhyun—yang penuh dengan bekas luka itu. "Setelah keluar dari sini, Baekhyun harus mengobati penyakitnya, ia harus terapi."

Ternyata setahun ini, informannya tak begitu jujur. Han Jin Il tidak menceritakan seberapa buruk kehidupan cucu-cucunya di rumah besar Wu itu. Han Jin Il tidak membeberkan kisah-kisah kelam yang dialami setiap cucunya bersama Ayahnya itu. Mereka tidak bahagia, tidak satupun hidup bahagia setelah kepergian Violet. Semuanya hancur, angan-angan Yoo Seok pun luluh-lantak.

Apa-apaan. Cucunya bahkan sampai bisa menjadi pecandu. Cucunya bahkan sampai bisa nekat bunuh diri.

Yoo Seok tidak punya hipokrit sebagai dirinya lagi.

Chanyeol mendongak dan mendapati kakeknya sedang berbicara dengan pandangan tanpa isi alias kosong. "Ya. Kami akan membawanya ke psikiater dan sebisa mungkin menjauhkan benda-benda tajam dari jangkauannya." Ia lalu menyikut lengan Kyungsoo pelan dan membuat adiknya itu membulatkan mata. "Kau juga, Kyung-a. Setelah Baekhyun sadar, pastikan jangan memotong apel didepan matanya apalagi meninggalkan pisaunya di nakas. Oke?"

Kyungsoo akhirnya bisa mengulas satu senyuman. Bagaimanapun, meski ada sedih yang lebih mendominasi, tapi kembalinya Chanyeol membuat ia bisa memijak tanah ini lagi. "Aku pasti akan berhati-hati, Hyung." Sesenang itu Kyungsoo karena untuk pertama kali dalam hidupnya—seharian ini tidak ada yang menanyakan apa ia sudah meminum obatnya.

Oh. Kecuali Ayahnya tadi pagi—tepat sebelum insiden Baekhyun melakukan percobaan bunuh diri.

"Padahal ujiannya minggu depan," Chanyeol tahu-tahu saja mengesah, "Kau harus segera sembuh, Baek-a, supaya kerja kerasmu selama ini tidak sia-sia."

Kyungsoo memperhatikan Chanyeol membelai helai demi helai rambut Baekhyun, lalu mengecup keningnya. Seketika itu hati Kyungsoo malah mencelos. Ingatannya jadi melayang di adegan sesiangan tadi. Beberapa jam lalu, Baekhyun mengeluh tak sanggup melanjutkan hari-harinya, beberapa jam lalu, Baekhyun bilang bahwa ia ingin mati—dan sekarang semua ketakutan itu jadi nyata, Kyungsoo pun tidak tahu harus merasakan apa. Ia seolah mati rasa, ada trauma tanpa sebab yang bisa tiba-tiba melolosi dadanya ketika ia lama-lama memandangi wajah Baekhyun.

Ya. Kyungsoo hanya takut—ia bisa kehilangan Baekhyun kapan saja dan sungguh, demi apapun, ia bahkan tidak mau membayangkannya.

"Kalau begitu, kita jemput Jongin saja sekarang. Dia juga kakak Baekhyun, dia juga harus tahu apa yang sedang menimpa adiknya. Benar?" Yoo Seok mengusulkan sesuatu yang segera mendapat persetujuan Chanyeol. "Kyung-a, kau tidak usah ikut, ya. Istirahat saja disini dan temani Baekhyun,"

"Arra," Kyungsoo segera mendudukkan diri disamping ranjang Baekhyun begitu Chanyeol dan Yoo Seok sudah melangkah menuju pintu. "Hati-hati, Haraboeji, Hyung."

Sedetik setelah pintu tertutup, Kyungsoo memberanikan diri untuk memaku tatapannya di wajah Baekhyun. Satu menit saja sudah cukup, selanjutnya ia tak mampu meneruskan. Kyungsoo pun membenamkan wajah ditangkupan kedua tangan yang ia letakkan diatas kasur, ia sengaja menyembunyikan tangisannya disana.

"Hy—Hyung, harusnya aku yang terbaring disini—bukan dirimu,"

-ooo-

Langit sudah berubah jingga ketika Kris terduduk di taman Rumah Sakit. Semua orang berlomba meninggalkan tempat ini, entah pasien entah pengunjung entah perawat sudah tidak ingin lagi berseliweran disini. Jadi, Kris bisa dengan tenang menghakimi dirinya sendiri.

"Sebejat ini memang seorang Wu Yifan,"

Monolognya barusan malah tersapu angin.

Kris bisa saja seumur hidup menyalahkan diri jika Baekhyun benar-benar menghilangkan nyawanya dan tidak ada satupun yang mampu menyelamatkannya. Ya, Kris akan ikut mati. Ia sungguh tidak sanggup merelakan nyawa orang tersayangnya pergi begitu saja dari sisinya. Setelah istrinya, tidak bisa ia biarkan anaknya menyusul.

Baekhyun—hari ini berhasil membuatnya ingin melompat dari atap Rumah Sakit. Baekhyun—hari ini berhasil membuatnya melupakan caranya bernafas dan menyekat tenggorokannya. Baekhyun—hari ini berhasil membuat Kris membenci dirinya yang harus jadi seorang Ayah.

Ketika Kris meremat rambutnya yang sudah berantakan dan untuk beberapa saat memejamkan matanya yang terasa panas—ia tahu seseorang baru saja mendudukkan diri tepat disebelahnya.

"Kau pasti belum makan,"

Kris akhirnya menemukan siapa orang itu—Yoona disana. "Sedang apa kau disini? Maksudku, bagaimana kau tahu—"

"Ini ada Mandu,"

Yoona tak membalas rasa penasaran Kris, ia malah membuka kotak makan dan menyodorkan sumpit untuk Kris. Karenanya, Kris jadi tidak ingin membahas apapun. Ia menerima sumpitnya dan mulai menyuapkan sepotong Mandu dimulut. Ia mengunyah dengan diam, ia menelan dengan pedih. Kris tidak sadar telah meneteskan air matanya.

"Arrayo," Yoona bersuara sembari memandang lurus, ia memberikan ruang bagi Kris untuk dapat makan dengan tenang sekaligus menyeka air matanya yang tak mau berhenti. "Kau sudah bekerja keras selama ini. Kau sudah mengorbankan semuanya selama ini. Ya. Ini memang berat. Hidup tidak pernah semudah itu."

Karena Yoona datang kemari bukan sebagai sekretaris Wu Corporation dan sebagai sekretaris yang menyanjung bosnya—ia rasa tidak perlu ada ungkapan formal disini.

Kris menyudahi suapan-suapannya, ia sudah tidak mampu mengunyah apalagi menelan. Jadi, ia memusatkan fokusnya pada Yoona sekarang.

"Kau tahu apa yang terjadi?" tanya Kris, berharap-harap cemas.

Yoona menggeleng, "Ahni. Tapi, aku bisa menebaknya."

"Kenapa kau bisa tiba-tiba ada disini?" Sungguh. Hanya ini yang Kris ingin tahu.

Namun, Yoona malah mengedikkan bahu. "Aku tidak pernah percaya pada kebetulan. Tapi, kebetulan itu hari ini memang harus aku percaya." Jeda, dan Yoona menggunakannya untuk menoleh pada Kris. "Anemiaku kambuh—dan bukannya memeriksakan diri, aku malah lebih dulu mengikutimu kemari setelah turun dari lift."

Kris memalingkan wajah, tidak lagi memandang Yoona. Ia lantas berujar pelan, "Gomawo sudah mengikutiku kemari dengan sekotak Mandu."

Yoona tertawa, renyah. Ia juga mengembalikan pandangannya agar tak berlama-lama memandangi sisian tegas wajah Kris. "Apa Kyungsoo yang sakit?" Pada akhirnya, Yoona tetap menyenggol titik yang mati-matian Kris tidak ingin diskusikan.

"Bukan." Kris menunduk, "Baekhyun. Bukan sakit, tapi percobaan bunuh diri."

Yoona sedang sekuat hati untuk tidak menampilkan raut terkejutnya. "Baekhyun masih muda, ia mungkin tertekan dengan tugas-tugas sekolah dan—"

"—kumohon, kalau kau tidak tahu apapun, jangan coba-coba seolah kau tahu dengan segala yang aku rasakan saat ini. Maaf. Aku bukannya—"

"—Aniyo, aku yang harusnya minta maaf."

Hening. Selanjutnya tidak ada pertukaran obrolan. Keduanya sibuk dengan dimensi masing-masing.

"Apa—"

"Harusnya—"

Kris dan Yoona malah lari dari kesunyian tadi dengan cara bersamaan.

"Kau duluan," Yoona mempersilahkan.

"Harusnya, kau periksakan dirimu dulu atau sekarang saja," Kris masih di mode manusia normal yang merasa segan terhadap kebaikan orang lain. "Masih ada jam praktek terakhir untuk hari ini."

Yoona tersenyum, "Anemia bukan apa-apa, aku saja yang terlalu manja." Ia menyanggah, "Lalu, apakah aku boleh mengatakan milikku?"

"Ya."

"Apa Baekhyun baik-baik saja?"

Yoona memang tidak sedang berdusta kalau ia merasa khawatir sekarang. Bagaimanapun, percobaan bunuh diri merupakan sesuatu hal yang fatal. Apalagi jika dilakukan oleh seorang remaja yang mengatasnamakan kekesalan semata. Yah, meski Yoona tidak tahu apa masalah aslinya.

Lihat selengkapnya